25 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Cahaya Mobil Listrik dari Sosok Nur

Oleh: Dahlan Iskan

Pemecah telur kendaraan listrik nasional adalah Surabaya. ITS. Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya. Memang, Mario Rivaldo dari Bandung sudah membuatnya lima tahun lalu. Sudah pula diuji coba di mana-mana. Tapi belum pernah masuk pasar komersial. Tepatnya belum dapat izin.

Memang pula sudah banyak sepeda motor listrik di pasar, tapi belum bisa disebut kendaraan nasional. ITS-lah yang secara nyata menandatangani kontrak komersial produksi kendaraan listrik. Antara ITS dan PT Garansindo. Perusahaan itulah yang akan memproduksi Gesits, sepeda motor listrik made in ITS. Itulah kontrak komersial pembuatan kendaraan listrik nasional pertama dalam sejarah Indonesia. ITS bersejarah. Di bidang kendaraan listrik nasional.

Semua itu tidak bisa dipisahkan dari peran kepemimpinan seorang doktor di ITS bernama Nur Yuniarto. Yang mendapat dukungan penuh dari rektornya. Sejak tahun 2011 sampai rektornya yang sekarang: Prof Dr Ir Joni Hermana MSc.

Nur dalam bahasa lain berarti cahaya. Saya memang melihat cahaya itu dari pribadi Dr Nur yang satu ini. Saya juga melihat cahaya itu terefleksi pada buku baru yang segera terbit. Dialah yang menulis buku itu. Judulnya Kendaraan Listrik: Teknologi untuk Bangsa. Maka ketika Dr Nur (nama lengkapnya Mohammad Nur Yuniarto) meminta saya menuliskan kata pengantar untuk buku barunya ini, saya tidak pikir panjang. Langsung saya sanggupi. Apalagi Dr Nur datang ke rumah saya dengan pasukan lengkap tim kendaraan listrik ITS (Institut Teknologi Sepuluh Nopember) Surabaya yang terkenal itu: Alief Wikarta yang menjadi wakilnya di tim, Indra Sidharta, Grangsang Setyaramadhani, Yoga Uta Nugraha, Agus Mukhlisin, Albertus Putra, dan Affan Fakhrudin.

Dr Nur di mata saya adalah pribadi yang menarik. Tampilannya seperti seorang rocker. Badannya berisi. Rambutnya gondrong. Celananya belel. Bajunya nyaris urakan. Kalau saja dulu saya pertama bertemu dia di sebuah plaza, pastilah saya tidak menyangka sosok ini seorang doktor lulusan Manchester, Inggris.

Yang juga menarik adalah Dr Nur ternyata bukan doktor teknik elektro. S-1-nya memang diraih di ITS, tapi ambil teknik mesin. Doktornya yang dari Manchester itu juga teknik mesin. Tapi, perjuangannya untuk mobil listrik luar biasa. Dialah ketua tim kendaraan listrik ITS. Salah satu program unggulan ITS yang sangat berhasil.

Yang juga istimewa, untuk jadi doktor, dia tidak harus melewati S-2. Dari S-1 dia langsung bisa ikut program S-3. Di Manchester University. Memang, dia harus masuk program khusus dulu satu tahun. Setelah itu harus mengikuti tes. Ternyata lulus untuk langsung S-3. Sebelum berangkat ke Inggris, dia mungkin takut pacarnya hilang: dia kawini dulu. Namanya Febrine Wulan Widyasari. Lulusan akuntansi Widya Mandala Surabaya. Lalu dia bawa serta ke Manchester. Anak pertamanya lahir di sana. Dua anak lainnya lahir di Surabaya.

Tim kendaraan listrik ITS kini sudah mendaftarkan 10 paten. Dan yang lagi disiapkan untuk didaftarkan lebih banyak lagi: 130. Semua di bidang kendaraan listrik. Semua itu bisa dihasilkan karena tim ini memang bekerja di luar kebiasaan. Siang malam mereka berada di lab dan bengkel. ITS memang menyiapkan gedung dan peralatan. Kunci gedungnya mereka yang pegang. Bisa buka-tutup hari apa saja, jam berapa saja. Rasanya bahkan tidak pernah tutup. Saya pernah hari Minggu ke sana. Eh, buka juga.

