24 C
Medan
Saturday, February 22, 2025
spot_img

Rio untuk Prestasi atau Pariwisata?

Untuk eksposur, saya rasa tidak banyak olahraga lain, atau event lain, yang bisa mendapatkan perhatian global sebesar F1. Dan tahun ini ada 21 lomba, terpanjang dalam sejarah. Mengunjungi semua benua (kecuali Afrika), dan ditayangkan ke sekitar 200 negara disaksikan oleh miliaran orang.

Biaya 15 juta euro? 20 juta euro? Kalau mau menghitung media eksposur, itu biaya kecil. Sekalian saja 25 juta euro supaya Rio dapat tim papan tengah. Tapi, itu tahun depan saja. Tahun ini biar Rio belajar tenang dulu di tim papan bawah, seperti dulu yang dijalani Fernando Alonso, Ayrton Senna, dan banyak bintang lain.

Sebagai orang yang sering keliling, sedih juga mengetahui kenyataan bahwa negara Indonesia masih belum banyak dikenal. Padahal, penduduknya 250 juta. ’’Anda dari mana? Malaysia?’’ begitu saya sering disapa.

Mumpung ada Rio di F1, mobilnya bisa digunakan sebagai alat untuk menjembatani itu.

Dan harus terus diingatkan dan ditegaskan, memaksimalkan Rio masih jauh lebih murah daripada jalan yang dipilih negara lain. Malaysia entah sudah habis berapa untuk membangun Sirkuit Sepang, lalu tiap tahun menggelar F1 dan MotoGP.

Tahun ini, Azerbaijan juga sudah punya sirkuit, dan akan dikunjungi F1. Ya ampun! Azerbaijan!

Jujur, walau pernah mendengar tentang ’’Azerbaijan’’, saya tetap harus melihat peta untuk mengetahui betul letaknya di mana. Masak Azerbaijan bisa punya sirkuit F1 (biaya triliunan rupiah), dan bahkan membayar puluhan juta euro per tahun untuk dapat hak menyelenggarakan F1?

Mempromosikan Indonesia lewat Rio? Jauh lebih murah!

Ya, orang bisa dengan mudah bilang kalau tidak semudah itu memutuskan mendukung Rio. Ruwet, kata mereka. Saking ruwetnya, mereka bilang sampai ada lagunya.

Lagu apa? Mereka menjawab, yang baitnya berbunyi: ’’Itulah Indonesiaaaaa…’’

Saya rasa, secara political will, sekarang sudah ada kemauan untuk mendukung Rio (atau siapa pun yang mencapai level dunia) demi mempromosikan pula kejayaan Indonesia (emang kita jaya?). Buktinya, banyak petinggi yang kalau ditanya menjawab ’’kami mendukung’’.

Kalau hanya lip service, biarlah Tuhan yang membalas. Tapi, semoga saja tidak begitu.

Saya rasa, berkat gebrakan Rio menembus F1, sudah waktunya Indonesia punya plan (rencana) baru yang menggunakan olahraga untuk mempromosikan negara.

Gebrakan Rio ini bukan sekadar gebrakan olahraga. Gebrakan Rio itu adalah gebrakan manusia Indonesia dalam konteks yang jauh lebih luas.

Jangan bandingkan dana Rio dengan dana olahraga lain, karena konteksnya sudah berbeda. Kebanyakan olahraga lain butuh dana untuk bertahan hidup, mencetak atlet, dan berharap itu kemudian menghasilkan prestasi. Seperti medali emas SEA Games, Asian Games, atau bahkan Olimpiade. Prestasi itulah yang kemudian diklaim ’’mengharumkan nama bangsa’’.

Beda, Rio beda dengan itu.

Rio sudah berhasil menembus cabang yang levelnya setara dengan Olimpiade, dan eksposurnya melebihi Olimpiade.

Ada mantan pembalap internasional yang bilang: ’’Lebih sulit jadi pembalap F1 daripada menjadi astronot.’’

Bahkan, Wapres Jusuf Kalla sudah bilang: ’’Lebih sulit jadi pembalap F1 daripada menjadi presiden Indonesia.’’

