25 C
Medan
Sunday, September 29, 2024

‘Nice’ Kita Level Berapa?

Azrul Ananda
Azrul Ananda

Ucapan ‘Orang itu baik sekali ya…’ mungkin pernah terlontar dari mulut kita. Mari kita uji, apakah itu ‘baik’ yang sebenarnya, dan kita ada di tingkat berapa.

***
Definisi ‘nice’ alias ‘baik’ bisa bergeser. Di mata satu orang dengan yang lain bisa beda. Dan setelah mengalami beberapa kejadian, seseorang bisa mendefinisikannya ke arah yang berbeda.

Seseorang tiba-tiba bisa menyadari bahwa ada level ‘nice’ alias ‘baik’ yang lebih tinggi, yang melebihi segala pemahaman dan ekspektasi kita sendiri.

Bagi beberapa orang, disapa ‘Halo’ saja sudah cukup untuk menganggap bahwa yang menyapa itu ‘nice’ alias baik.

Lalu, beberapa orang juga sudah sangat happy ketika tanya arah tujuan kepada seseorang, dan orang itu menuding ke arah jalan yang benar.

Misalnya, ketika ke pusat perbelanjaan, lalu tanya kepada orang yang sedang lewat: “Maaf Mas, toiletnya di mana ya?”
Kemudian, orang yang ditanya menjawab: “Ke sana, Mas…” sambil menuding ke arah yang dia maksud.

Kita pun menganggap orang itu ‘nice’ alias baik, dan membalas lagi dengan: “Terima kasih ya, Mas…”
Nah, itu ‘nice’ atau baik level berapa?
Mungkin, itu baru level satu. Masih ada beberapa tingkat lagi.

Soal tanya arah ke toilet, level berikutnya mungkin orang yang ditanya akan mendeskripsikan arah dengan lebih detail.

“Ke sana, Mas. Lurus kira-kira seratus meter, lalu belok kiri. Toiletnya ada di sebelah ATM.”

Kira-kira begitu.

Level tiga, dia akan ikut berjalan untuk memastikan yang bertanya tidak salah belok.

Level empat, dia bersedia mengantarkan sampai ke pintu toilet.

Mungkin untuk tanya toilet ini, levelnya hanya empat. Sebab, kalau dia sampai ikut masuk ke dalam, wah, ya bahaya…
Tapi, untuk hal-hal lain, mungkin ada level lima, enam, tujuh, dan seterusnya sampai infinity.

Nah, level ‘nice’ kita ada di level berapa?
Dalam beberapa hari terakhir, saya berada di Amerika Serikat. Dan seperti ketika saya tinggal di Amerika selama tujuh tahun dulu, negara-negara maju selalu mengingatkan saya level ‘nice’’ yang lebih tinggi.

Faizal, kakak istri saya yang ikut membantu memotret di Kejuaraan Dunia Cycling di Richmond, mengaku takjub ketika harus berebut tempat dengan orang-orang di salah satu kawasan paling populer untuk menonton.

Bukannya didorong-dorong atau digeser-geser, orang-orang di kanan-kirinya malah memberinya ruang untuk memotret. Bahkan memastikan dia dapat ruang yang cukup!
Padahal, pada event utama Minggu lalu (27/9), ada ribuan orang yang memadati lokasi tempat memotret itu!
Lalu, saya ingat beberapa rekan yang pernah merasakan pengalaman-pengalaman ‘nice’ level tinggi selama di Amerika.

Seorang seniman Surabaya pernah diterbangkan ayah saya ke Amerika. Datang bareng orang tua saya saat saya diwisuda. Rupanya, dia itu termasuk yang ‘anti-Amerika’ dan ayah saya ingin dia merasakan sendiri sebelum menyimpulkan.

Setelah orang tua saya pulang, dia stay di apartemen saya. Karena saya ada jadwal kuliah dan lain-lain, maka dia sering keluyuran sendirian, lalu kembali ke apartemen.

Seperti di kebanyakan film, saya menaruh kunci di bawah karpet depan pintu seandainya dia pulang duluan (dan selalu aman).

Suatu malam, dia bercerita takjub kepada saya.

Dia bilang, malam itu dirinya balik naik bus, dan hanya ada dia penumpang saat itu. Saat di pemberhentian, dia mengaku lupa jalan menuju apartemen saya, dan bertanya kepada sang sopir.