Hebatnya, Dr Nur hampir selalu berada bersama anggota tim. Sudah tidak bisa dibedakan mana mahasiswa dan mana dosen. Pakaiannya maupun sikapnya. Pekerjaannya maupun belepotannya. Dr Nur sudah seperti teman bagi mahasiswa. Dosen sekaligus teman. Bapak sekaligus anak. Kakak sekaligus adik. Kesimpulan saya, inilah kunci keberhasilan tim kendaraan listrik ITS.

Suatu saat, Dr Nur diminta menyertai mahasiswa yang ikut lomba mobil listrik dengan tenaga surya. Rutenya maut: Darwin–Adelaide (Australia). Jaraknya 3.300 km. Waktu tempuh: lima hari. Di situ Dr Nur diperlakukan seperti mahasiswa anggota tim. Juga tidur di pinggir jalan. Juga makan seadanya. Dan Dr Nur bisa menikmati kehidupan yang seperti itu. Istrinya juga bisa menerima gaya seperti itu. Pastilah sang istri juga wanita hebat.

Maka dia enteng saja ketika saya tanya: Kapan jadi guru besar? ’’Saya belum pernah mikir,’’ katanya. Bagaimana mau mikir jadi profesor. Setiap mau menulis (karya ilmiah) diajak mahasiswa ke bengkel. Siang malam. Tapi, Dr Nur merasa puas dengan perannya seperti itu. Dia memperoleh kebahagiaan.

Memang, dia tahu tunjangan gaji profesor cukup menggiurkan. Dapat tambahan penghasilan Rp 25 juta sebulan. Tapi, dia tidak mau menjadi profesor dengan motif seperti itu. Apalagi setelah jadi profesor, ternyata berhenti memberikan sumbangan keilmuan dan karyanya. Sebuah sikap yang menarik. Lihatlah: dia jarang naik mobil. Ke mana-mana naik sepeda motor. Termasuk ketika datang ke rumah saya. Mobilnya untuk istri mengantar anaknya sekolah. Saya berharap buku yang dia tulis ini menjadi salah satu karya tulis monumentalnya.

Dr Nur lahir di Desa Grebek nan jauh dari Kota Purworejo, Jateng. Setamat SMAN 1 Purworejo, pilihannya dua: Mesin ITB atau Mesin ITS. Kok gak milih UGM? Keluarganya sudah ada yang gagal di UGM. Takut ikut gagal. ITS menerimanya. Dan lulus terbaik di ITS untuk angkatannya: lulus tahun 1997.

Hobinya memang sejalan dengan apa yang dia tekuni saat ini: ngebut. Dengan sepeda motor. Ngebut itulah yang membuat dia akrab dengan mahasiswa pada umumnya dan para pengebut pada khususnya. Lalu, ketika para pengebut itu menjadi aktivis bengkel, Dr Nur ditarik untuk menjadi ketua gengnya. Pengebut tentu tidak mengenal fakultas. Dari fakultas mana saja: elektro, mesin, dan teknik industri. Karena itu, tim kendaraan listrik ITS ini ada yang dari elektro, mesin, dan fakultas lain.

Mahasiswa anggota tim yang dari teknik mesin, Yoga, kini sudah berhasil membuat motor. Made in ITS. Yang teknik elektro sudah bisa bikin controller. Bahkan sudah bisa bikin BMS (battery management system). Termasuk merangkai baterai dalam satu sistem yang siap pakai. Inilah tiga jatung utama kendaraan listrik.

Dalam wujud kendaraan, tim ini juga sudah melahirkan produk siap produksi komersial. Bentuknya sepeda motor. Namanya Gesits. Ada huruf ITS di tiga huruf terakhirnya. Saya sudah melihat contoh karya nyata ini. Saat saya ke ITS. Mengajak guru-guru SMK Pesantren Sabilil Muttaqin Takeran, Magetan, untuk belajar pada tim ITS. SMK binaan keluarga besar saya ini ingin membuat sepeda motor listrik. Tentu harus belajar dari proyek Gesits. Yang sudah siap diproduksi secara masal. Dan yang akan memproduksi pun sudah ada: PT Garansindo. Kebetulan, pemilik Garansindo adalah alumnus ITS juga. Mereka sudah bicara sangat detail. Sudah ada kontraknya. Inilah kontrak pertama produksi kendaraan listrik made in Indonesia dalam sejarah. Antara ITS dan Garansindo.

