***
Di atas, saya sempat agak sombong, mengaku sering ditanya orang macam-macam. Di atas, saya juga sempat agak kurang ajar kepada pembaca, meminta mereka membaca bagian akhir tulisan ini untuk mengetahui seperti apa biasanya respons saya.
Nah, sekarang kita sudah sampai ke bagian akhir tulisan.
Waktunya saya menjelaskan.
Pada dasarnya, saya akan mencoba membalas sapaan ramah dengan sapaan yang ramah juga. Kalau ada yang menyebut nama saya dan menunjuk-nunjuk, saya biasanya mencoba membalas dengan senyum.
Tapi, kalau sudah tanya macam-macam dan minta tolong, ini yang memang butuh waktu untuk belajar merespons dengan baik. Bagaimana menolak, meminta maaf, dan –kalau tetap tidak berhasil– pura-pura sedang ada kesibukan yang urgen (sama dengan Anda juga, bukan?).
Saya kenal banyak orang yang sangat terkenal. Baik itu teman atau bahkan keluarga sendiri. Dan saya menyadari betapa sulitnya untuk jadi diri sendiri saat menghadapi banyak orang seperti itu.
Bagaimana harus sabar menghadapi permintaan foto, sementara yang minta foto kadang tidak sadar kalau dia tidak menghargai waktu orang lain, membuang begitu banyak waktu karena kamera/smartphone-nya tidak berfungsi sehingga harus bingung memencet tombol-tombolnya.
Trik saya kalau bertemu orang terkenal, biasanya pembalap F1 atau pemain NBA, saya akan memastikan kamera/smartphone saya siap sehingga tidak membuang waktu mereka (juga waktu saya). Sekaligus memberi waktu kepada orang lain yang juga menunggu untuk mengajak berfoto.
Saya sepenuhnya menyadari, tidak semua respons saya bisa dianggap positif. Ada orang yang tidak mempermasalahkan apa pun respons saya. Ada yang bisa memaklumi seandainya respons saya kurang mengenakkan. Namun, ada juga yang kemudian menyebut saya sombong, lantas nyerocos dan berkicau di medsos.
Kalau sudah begitu? Ya sudah, biarin saja. Masak saya harus bunuh diri karena orang salah tangkap reaksi saya? Emang dia kenal saya yang sebenarnya? Bagaimanapun, hidup kita tidak bisa dirangkum, apalagi disimpulkan, via 140 karakter atau bahkan satu posting-an yang lebih panjang di medsos.
Untungnya, saya bukan pejabat publik. Dan saya hidup offline. Sehingga saya tidak perlu sibuk membalas atau mengklarifikasi. Atau malah menyewa tim khusus untuk membalas dan mengklarifikasi. Sebab, itu benar-benar menyita waktu dan fokus.
Oh ya, mengenai paragraf di atas: Pernahkah Anda bertanya-tanya, kalau seorang pejabat atau orang penting banyak berkicau atau ber-statement di media sosial, lalu kesibukan dia yang sebenarnya apa?
Saya ini termasuk agak banyak kerjaan dan pikiran. Tapi, pejabat publik itu –wali kota misalnya– seharusnya jauh lebih sibuk dengan urusan-urusan serius untuk publik.
Jadi, kalau ada pejabat publik yang superaktif di medsos, mungkin bisa diartikan dua. Pertama, dia lebih sibuk bekerja pakai jempol daripada memikirkan daerah yang dipimpinnya. Kedua, dia menyewa orang khusus untuk menjadi ”bayangannya”, bekerja memakai jempol untuk menjaga image-nya. Padahal, dia sendiri belum tentu bekerja, kemudian banyak pihak terkecoh, mengira dia banyak bekerja!
Ssssttt, ini rahasia, ada lho pejabat publik yang seperti itu! (*)