32 C
Medan
Saturday, June 29, 2024

Hidup Lihai

***

 

Kembali ke ’’lihai positif’’ atau ’’lihai negatif’’.

Ilmu lihai ini seperti makanan sehari-hari.

Kira-kira 6–7 tahun lalu, salah satu perusahaan saya akan menjalin kerja sama dengan sebuah organisasi nasional yang berkantor pusat di Jakarta.

Kami diminta banyak pihak untuk menyelamatkan sesuatu yang besar, dan untuk itu kami memang harus punya kesepakatan dengan induk organisasi ini.

Saya percaya, dan saya menekankan kepada tim saya (yang masih muda-muda), bahwa semua kesepakatan kita harus punya efek baik untuk jangka panjang.

Apa pun kesepakatan itu, harus menjadi fondasi supaya kelak yang kita selamatkan itu punya pegangan yang baik. Seandainya sudah berhasil diselamatkan, dan kita tidak lagi mengelola, maka sesuatu itu harus punya acuan supaya bisa terus berjalan baik.

Berkali-kali kami melakukan pertemuan. Entah berapa kali kesepakatan itu pulang-pergi lewat kabel (e-mail). Pada akhirnya, ada kesepakatan yang didapat dalam berbagai pasal yang panjangnya berhalaman-halaman.

Waktunya untuk tanda tangan, mengumumkannya kepada media.

Rencananya, besoknya kami akan ke Jakarta (dari Surabaya), lalu acara penandatanganan dilakukan. Draf terakhir datang lewat kabel (e-mail) ke Surabaya, siap kami print untuk kami bawa ke Jakarta.

Terus terang, saya tidak lagi membacanya. Manajer-manajer saya yang membacanya lagi.

Malam itu, saya ditelepon. Katanya ada pasal yang berubah, tidak sesuai dengan pembicaraan. Apakah penandatanganan harus ditunda, dan kita harus rapat lagi?

Dalam hati, saya menggerutu. Aduh capeknya!

Saya bilang saja, tidak perlu rapat lagi. Teruskan saja sesuai jadwal. Toh kita yang membawa kesepakatannya untuk diteken. Jadi, ya kita ubah lagi saja isinya sesuai pembicaraan.

Mereka mencoba ’’lihai’’ mengganti pasal. Kita juga ikut lihai menggantinya kembali. Toh niat kami baik.

Besoknya, acara jalan sesuai dengan rencana. Kontrak diteken. Kita tahu siapa yang mengubah itu, dan dia tampak agak gelagapan melihat kontrak yang diteken sudah kembali ke kontrak yang semestinya.

Hehehe… Sorry. Sudah diteken!

 

***

Belajar dari situ, saya bisa membayangkan betapa mengerikannya bekerja dan menjalin kerja sama di Indonesia ini.

Belajar dari situ, saya bisa membayangkan betapa sulitnya mencari orang yang bisa membawa negara ini ke level yang lebih tinggi.

Presiden kita, menteri-menteri kita, pengusaha-pengusaha kita, manajer-manajernya, semua harus lihai menghadapi situasi.

Pintar saja tidak cukup. Betapa banyak dosen hebat meraih jabatan tinggi di negeri kita, tapi setelah bertahun-tahun hasilnya tidak kelihatan? Malah mungkin berantakan, karena walau pintar secara keilmuan, mereka tidak punya kemampuan manajerial dan pemahaman praktis?

Kerja keras saja tidak cukup. Karena tidak mungkin pimpinan membaca semua surat, mendetailkan semua kontrak, meng-interview semua calon pekerja, sekaligus menyapu lantai, membersihkan toilet, dan lain sebagainya.

Harus bisa kerja lihai.

Tapi, kemudian muncul lagi pertanyaan, plus kekhawatiran, baru: Lihainya positif atau negatif? (*)

***

 

Kembali ke ’’lihai positif’’ atau ’’lihai negatif’’.

Ilmu lihai ini seperti makanan sehari-hari.

Kira-kira 6–7 tahun lalu, salah satu perusahaan saya akan menjalin kerja sama dengan sebuah organisasi nasional yang berkantor pusat di Jakarta.

Kami diminta banyak pihak untuk menyelamatkan sesuatu yang besar, dan untuk itu kami memang harus punya kesepakatan dengan induk organisasi ini.

Saya percaya, dan saya menekankan kepada tim saya (yang masih muda-muda), bahwa semua kesepakatan kita harus punya efek baik untuk jangka panjang.

Apa pun kesepakatan itu, harus menjadi fondasi supaya kelak yang kita selamatkan itu punya pegangan yang baik. Seandainya sudah berhasil diselamatkan, dan kita tidak lagi mengelola, maka sesuatu itu harus punya acuan supaya bisa terus berjalan baik.

Berkali-kali kami melakukan pertemuan. Entah berapa kali kesepakatan itu pulang-pergi lewat kabel (e-mail). Pada akhirnya, ada kesepakatan yang didapat dalam berbagai pasal yang panjangnya berhalaman-halaman.

Waktunya untuk tanda tangan, mengumumkannya kepada media.

Rencananya, besoknya kami akan ke Jakarta (dari Surabaya), lalu acara penandatanganan dilakukan. Draf terakhir datang lewat kabel (e-mail) ke Surabaya, siap kami print untuk kami bawa ke Jakarta.

Terus terang, saya tidak lagi membacanya. Manajer-manajer saya yang membacanya lagi.

Malam itu, saya ditelepon. Katanya ada pasal yang berubah, tidak sesuai dengan pembicaraan. Apakah penandatanganan harus ditunda, dan kita harus rapat lagi?

Dalam hati, saya menggerutu. Aduh capeknya!

Saya bilang saja, tidak perlu rapat lagi. Teruskan saja sesuai jadwal. Toh kita yang membawa kesepakatannya untuk diteken. Jadi, ya kita ubah lagi saja isinya sesuai pembicaraan.

Mereka mencoba ’’lihai’’ mengganti pasal. Kita juga ikut lihai menggantinya kembali. Toh niat kami baik.

Besoknya, acara jalan sesuai dengan rencana. Kontrak diteken. Kita tahu siapa yang mengubah itu, dan dia tampak agak gelagapan melihat kontrak yang diteken sudah kembali ke kontrak yang semestinya.

Hehehe… Sorry. Sudah diteken!

 

***

Belajar dari situ, saya bisa membayangkan betapa mengerikannya bekerja dan menjalin kerja sama di Indonesia ini.

Belajar dari situ, saya bisa membayangkan betapa sulitnya mencari orang yang bisa membawa negara ini ke level yang lebih tinggi.

Presiden kita, menteri-menteri kita, pengusaha-pengusaha kita, manajer-manajernya, semua harus lihai menghadapi situasi.

Pintar saja tidak cukup. Betapa banyak dosen hebat meraih jabatan tinggi di negeri kita, tapi setelah bertahun-tahun hasilnya tidak kelihatan? Malah mungkin berantakan, karena walau pintar secara keilmuan, mereka tidak punya kemampuan manajerial dan pemahaman praktis?

Kerja keras saja tidak cukup. Karena tidak mungkin pimpinan membaca semua surat, mendetailkan semua kontrak, meng-interview semua calon pekerja, sekaligus menyapu lantai, membersihkan toilet, dan lain sebagainya.

Harus bisa kerja lihai.

Tapi, kemudian muncul lagi pertanyaan, plus kekhawatiran, baru: Lihainya positif atau negatif? (*)

Artikel Terkait

Wayan di New York

Trump Kecele Lagi

Terpopuler

Artikel Terbaru

/