Meski buku ini tidak diniatkan untuk meraih gelar profesor, keilmiahannya terjamin. Dr Nur punya motif yang lebih besar dari raihan gelar. Motif utamanya untuk mendorong, menuntun, dan mencerahkan semua pihak yang concern pada mobil listrik. Dr Nur melihat pemerintah kelihatan mau sungguh-sungguh mendorong mobil listrik nasional. Dr Nur menuliskan pandangannya yang menyeluruh. Baiknya. Buruknya. Tantangannya. Peluangnya. Lengkap.

Memang, sebetulnya pemerintahlah yang bisa menjadi pendorong utama. Tidak usah bicara fasilitas. Atau insentif. Pemerintah cukup memberikan peraturan yang jelas. Tidak mbulet. Itu saja cukup. Agar tidak ada pihak yang ingin mewujudkan mobil listrik, lalu dianggap melanggar karena peraturan yang belum ada atau aturan yang masih abu-abu. Mobil listrik adalah efisiensi nasional. Bahkan global. Dr Nur menegaskan di buku ini: sebenarnya beli BBM untuk mobil itu borosnya luar biasa. Dari 100 persen BBM, hanya 1 persen yang langsung terpakai untuk menggerakkan roda. Yang 99 persen tidak langsung untuk menggerakkan roda. Hahahaaa… Maka bacalah sendiri buku ini. Jelaslah semuanya.

Atau, dalam kata-kata Ricky Elson: Kalau tidak ada industri nasional, para lulusan fakultas teknik tidak akan pernah melakukan pekerjaan engineering. Pekerjaan utamanya hanyalah membaca dan menganalisis katalog. Semua produk diimpor sehingga yang diperlukan adalah kemampuan membaca katalog produk orang lain. Dalam seminar di Ubaya minggu lalu, saya pun mengutipnya: Akankah kita lebih perlu mengadakan mata kuliah membaca katalog daripada engineering?

Membaca draf buku Dr Nur ini, kita mengetahui A sampai Z-nya persoalan mobil listrik Indonesia. Selamat untuk Dr Nur Yuniarto. Selamat untuk Tim Kendaraan Listrik ITS. Selamat untuk ITS. Selamat untuk Indonesia.

Tinggal, adakah dukungan untuk memajukannya? (*)

Oleh: Dahlan Iskan

Pemecah telur kendaraan listrik nasional adalah Surabaya. ITS. Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya. Memang, Mario Rivaldo dari Bandung sudah membuatnya lima tahun lalu. Sudah pula diuji coba di mana-mana. Tapi belum pernah masuk pasar komersial. Tepatnya belum dapat izin.

Memang pula sudah banyak sepeda motor listrik di pasar, tapi belum bisa disebut kendaraan nasional. ITS-lah yang secara nyata menandatangani kontrak komersial produksi kendaraan listrik. Antara ITS dan PT Garansindo. Perusahaan itulah yang akan memproduksi Gesits, sepeda motor listrik made in ITS. Itulah kontrak komersial pembuatan kendaraan listrik nasional pertama dalam sejarah Indonesia. ITS bersejarah. Di bidang kendaraan listrik nasional.

Semua itu tidak bisa dipisahkan dari peran kepemimpinan seorang doktor di ITS bernama Nur Yuniarto. Yang mendapat dukungan penuh dari rektornya. Sejak tahun 2011 sampai rektornya yang sekarang: Prof Dr Ir Joni Hermana MSc.

Nur dalam bahasa lain berarti cahaya. Saya memang melihat cahaya itu dari pribadi Dr Nur yang satu ini. Saya juga melihat cahaya itu terefleksi pada buku baru yang segera terbit. Dialah yang menulis buku itu. Judulnya Kendaraan Listrik: Teknologi untuk Bangsa. Maka ketika Dr Nur (nama lengkapnya Mohammad Nur Yuniarto) meminta saya menuliskan kata pengantar untuk buku barunya ini, saya tidak pikir panjang. Langsung saya sanggupi. Apalagi Dr Nur datang ke rumah saya dengan pasukan lengkap tim kendaraan listrik ITS (Institut Teknologi Sepuluh Nopember) Surabaya yang terkenal itu: Alief Wikarta yang menjadi wakilnya di tim, Indra Sidharta, Grangsang Setyaramadhani, Yoga Uta Nugraha, Agus Mukhlisin, Albertus Putra, dan Affan Fakhrudin.

