31.7 C
Medan
Monday, May 20, 2024

Jempol Bully

Azrul Ananda

”Mas Azrul ya? Mas, saya bisa minta tolong?” kata seseorang pada suatu waktu saat saya makan di restoran. ”Saya diteror dan di-bully terus. Saya harus bagaimana?” tambahnya.

Entah tampang saya ini tampang psikolog, atau tampang problem solver, atau tampang Superman, atau mungkin tampang Batman sehingga dia bertanya begitu di tengah sebuah acara santai bersama keluarga.

Dan ini bukan kali pertama. Berkali-kali saya didatangi orang yang langsung ”menembak” dan bertanya atau minta bantuan.

Bagaimana respons saya biasanya? Nanti baca akhir tulisan ini. Sekarang fokus dulu ke pertanyaan orang yang saya sebut itu.

Orang itu rupanya begitu stres. Begitu bingung. Bahkan mengaku sempat depresi dan bertemu psikiater. Entah mungkin karena tidak berhasil, malam itu dia bertanya kepada saya (yang bukan dokter, melainkan seorang lulusan marketing).

Ternyata, orang yang kira-kira berusia 30-an tahun itu –keluarga pengusaha– sering diteror lewat media sosial, juga lewat ”media-media online” yang memang sering tidak jelas juntrungannya atau pertanggungjawabannya.

Karena dia tahu bahwa saya hidup di dunia media, ya wajar dah jadinya kalau dia bertanya kepada saya soal itu. Atau mungkin karena dia mengira saya Clark Kent, yang memang kerjaan sehari-harinya jadi wartawan koran? Hehehe…
Terus terang, saya termasuk orang yang cuek. Saya juga sudah lama memutuskan bahwa saya hidup offline. Tidak lagi aktif di Facebook, tidak punya akun berkicau, dan lain-lain.

Soal itu pernah saya tulis di kolom Happy Wednesday dahulu kala (edisi 13). Salah satu alasannya ya supaya hidup lebih tenang, tidak ”terganggu” oleh posting-an atau kicauan yang kebanyakan tidak produktif, hanya mengganggu kesibukan sehari-hari.

Bahwa saya memilih offline itu saya sampaikan kepada orang tersebut. Sambil mengutip lagi lagu Taylor Swift, yang juga saya kutip di tulisan dulu, yang intinya menyatakan, ”Haters gonna hate, hate, hate…”
Bahwa banyak orang tidak suka saya, ya sudah. Hak mereka. Saya enggak pusing kok. Saya enggak benci mereka (kenal aja enggak), saya juga enggak punya hak menilai mereka (tahu kerjaan mereka aja enggak).

Lagi pula, rasa-rasanya hidup saya juga lebih enak daripada orang kebanyakan, termasuk para hater itu. Hehehe…
Tapi, saya juga sadar, tidak semua orang bisa cuek bebek seperti saya. Seperti orang yang bertanya itu.

Bahkan, saya menulis tema hari ini juga bukan murni karena pertanyaan orang itu. Ada rekan di Jawa Pos yang meminta saya untuk membahas lagi soal bully-mem-bully online, apalagi dengan munculnya berita-berita (beneran) tentang orang yang sampai mati karena tak tahan di-bully.

Dan ini masalah yang minta ampun sepelenya. Bikin saya terus geleng-geleng kepala. Bagaimana orang banyak bisa stres, bisa sampai mati, gara-gara sekarang banyak orang mampu beli smartphone, lalu memutuskan untuk menggunakan jempolnya bukan buat diacungkan tanda memuji, melainkan mengetikkan hal-hal tidak bermutu dan tidak terpuji (maaf, kalimat panjang).

Alatnya boleh bernama smartphone. Tapi, itu terbukti tidak membuat pemakainya lebih smart. Wkwkwkwk…
Kembali ke orang yang bertanya itu.

Ya, saya hanya bisa bilang abaikan saja. Ngapain dipusingin. Semakin kita pusingin, semakin mereka menjadi-jadi. Justru semakin kita cuekin, semakin selesai dah masalah.

Kalaupun itu media tidak jelas, ya orang pasti tahu kok itu jelas atau tidak. Kalau itu media sosial, ya cuekin aja dah. Emang kita hidup digaji untuk terus mengetik pakai jempol?
Sorry, mungkin memang ada orang yang digaji atau cari duit untuk itu, hehehe… Tapi, jumlahnya kan tidak sebanyak pegawai negeri…
Saran saya memang tidak spesial, tapi ya mau jawab apa lagi. Lagian, saya juga sudah sangat lapar dan makanan pesanan saya sudah datang. Nanti keburu dingin.

Yang jelas, sejak saat itu, dia tidak pernah lagi bertanya kepada saya. Semoga hidup dia memang lebih baik setelah mendengar jawaban itu.

Atau mungkin dia tidak pernah lagi bertanya karena kami memang belum pernah bertemu lagi. Dan waktu itu saya memang tidak memberikan nomor telepon serta alamat e-mail. Wkwkwkwk…
Anyway, semoga hidup dia lebih baik deh…

Azrul Ananda

”Mas Azrul ya? Mas, saya bisa minta tolong?” kata seseorang pada suatu waktu saat saya makan di restoran. ”Saya diteror dan di-bully terus. Saya harus bagaimana?” tambahnya.

