31.7 C
Medan
Sunday, May 5, 2024

Langkah Pertama: Temukan Lokasi Deposit Emasnya

PT AR for Sumut Pos OPERATOR: Sri Hastuti, wanita 25 tahun dengan tinggi badan hanya 150 cm, berdiri di ADT Cat 740, supertruk bermuatan 40 ton.
PT AR for Sumut Pos
OPERATOR: Sri Hastuti, wanita 25 tahun dengan tinggi badan hanya 150 cm, berdiri di ADT Cat 740, supertruk bermuatan 40 ton.

Laporan: Dame Ambarita, Tapsel

Tambang emas. Apa yang terbayang? Berbongkah-bongkah logam kuning berkilau dikeruk dari perut bumi? Bongkah emas barangkali hanya ada dalam kisah suku Indian di novel Karl May. Kenyataannya, bijih emas jarang terlihat secara kasat mata. Jikapun terlihat, hanya berupa butiran kasar. Pada umumnya emas tersembunyi di bebatuan. Ukurannya mikro bahkan micron. Untuk menemukannya, butuh proses yang njelimet.

“Tidak gampang menemukannya. Butuh kerja keras, biaya, dan teknologi,” kata Mustika Rivay, geologist lulusan Trisaksi Jakarta, yang setahun terakhir bekerja di Tambang Emas Martabe (PT Agincourt Resources) di Kecamatan Batangtoru, Tapanuli Selatan, kepada Sumut Pos akhir pekan kemarin.

Mungkin, kata dia, jika sekadar menemukan bebatuan yang mengandung emas, bisa saja dalam hitungan hari. Tetapi untuk menentukan kadar, luas area, dan menghitung potensi emas untuk skala perusahaan tambang, perlu eksplorasi yang sering membutuhkan waktu hingga bertahun-tahun.

“Pada tahap eksplorasi, tidak ada mineral berharga atau bahan tambang lainnya yang diambil atau ditambang. Dalam menjalankan kegiatan ini, perusahaan harus mengeluarkan dana yang tidak sedikit, tanpa bisa mengetahui secara pasti apakah akan mendapatkan cadangan mineral yang dicari,” katanya.

Ia mencontohkan kegiatan eksplorasi di area sekitar Sungai Aek Pahu Kecamatan Batangtoru, Tapsel, yang kini menjadi Tambang Emas Martabe. Eksplorasi telah dilakukan sejak tahun 1997, di bawah bendera perusahaan PT Danau Toba Mining. Perusahaan milik Normandy Anglo Asia Pte. Ltd itu memasuki Tanah Batak tahun 1996 dan menemukan beberapa prospek. Seperti Simarpinggan (Kapur-Gambir), Aek Pahu (Batangtoru), dan Dolok Pinapan (Banuarea, Taput) pada tahun 1996. Kegiatan eksplorasi regional dilakukan dengan menerapkan metode Bulk Leach Extracable Gold (alat analisis geokimia untuk mengukur emas berbutir halus dan sampel yang heterogen).

Menduga ada cadangan yang cukup, setahun berikutnya PT Danau Toba Mining menandatangani wilayah Kontrak Karya Generasi VI dengan luas 659.060 hektare, berdasarkan Persetujuan Presiden RI. Wilayah Kontrak Karya meliputi Kabupaten Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah, Tapanuli Selatan, Mandailing Natal, dan Kotamadya Padangsidimpuan. Flying camp (camp sementara) di Prospek Monyet (wilayah tambang Martabe saat ini).

Kegiatan eksplorasi regional terus berjalan. Selain melakukan BLEG sampling, dilakukan juga pemetaan geologi dan alterasi, pengambilan contoh soil (soil sampling) di wilayah Kapur-Gambir dan Aek Pahu.

Pada akhir tahun 1998, hasil dari kegiatan pemboran di berbagai titik, didapatkan alterasi dan mineralisasi yang menjanjikan di Bukit Purnama (Tor Sipalpal atau Pit 1 Martabe saat ini). Namun karena cadangan dianggap tidak sesuai yang mereka harapkan, perusahaan tidak melanjutkan sampai ke tahap eksploitasi.