Dr Nur di mata saya adalah pribadi yang menarik. Tampilannya seperti seorang rocker. Badannya berisi. Rambutnya gondrong. Celananya belel. Bajunya nyaris urakan. Kalau saja dulu saya pertama bertemu dia di sebuah plaza, pastilah saya tidak menyangka sosok ini seorang doktor lulusan Manchester, Inggris.

Yang juga menarik adalah Dr Nur ternyata bukan doktor teknik elektro. S-1-nya memang diraih di ITS, tapi ambil teknik mesin. Doktornya yang dari Manchester itu juga teknik mesin. Tapi, perjuangannya untuk mobil listrik luar biasa. Dialah ketua tim kendaraan listrik ITS. Salah satu program unggulan ITS yang sangat berhasil.

Yang juga istimewa, untuk jadi doktor, dia tidak harus melewati S-2. Dari S-1 dia langsung bisa ikut program S-3. Di Manchester University. Memang, dia harus masuk program khusus dulu satu tahun. Setelah itu harus mengikuti tes. Ternyata lulus untuk langsung S-3. Sebelum berangkat ke Inggris, dia mungkin takut pacarnya hilang: dia kawini dulu. Namanya Febrine Wulan Widyasari. Lulusan akuntansi Widya Mandala Surabaya. Lalu dia bawa serta ke Manchester. Anak pertamanya lahir di sana. Dua anak lainnya lahir di Surabaya.

Tim kendaraan listrik ITS kini sudah mendaftarkan 10 paten. Dan yang lagi disiapkan untuk didaftarkan lebih banyak lagi: 130. Semua di bidang kendaraan listrik. Semua itu bisa dihasilkan karena tim ini memang bekerja di luar kebiasaan. Siang malam mereka berada di lab dan bengkel. ITS memang menyiapkan gedung dan peralatan. Kunci gedungnya mereka yang pegang. Bisa buka-tutup hari apa saja, jam berapa saja. Rasanya bahkan tidak pernah tutup. Saya pernah hari Minggu ke sana. Eh, buka juga.

Hebatnya, Dr Nur hampir selalu berada bersama anggota tim. Sudah tidak bisa dibedakan mana mahasiswa dan mana dosen. Pakaiannya maupun sikapnya. Pekerjaannya maupun belepotannya. Dr Nur sudah seperti teman bagi mahasiswa. Dosen sekaligus teman. Bapak sekaligus anak. Kakak sekaligus adik. Kesimpulan saya, inilah kunci keberhasilan tim kendaraan listrik ITS.

Suatu saat, Dr Nur diminta menyertai mahasiswa yang ikut lomba mobil listrik dengan tenaga surya. Rutenya maut: Darwin–Adelaide (Australia). Jaraknya 3.300 km. Waktu tempuh: lima hari. Di situ Dr Nur diperlakukan seperti mahasiswa anggota tim. Juga tidur di pinggir jalan. Juga makan seadanya. Dan Dr Nur bisa menikmati kehidupan yang seperti itu. Istrinya juga bisa menerima gaya seperti itu. Pastilah sang istri juga wanita hebat.

Maka dia enteng saja ketika saya tanya: Kapan jadi guru besar? ’’Saya belum pernah mikir,’’ katanya. Bagaimana mau mikir jadi profesor. Setiap mau menulis (karya ilmiah) diajak mahasiswa ke bengkel. Siang malam. Tapi, Dr Nur merasa puas dengan perannya seperti itu. Dia memperoleh kebahagiaan.

Memang, dia tahu tunjangan gaji profesor cukup menggiurkan. Dapat tambahan penghasilan Rp 25 juta sebulan. Tapi, dia tidak mau menjadi profesor dengan motif seperti itu. Apalagi setelah jadi profesor, ternyata berhenti memberikan sumbangan keilmuan dan karyanya. Sebuah sikap yang menarik. Lihatlah: dia jarang naik mobil. Ke mana-mana naik sepeda motor. Termasuk ketika datang ke rumah saya. Mobilnya untuk istri mengantar anaknya sekolah. Saya berharap buku yang dia tulis ini menjadi salah satu karya tulis monumentalnya.

Dr Nur lahir di Desa Grebek nan jauh dari Kota Purworejo, Jateng. Setamat SMAN 1 Purworejo, pilihannya dua: Mesin ITB atau Mesin ITS. Kok gak milih UGM? Keluarganya sudah ada yang gagal di UGM. Takut ikut gagal. ITS menerimanya. Dan lulus terbaik di ITS untuk angkatannya: lulus tahun 1997.

