MEDAN, SUMUTPOS.CO – Aparat kepolisian tengah memburu pelaku provokatif yang menyebabkan pecahnya aksi intoleran di Tanjungbalai, Sumatera Utara, Jumat (29/7). Pelaku provokatif itu, diketahui memicu massa untuk bertindak anarkis, saat polisi menengahi masalah yang berujung terbakarnya sejumlah vihara dan kendaraan.
Kapolri Jenderal Tito Karnavian mengatakan, saat itu sebenarnya polisi sudah mencoba menengahi perkara. Tito menerangkan, asal mula kasus berawal dari salah komunikasi antartetangga di sana.
“Karena kurang komunikasi. Ada kata-kata dari warga lainnya yang kurang pas ketika ada suara pengeras suara dari masjid. Sehingga ada warga keturunan yang berbicara agak keras. Ini sebenarnya sudah diselesaikan di tingkat kepala lingkungan. Tapi kemudian masih terjadi perdebatan dan akhirnya dibawa ke polsek,” kata Tito saat baru mendarat di Bandara Halim Perdanakusuma, Cawang, Jakarta Timur, Minggu (31/7).
Tito melanjutkan, saat polisi menengahi masalah, tiba-tiba ada orang yang beraksi mengeluarkan pernyataan bersifat provokatif di media sosial Facebook.
“Kemudian warga ramai. Secara sporadis melakukan aksi kekerasan, khususnya pembakaran di ada tiga rumah kalau tidak salah, kemudian ada kendaraan, serta vihara dan klenteng,” jelas Tito.
Tito menegaskan, pihaknya tengah memburu pelaku profokatif di medsos tersebut. Bahkan ia mengaku sudah membentuk satu tim, untuk mencari pelakunya.
“Kami juga mengirimkan tim untuk melacak kalau ada yang mereka melakukan isu provokatif lagi,” imbuh Tito.
Kapolri juga mengatakan, pihaknya akan berkoordinasi dengan Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemenkominfo). Sebab, berkaca dari kasus intoleran di Tanjungbalai, dunia medsos menjadi penyumbang pecahnya konflik yang mengakibatkan lima vihara dan beberapa kendaraan terbakar.
“Kami akan berkoordinasi dengan Kemenkominfo bagaimana pengawasan media sosial Twitter, Facebook, dan lain-lainnya, yang dengan mudah setiap orang menyebarluaskan secara viral,” ungkapnya.
Tito melanjutkan, konflik di Tanjungbalai sebenarnya sudah dicegah, yaitu dengan mendudukkan orang yang bermasalah. Namun, tiba-tiba saja ada provokator di media sosial, sehingga masyarakat lainnya tak terima, dan bertindak anarkis.
Sementara itu, upaya preventif di media sosial tidak bisa dicegah lantaran Polri tidak punya otoritas di dalamnya.
“Mungkin salah satunya dengan meminta provider internasional untuk memiliki server di Indonesia bisa jadi salah satu solusi. Sehingga bisa mencegah dan mengantisipasi adanya isu provokatif di media sosial. Sebenarnya kasus ini sangat mudah sekali ditangani. Tapi karena kita tidak punya akses, penanggulangannya jadi sangat sulit,” terang Tito.
Atas dasar itu, Tito mengaku tidak bisa mencegah adanya provokator yang menyebarkan pesan bersifat SARA di media sosial. Pihaknya hanya bisa mendeteksinya, setelah itu, melakukan penindakan melalui cyber crime. Sementara pesan SARA yang dilempar sang provokator, tetap menjadi viral di media sosial.
Di sisi lain, Tito menekankan, pihaknya akan menindak tegas pelaku provokator yang menebarkan hate speech. Selain itu, ia meminta, agar masyarakat tidak terprovokasi dengan isu-isu yang bersifat SARA.
“Jangan sampai mudah terprovokasi dengan berita-berita yang belum tentu benar dan tidak dapat dipertanggungjawabkan di medsos. Saya tekankan, ada ancaman hukumannya bagi mereka yang menyebarkan isu negatif. Kami mengimbau kepada netizen pengguna medsos tolong jangan menyebarkan isu negatif yang tidak bisa dipertanggungjawabkan,” tandas dia. (Mg4/jpnn)