Untuk eksposur, saya rasa tidak banyak olahraga lain, atau event lain, yang bisa mendapatkan perhatian global sebesar F1. Dan tahun ini ada 21 lomba, terpanjang dalam sejarah. Mengunjungi semua benua (kecuali Afrika), dan ditayangkan ke sekitar 200 negara disaksikan oleh miliaran orang.

Biaya 15 juta euro? 20 juta euro? Kalau mau menghitung media eksposur, itu biaya kecil. Sekalian saja 25 juta euro supaya Rio dapat tim papan tengah. Tapi, itu tahun depan saja. Tahun ini biar Rio belajar tenang dulu di tim papan bawah, seperti dulu yang dijalani Fernando Alonso, Ayrton Senna, dan banyak bintang lain.

Sebagai orang yang sering keliling, sedih juga mengetahui kenyataan bahwa negara Indonesia masih belum banyak dikenal. Padahal, penduduknya 250 juta. ’’Anda dari mana? Malaysia?’’ begitu saya sering disapa.

Mumpung ada Rio di F1, mobilnya bisa digunakan sebagai alat untuk menjembatani itu.

Dan harus terus diingatkan dan ditegaskan, memaksimalkan Rio masih jauh lebih murah daripada jalan yang dipilih negara lain. Malaysia entah sudah habis berapa untuk membangun Sirkuit Sepang, lalu tiap tahun menggelar F1 dan MotoGP.

Tahun ini, Azerbaijan juga sudah punya sirkuit, dan akan dikunjungi F1. Ya ampun! Azerbaijan!

Jujur, walau pernah mendengar tentang ’’Azerbaijan’’, saya tetap harus melihat peta untuk mengetahui betul letaknya di mana. Masak Azerbaijan bisa punya sirkuit F1 (biaya triliunan rupiah), dan bahkan membayar puluhan juta euro per tahun untuk dapat hak menyelenggarakan F1?

Mempromosikan Indonesia lewat Rio? Jauh lebih murah!

Ya, orang bisa dengan mudah bilang kalau tidak semudah itu memutuskan mendukung Rio. Ruwet, kata mereka. Saking ruwetnya, mereka bilang sampai ada lagunya.

Lagu apa? Mereka menjawab, yang baitnya berbunyi: ’’Itulah Indonesiaaaaa…’’

Saya rasa, secara political will, sekarang sudah ada kemauan untuk mendukung Rio (atau siapa pun yang mencapai level dunia) demi mempromosikan pula kejayaan Indonesia (emang kita jaya?). Buktinya, banyak petinggi yang kalau ditanya menjawab ’’kami mendukung’’.

Kalau hanya lip service, biarlah Tuhan yang membalas. Tapi, semoga saja tidak begitu.

Saya rasa, berkat gebrakan Rio menembus F1, sudah waktunya Indonesia punya plan (rencana) baru yang menggunakan olahraga untuk mempromosikan negara.

Gebrakan Rio ini bukan sekadar gebrakan olahraga. Gebrakan Rio itu adalah gebrakan manusia Indonesia dalam konteks yang jauh lebih luas.

Jangan bandingkan dana Rio dengan dana olahraga lain, karena konteksnya sudah berbeda. Kebanyakan olahraga lain butuh dana untuk bertahan hidup, mencetak atlet, dan berharap itu kemudian menghasilkan prestasi. Seperti medali emas SEA Games, Asian Games, atau bahkan Olimpiade. Prestasi itulah yang kemudian diklaim ’’mengharumkan nama bangsa’’.

Beda, Rio beda dengan itu.

Rio sudah berhasil menembus cabang yang levelnya setara dengan Olimpiade, dan eksposurnya melebihi Olimpiade.

Ada mantan pembalap internasional yang bilang: ’’Lebih sulit jadi pembalap F1 daripada menjadi astronot.’’

Bahkan, Wapres Jusuf Kalla sudah bilang: ’’Lebih sulit jadi pembalap F1 daripada menjadi presiden Indonesia.’’

spot_img

Artikel Terkait

Wayan di New York

Trump Kecele Lagi

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

spot_imgspot_imgspot_img

Artikel Terbaru

/