Entah tampang saya ini tampang psikolog, atau tampang problem solver, atau tampang Superman, atau mungkin tampang Batman sehingga dia bertanya begitu di tengah sebuah acara santai bersama keluarga.

Dan ini bukan kali pertama. Berkali-kali saya didatangi orang yang langsung ”menembak” dan bertanya atau minta bantuan.

Bagaimana respons saya biasanya? Nanti baca akhir tulisan ini. Sekarang fokus dulu ke pertanyaan orang yang saya sebut itu.

Orang itu rupanya begitu stres. Begitu bingung. Bahkan mengaku sempat depresi dan bertemu psikiater. Entah mungkin karena tidak berhasil, malam itu dia bertanya kepada saya (yang bukan dokter, melainkan seorang lulusan marketing).

Ternyata, orang yang kira-kira berusia 30-an tahun itu –keluarga pengusaha– sering diteror lewat media sosial, juga lewat ”media-media online” yang memang sering tidak jelas juntrungannya atau pertanggungjawabannya.

Karena dia tahu bahwa saya hidup di dunia media, ya wajar dah jadinya kalau dia bertanya kepada saya soal itu. Atau mungkin karena dia mengira saya Clark Kent, yang memang kerjaan sehari-harinya jadi wartawan koran? Hehehe…
Terus terang, saya termasuk orang yang cuek. Saya juga sudah lama memutuskan bahwa saya hidup offline. Tidak lagi aktif di Facebook, tidak punya akun berkicau, dan lain-lain.

Soal itu pernah saya tulis di kolom Happy Wednesday dahulu kala (edisi 13). Salah satu alasannya ya supaya hidup lebih tenang, tidak ”terganggu” oleh posting-an atau kicauan yang kebanyakan tidak produktif, hanya mengganggu kesibukan sehari-hari.

Bahwa saya memilih offline itu saya sampaikan kepada orang tersebut. Sambil mengutip lagi lagu Taylor Swift, yang juga saya kutip di tulisan dulu, yang intinya menyatakan, ”Haters gonna hate, hate, hate…”
Bahwa banyak orang tidak suka saya, ya sudah. Hak mereka. Saya enggak pusing kok. Saya enggak benci mereka (kenal aja enggak), saya juga enggak punya hak menilai mereka (tahu kerjaan mereka aja enggak).

Lagi pula, rasa-rasanya hidup saya juga lebih enak daripada orang kebanyakan, termasuk para hater itu. Hehehe…
Tapi, saya juga sadar, tidak semua orang bisa cuek bebek seperti saya. Seperti orang yang bertanya itu.

Bahkan, saya menulis tema hari ini juga bukan murni karena pertanyaan orang itu. Ada rekan di Jawa Pos yang meminta saya untuk membahas lagi soal bully-mem-bully online, apalagi dengan munculnya berita-berita (beneran) tentang orang yang sampai mati karena tak tahan di-bully.

Dan ini masalah yang minta ampun sepelenya. Bikin saya terus geleng-geleng kepala. Bagaimana orang banyak bisa stres, bisa sampai mati, gara-gara sekarang banyak orang mampu beli smartphone, lalu memutuskan untuk menggunakan jempolnya bukan buat diacungkan tanda memuji, melainkan mengetikkan hal-hal tidak bermutu dan tidak terpuji (maaf, kalimat panjang).

Alatnya boleh bernama smartphone. Tapi, itu terbukti tidak membuat pemakainya lebih smart. Wkwkwkwk…
Kembali ke orang yang bertanya itu.

Ya, saya hanya bisa bilang abaikan saja. Ngapain dipusingin. Semakin kita pusingin, semakin mereka menjadi-jadi. Justru semakin kita cuekin, semakin selesai dah masalah.

Kalaupun itu media tidak jelas, ya orang pasti tahu kok itu jelas atau tidak. Kalau itu media sosial, ya cuekin aja dah. Emang kita hidup digaji untuk terus mengetik pakai jempol?
Sorry, mungkin memang ada orang yang digaji atau cari duit untuk itu, hehehe… Tapi, jumlahnya kan tidak sebanyak pegawai negeri…
Saran saya memang tidak spesial, tapi ya mau jawab apa lagi. Lagian, saya juga sudah sangat lapar dan makanan pesanan saya sudah datang. Nanti keburu dingin.

Yang jelas, sejak saat itu, dia tidak pernah lagi bertanya kepada saya. Semoga hidup dia memang lebih baik setelah mendengar jawaban itu.

Atau mungkin dia tidak pernah lagi bertanya karena kami memang belum pernah bertemu lagi. Dan waktu itu saya memang tidak memberikan nomor telepon serta alamat e-mail. Wkwkwkwk…
Anyway, semoga hidup dia lebih baik deh…

Artikel Terkait

Wayan di New York

Trump Kecele Lagi

Terpopuler

Artikel Terbaru

/