Azrul Ananda
Azrul Ananda

Ucapan ‘Orang itu baik sekali ya…’ mungkin pernah terlontar dari mulut kita. Mari kita uji, apakah itu ‘baik’ yang sebenarnya, dan kita ada di tingkat berapa.

***
Definisi ‘nice’ alias ‘baik’ bisa bergeser. Di mata satu orang dengan yang lain bisa beda. Dan setelah mengalami beberapa kejadian, seseorang bisa mendefinisikannya ke arah yang berbeda.

Seseorang tiba-tiba bisa menyadari bahwa ada level ‘nice’ alias ‘baik’ yang lebih tinggi, yang melebihi segala pemahaman dan ekspektasi kita sendiri.

Bagi beberapa orang, disapa ‘Halo’ saja sudah cukup untuk menganggap bahwa yang menyapa itu ‘nice’ alias baik.

Lalu, beberapa orang juga sudah sangat happy ketika tanya arah tujuan kepada seseorang, dan orang itu menuding ke arah jalan yang benar.

Misalnya, ketika ke pusat perbelanjaan, lalu tanya kepada orang yang sedang lewat: “Maaf Mas, toiletnya di mana ya?”
Kemudian, orang yang ditanya menjawab: “Ke sana, Mas…” sambil menuding ke arah yang dia maksud.

Kita pun menganggap orang itu ‘nice’ alias baik, dan membalas lagi dengan: “Terima kasih ya, Mas…”
Nah, itu ‘nice’ atau baik level berapa?
Mungkin, itu baru level satu. Masih ada beberapa tingkat lagi.

Soal tanya arah ke toilet, level berikutnya mungkin orang yang ditanya akan mendeskripsikan arah dengan lebih detail.

“Ke sana, Mas. Lurus kira-kira seratus meter, lalu belok kiri. Toiletnya ada di sebelah ATM.”

Kira-kira begitu.

Level tiga, dia akan ikut berjalan untuk memastikan yang bertanya tidak salah belok.

Level empat, dia bersedia mengantarkan sampai ke pintu toilet.

Mungkin untuk tanya toilet ini, levelnya hanya empat. Sebab, kalau dia sampai ikut masuk ke dalam, wah, ya bahaya…
Tapi, untuk hal-hal lain, mungkin ada level lima, enam, tujuh, dan seterusnya sampai infinity.

Nah, level ‘nice’ kita ada di level berapa?
Dalam beberapa hari terakhir, saya berada di Amerika Serikat. Dan seperti ketika saya tinggal di Amerika selama tujuh tahun dulu, negara-negara maju selalu mengingatkan saya level ‘nice’’ yang lebih tinggi.

Faizal, kakak istri saya yang ikut membantu memotret di Kejuaraan Dunia Cycling di Richmond, mengaku takjub ketika harus berebut tempat dengan orang-orang di salah satu kawasan paling populer untuk menonton.

Bukannya didorong-dorong atau digeser-geser, orang-orang di kanan-kirinya malah memberinya ruang untuk memotret. Bahkan memastikan dia dapat ruang yang cukup!
Padahal, pada event utama Minggu lalu (27/9), ada ribuan orang yang memadati lokasi tempat memotret itu!
Lalu, saya ingat beberapa rekan yang pernah merasakan pengalaman-pengalaman ‘nice’ level tinggi selama di Amerika.

Seorang seniman Surabaya pernah diterbangkan ayah saya ke Amerika. Datang bareng orang tua saya saat saya diwisuda. Rupanya, dia itu termasuk yang ‘anti-Amerika’ dan ayah saya ingin dia merasakan sendiri sebelum menyimpulkan.

Setelah orang tua saya pulang, dia stay di apartemen saya. Karena saya ada jadwal kuliah dan lain-lain, maka dia sering keluyuran sendirian, lalu kembali ke apartemen.

Seperti di kebanyakan film, saya menaruh kunci di bawah karpet depan pintu seandainya dia pulang duluan (dan selalu aman).

Suatu malam, dia bercerita takjub kepada saya.

Dia bilang, malam itu dirinya balik naik bus, dan hanya ada dia penumpang saat itu. Saat di pemberhentian, dia mengaku lupa jalan menuju apartemen saya, dan bertanya kepada sang sopir.

Artikel Terkait

Wayan di New York

Trump Kecele Lagi

Terpopuler

Artikel Terbaru

/