Tapi ternyata jotakan lagi. Pabrik-pabrik pun harus ditutup. Sampailah Korut tiba-tiba dipimpin anak muda tambun itu: Kim Jong-un yang istrinya cantik sekali dan kelihatan pinter itu. Serta modern modis pula.
Mula-mula si Tambun galak banget. Pamannya sendiri sampai dieksekusi mati. Kekuatan nuklirnya dibangun. Beberapa kali ujicoba: gagal. Bahkan gunung ujicobanya runtuh. Tamat. Menyerah.
Kebetulan ekonomi negaranya kian parah. Rakyatnya sangat miskin. Pekerjaan utamanya seperti hanya baris-berbaris. Atau kibar-kibarkan bendera. Atau menyeru: Hidup Kim Jong-un! Pemimpin Besar Kita!
Maka adegan di perbatasan 26 April lalu itu sangat mengharukan. Kim Jong-un bertemu langsung Presiden Korea Selatan Moon Jae-in.
Ia langkahi garis perbatasan dengan ekspresi damai. Ia salami Presiden Korsel, musuhnya itu. Ia berangkulan.
Presiden Korsel menepuk-nepukkan dua tangannya di bagian belakang pinggang lawannya. Kim Jong-un menepuk-nepukkan kedua tangannya di punggung atas lawannya itu. Lalu mengangkat tangan mereka dalam keadaan saling tergenggam.
Saat berjalan menuju ruang pertemuan pun mereka terus bergandengan tangan. Lalu membicarakan perdamaian abadi. Pembangunan jazirah Korea dan merencanakan masa depan yang cerah.
Kim Jong-un sekolah di Perancis atau Swiss dengan nama yang disamarkan.
Ia tahu. Dia mengalami. Ia menghayati. Bertahun-tahun. Bagaimana seharusnya rakyat hidup. Bagaimana negara harus makmur. Gambaran kemakmuran Swiss ada di kepalanya.
Kim Jong-un tampil ke puncak karena terpaksa. Ayahnya meninggal saat umurnya belum 30 tahun. Keadaan negara sudah seperti itu: tahu sendirilah. Setidaknya kini ia sudah mencopoti pengeras suara itu.(***)