Karena kendala bahasa, dia tidak bisa memahami penjelasan sang sopir. Tapi, bukannya sama-sama stres, sang sopir yang ramah itu memutuskan untuk memarkir dulu busnya. Dia lantas ikut turun bersama seniman Surabaya itu, lalu ikut berjalan mengantarkan sampai gerbang apartemen, sekitar dua blok dari pemberhentian bus.
Setelah itu, sang sopir berjalan balik lagi ke busnya.
Itu ‘nice’ level berapa?
Ketika bercerita kepada saya, sang seniman sempat membuat saya tertawa terpingkal. Orang yang sebelumnya agak anti-Amerika itu sampai melontarkan ucapan, “Ternyata Amerika itu lebih Islami…”
Ada lagi cerita lain.
Pernah sepasang penulis dan fotografer harian ini pergi meliput ajang Miss Universe, waktu itu di kawasan Los Angeles.
Sempat tersasar, mereka bertanya kepada seorang pengemudi mobil tentang lokasi venue. Pertama-tama, yang ditanya minta maaf dan mengaku juga tidak tahu lokasi pastinya. Lalu, dia pun pergi.
Eh, tidak lama kemudian, mobil tadi kembali. Dia mengaku melewati lokasi yang dituju, dan kembali untuk memberi tahu wartawan harian ini. Rupanya, dia merasa punya ‘utang’ karena tidak bisa menjawab. Begitu tahu jawabannya, dia kembali.
Itu ‘nice’ level berapa?
Dan masih banyak lagi cerita lain yang serupa.
Ya, tidak semua orang di Amerika ramah. Sama seperti tidak semua orang di Indonesia ramah. Sama seperti tidak semua orang di Arab Saudi ramah. Sama seperti tidak semua orang di Australia ramah. Sama seperti tidak semua orang di Prancis ramah.
Tulisan ini tidak bermaksud untuk bilang Amerika lebih baik, Indonesia lebih baik, Timur Tengah lebih baik, Australia lebih baik, dan lain sebagainya.
Sama sekali tidak.
Silakan Anda masing-masing memutuskan level ‘nice’ kita itu di level berapa. Dan kalau dibandingkan dengan orang lain, bedanya seperti apa.
Saya sendiri, terus terang, juga kayaknya gak level terlalu tinggi kok, wkwkwkwk. Sampai kadang malu juga karena sejak kecil saya selalu diajari bahwa negara kita ini ramah dan masyarakatnya ramah…
Sayang, buku pelajaran kita tidak pernah menuliskan ramahnya Indonesia itu di level berapa…
Selain itu, ‘nice’ atau tidak bergantung pada persepsi. Orang yang sebenarnya sangat, sangat baik, mungkin tidak disadari kalau baik karena tidak pernah banyak bicara. Atau mungkin, ada kelengahan sedikit yang mengakibatkan dia terkesan tidak nice.
Saya punya contoh lucunya.
Saya dan sahabat kuliah asal Jogja dulu jalan masuk ke sebuah mal di Sacramento. Di anak yang sangat baik, paling baik dan paling tidak bandel di antara kami semua waktu itu.
Ketika itu, dia jalan duluan di depan, membuka pintu masuk mal duluan. Dia tidak sadar, tidak jauh di belakangnya, ada seorang nenek yang juga ingin masuk.
Di Amerika, etiketnya adalah menahan pintu untuk orang berikutnya yang akan masuk, apalagi perempuan, anak-anak, dan manula.
Teman saya itu tidak sadar dan langsung membiarkan pintu tertutup. Sadar pintu itu akan menghantam sang nenek, saya melompat dan menahannya.
Nenek itu langsung menceletuk: “Terima kasih banyak. Kamu nice, teman kamu tidak…”
Wkwkwkwkwkwk…Padahal tidak sengaja!
Saya ceritakan kejadiannya kepada teman saya tadi, dan dia hanya bisa garuk-garuk kepala… (*)