Hobinya memang sejalan dengan apa yang dia tekuni saat ini: ngebut. Dengan sepeda motor. Ngebut itulah yang membuat dia akrab dengan mahasiswa pada umumnya dan para pengebut pada khususnya. Lalu, ketika para pengebut itu menjadi aktivis bengkel, Dr Nur ditarik untuk menjadi ketua gengnya. Pengebut tentu tidak mengenal fakultas. Dari fakultas mana saja: elektro, mesin, dan teknik industri. Karena itu, tim kendaraan listrik ITS ini ada yang dari elektro, mesin, dan fakultas lain.

Mahasiswa anggota tim yang dari teknik mesin, Yoga, kini sudah berhasil membuat motor. Made in ITS. Yang teknik elektro sudah bisa bikin controller. Bahkan sudah bisa bikin BMS (battery management system). Termasuk merangkai baterai dalam satu sistem yang siap pakai. Inilah tiga jatung utama kendaraan listrik.

Dalam wujud kendaraan, tim ini juga sudah melahirkan produk siap produksi komersial. Bentuknya sepeda motor. Namanya Gesits. Ada huruf ITS di tiga huruf terakhirnya. Saya sudah melihat contoh karya nyata ini. Saat saya ke ITS. Mengajak guru-guru SMK Pesantren Sabilil Muttaqin Takeran, Magetan, untuk belajar pada tim ITS. SMK binaan keluarga besar saya ini ingin membuat sepeda motor listrik. Tentu harus belajar dari proyek Gesits. Yang sudah siap diproduksi secara masal. Dan yang akan memproduksi pun sudah ada: PT Garansindo. Kebetulan, pemilik Garansindo adalah alumnus ITS juga. Mereka sudah bicara sangat detail. Sudah ada kontraknya. Inilah kontrak pertama produksi kendaraan listrik made in Indonesia dalam sejarah. Antara ITS dan Garansindo.

Meski buku ini tidak diniatkan untuk meraih gelar profesor, keilmiahannya terjamin. Dr Nur punya motif yang lebih besar dari raihan gelar. Motif utamanya untuk mendorong, menuntun, dan mencerahkan semua pihak yang concern pada mobil listrik. Dr Nur melihat pemerintah kelihatan mau sungguh-sungguh mendorong mobil listrik nasional. Dr Nur menuliskan pandangannya yang menyeluruh. Baiknya. Buruknya. Tantangannya. Peluangnya. Lengkap.

Memang, sebetulnya pemerintahlah yang bisa menjadi pendorong utama. Tidak usah bicara fasilitas. Atau insentif. Pemerintah cukup memberikan peraturan yang jelas. Tidak mbulet. Itu saja cukup. Agar tidak ada pihak yang ingin mewujudkan mobil listrik, lalu dianggap melanggar karena peraturan yang belum ada atau aturan yang masih abu-abu. Mobil listrik adalah efisiensi nasional. Bahkan global. Dr Nur menegaskan di buku ini: sebenarnya beli BBM untuk mobil itu borosnya luar biasa. Dari 100 persen BBM, hanya 1 persen yang langsung terpakai untuk menggerakkan roda. Yang 99 persen tidak langsung untuk menggerakkan roda. Hahahaaa… Maka bacalah sendiri buku ini. Jelaslah semuanya.

Atau, dalam kata-kata Ricky Elson: Kalau tidak ada industri nasional, para lulusan fakultas teknik tidak akan pernah melakukan pekerjaan engineering. Pekerjaan utamanya hanyalah membaca dan menganalisis katalog. Semua produk diimpor sehingga yang diperlukan adalah kemampuan membaca katalog produk orang lain. Dalam seminar di Ubaya minggu lalu, saya pun mengutipnya: Akankah kita lebih perlu mengadakan mata kuliah membaca katalog daripada engineering?

Membaca draf buku Dr Nur ini, kita mengetahui A sampai Z-nya persoalan mobil listrik Indonesia. Selamat untuk Dr Nur Yuniarto. Selamat untuk Tim Kendaraan Listrik ITS. Selamat untuk ITS. Selamat untuk Indonesia.

Tinggal, adakah dukungan untuk memajukannya? (*)

Artikel Terkait

Wayan di New York

Trump Kecele Lagi

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/