25.6 C
Medan
Wednesday, May 22, 2024

Kekurangan Makanan, Monyet Ekor Panjang Turun ke Jalan

“Itu Siamang, namanya Neli. Kalau yang tidak mau turun itu jantannya. Dia tidak akan turun karena menjaga anaknya si Neli. Itu kebiasaan mereka yang jantan menjaga anaknya,” tambahnya.

Selain Beruk dan Siamang, di Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Sibaganding ini terdapat kera ekor panjang dan juga terdapat Kia-kia. Hanya saja untuk menemui Kia-kia pengunjung baru bisa melihatnya jika masuk lebih jauh kedalam kawasan hutan.

Awalnya memang sedikit khawatir, karena gerombolan primata datang mengelilingi tamu. Namun Abdurrahman meyakinkan, untuk agar takut menghadapi hewan liar itu. Syaratnya, tidak perlu agresif menghadapi monyet dan tenang. Itu juga mengapa dirinya sedikit menekankan pentingnya pemandu agar tidak diserang primata liar.

Dari dalam bangunan tua, dirinya pun mengeluarkan tiga bungkus kacang goreng yang kemudian dibagikannya kepada pengunjung untuk dibagikan kepada para primata. Hanya Rp10 ribu per bungkus, yang kata Abdurrahman perlu dibayar, karena mereka juga harus membelinya dari luar.

“Ada atau tidak pengunjung, kera-kera ini tetap kami beri makan. Biasanya pisang dan ubi bakar untuk Siamang, karena biasanya tidak begitu suka kacang,” sebut Abdurrahman sambil menunjuk ke Siamang bernama Nelly dan Sadam Husen tadi.

Menurutnya, pada era akhir 90’an hingga 2000 an, taman ini ramai dikunjungi wisatawan mancanegara dan Nusantara, maupun wisata lokal. Inilah yang menjadi tujuan wisatawan selain berwisata di Danau Toba, mulai dari Parapat. Jadi, sebelum menepi ke danau, pengunjung seringkali singgah melihat kekayaan flora dan fauna di bukit hijau ini.

Menggantikan sang ayah yang sudah tua, Abdurrahman pun menjadi penerus atau generasi berikutnya sebagai penjaga kawasan hutan tersebut. Namun kejayaan atau ramainya pengunjung kini tidak lagi terlihat. Hanya sesekali orang singgah masuk ke dalam hutan hijau itu. Efeknya, kekurangan wisatawan, biaya membeli makanan pun akhirnya tidak sebanyak seperti saat berjaya.

“Itu Siamang, namanya Neli. Kalau yang tidak mau turun itu jantannya. Dia tidak akan turun karena menjaga anaknya si Neli. Itu kebiasaan mereka yang jantan menjaga anaknya,” tambahnya.

Selain Beruk dan Siamang, di Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Sibaganding ini terdapat kera ekor panjang dan juga terdapat Kia-kia. Hanya saja untuk menemui Kia-kia pengunjung baru bisa melihatnya jika masuk lebih jauh kedalam kawasan hutan.

Awalnya memang sedikit khawatir, karena gerombolan primata datang mengelilingi tamu. Namun Abdurrahman meyakinkan, untuk agar takut menghadapi hewan liar itu. Syaratnya, tidak perlu agresif menghadapi monyet dan tenang. Itu juga mengapa dirinya sedikit menekankan pentingnya pemandu agar tidak diserang primata liar.

Dari dalam bangunan tua, dirinya pun mengeluarkan tiga bungkus kacang goreng yang kemudian dibagikannya kepada pengunjung untuk dibagikan kepada para primata. Hanya Rp10 ribu per bungkus, yang kata Abdurrahman perlu dibayar, karena mereka juga harus membelinya dari luar.

“Ada atau tidak pengunjung, kera-kera ini tetap kami beri makan. Biasanya pisang dan ubi bakar untuk Siamang, karena biasanya tidak begitu suka kacang,” sebut Abdurrahman sambil menunjuk ke Siamang bernama Nelly dan Sadam Husen tadi.

Menurutnya, pada era akhir 90’an hingga 2000 an, taman ini ramai dikunjungi wisatawan mancanegara dan Nusantara, maupun wisata lokal. Inilah yang menjadi tujuan wisatawan selain berwisata di Danau Toba, mulai dari Parapat. Jadi, sebelum menepi ke danau, pengunjung seringkali singgah melihat kekayaan flora dan fauna di bukit hijau ini.

Menggantikan sang ayah yang sudah tua, Abdurrahman pun menjadi penerus atau generasi berikutnya sebagai penjaga kawasan hutan tersebut. Namun kejayaan atau ramainya pengunjung kini tidak lagi terlihat. Hanya sesekali orang singgah masuk ke dalam hutan hijau itu. Efeknya, kekurangan wisatawan, biaya membeli makanan pun akhirnya tidak sebanyak seperti saat berjaya.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/