Ini beberapa alasan mengapa saya cinta Surabaya. Dan ini yang biasanya saya sampaikan ke tamu-tamu dari negara lain.
Pertama, masyarakatnya. Biasanya, saya menyebut Surabaya ini dengan analogi kota besar dan kota kecil di Amerika. Tentu dengan maksud positif. Kalau ada tamu asing, biasanya saya bilang Surabaya ini ”big city with small town mentality”.
Sebuah kota besar, tapi dengan masyarakat yang komunal (guyub). Masyarakat yang bisa kompak, apa pun latar belakang agama dan suku bangsanya. Mungkin karena sejarahnya memang ini kota pelabuhan dengan berbagai suku bangsa tinggal di dalamnya.
Surabaya akan terus membesar, dan ke depannya mungkin ”komunal”-nya Surabaya bisa terkikis. Tapi, saya sangat berharap tidak.
Kedua, dalam belasan tahun terakhir, Surabaya ini kelihatan sekali berkembangnya. Dan itu saya lihat dengan mata kepala sendiri.
Waktu pulang seusai kuliah pada 2000, alangkah sedihnya saya dengan kota ini. Sampah ada di mana-mana. Kaki lima bertebaran tanpa pengelolaan yang jelas. Dan berbagai masalah perkotaan lainnya.
Bertahap tapi pasti, kota ini berbenah. Sekarang, tidak banyak kota lain yang pengelolaannya seperti Surabaya. Kalaupun ada, kota itu tidaklah sebesar Surabaya, sehingga skala tantangannya agak beda.
Saya biasanya bilang kepada rekan dari kota lain, sebenarnya cukup sederhana menilai kotanya itu punya manajemen atau tidak. Satu, kebersihannya seperti apa. Dua, penataan kaki limanya seperti apa. Tiga, penataan reklamenya seperti apa. Sudah itu saja. Bagi kota di Indonesia, kehebatan lain masih bisa dianggap bonus.
Surabaya bersyukur punya Bambang D.H. dulu, yang ”bersih-bersih” kota. Kemudian Surabaya sangat-sangat bersyukur lagi punya Bu Risma, yang membuat kota ini menjadi seperti sekarang. Coba pikirkan kota atau daerah lain yang beruntung punya suksesi pemimpin seperti ini. Jangankan punya suksesi pemimpin baik, belum baik saja tiba-tiba sudah bisa ditinggal pemimpinnya.
Sebagai alat ukur nyamannya tinggal di Surabaya, saya mau mengambil contoh seorang sahabat yang keturunan asing, punya istri dari provinsi lain, dan besar di Jakarta.
Kalau kenal dia saat kuliah, rasanya tidak mungkin orang seperti dia mau tinggal di Surabaya. Dasar nasib, dia dapat kerjaan di Kota Pahlawan. Keluarganya ikut pindah, dan belasan tahun kemudian tidak mau balik tinggal di Jakarta. Walau sebenarnya ada tawaran kerja lebih baik di ibu kota.
Alasan tidak mau pindah: Membesarkan anak jauh lebih nyaman dan menyenangkan di Surabaya.
Lucu juga sih, melihat anak-anaknya yang bertampang bule, sekarang kalau bicara pakai logat Suroboyoan. Keren! Wkwkwkwk…