Tahun 2001, PT Danau Toba Mining digantikan oleh PT Horas Nauli (PT HN) untuk mengembangkan Proyek Tambang Emas Martabe. Namun hitung-hitungan PT HN juga memutuskan cadangan emas tidak sebesar yang mereka inginkan. Dua tahun berikutnya, Horas Nauli mundur, digantikan PT Newmont Horas Nauli.

Tiga tahun berikutnya, Newmont Horas Nauli juga ikut mundur dan digantikan PT Agincourt Resources (Martabe), untuk melanjutkan pengembangan Proyek Tambang Emas Martabe.

“Perusahaan-perusahaan itu menemukan potensi emas. Tapi kadar yang mereka temukan dianggap tidak sesuai standar cadangan untuk skala perusahaan mereka,” kata Mustika.

Sebenarnya, bagaimana menemukan wilayah mana yang mengandung emas? Menurut Mustika, ada beberapa langkah. Langkah pertama: studi literatur. Lewat literatur, diketahui wilayah yang memiliki kontur topografi gunung dan lembah, dan dicurigai ada patahan dan rekahan.

“Biasanya, ada mineral tertentu yang dikandung dalam patahan dan rekahan. Teorinya, gempa bisa memicu patahan yang memunculkan emas dari perut bumi. Air yang menguap dari patahan selama gempa mengandung deposit emas,” katanya.

Setelah studi literatur, berikutnya survei udara/geofisika atau satelit. Metode ini dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu foto udara (menggunakan satelit) dan geofisika (menggunakan helikopter) dengan hasil akhir berwujud analisa rekahan-rekahan yang berpotensi membawa mineral ekonomis naik ke atas.

Saat ini, Australia dan Amerika Serikat merupakan negara termaju dalam teknologi citra satelit yang bisa menyingkapkan kandungan mineral bumi.

Langkah berikutnya, perusahaan tambang menerjunkan para geologist. Para ilmuwan yang kerap disebut detektif alam inilah yang bertugas mengobservasi alam, dengan mempelajari bebatuan untuk mencari bukti tentang kandungan mineral di wilayah yang dituju.

Berbekalkan alat tulis, kantong sampel, palu, pipa penanda tempat, kamera, GPS, tim geologi (biasanya terdiri dari geologist, medis, dan kru) berangkat ke area yang dipilih lewat sistem mapping. Sekali berangkat bisa beberapa tim dengan tujuan yang berbeda.

“Eksplorasi membutuhkan biaya yang cukup besar. Dan bisa memakan waktu bertahun-tahun,” aku Gunawanta Bangun, geologist lulusan ITB yang sudah 10 tahun terakhir bekerja di Tambang Emas Martabe.

Adapun kegiatan yang dilakukan para geologis, menurut Gunawanta, antara lain pengambilan contoh sedimen sungai. Kegiatan ini dilakukan pada tahap awal eksplorasi dengan mengambil contoh pasir dan lumpur di sepanjang aliran sungai yang berada di sekitar wilayah yang hendak diselidiki. Contoh endapan sungai ini kemudian dikirim ke laboratorium untuk mengetahui nilai kandungan logam.

Adapun ciri pertama daerah yang mengandung emas adalah adanya sebaran batuan beku. “Batu kuarsa adalah salahsatu ciri pembawa emas,” katanya.

Selain itu, contoh tanah dan batu juga diambil. Tindakan ini dilakukan untuk lebih meyakinkan nilai kandungan logam di suatu wilayah yang sudah pernah dilakukan pengambilan contoh endapan sungainya.

Selanjutnya dilakukan pemetaan geologi, yakni peta penyebaran jenis-jenis batuan dalam suatu wilayah eksplorasi, yang diperkirakan mengandung bahan tambang. “Contohnya andesit, breksi, batu pasir, dan batu gamping,” kata Gunawanta.

Kemudian survei pemetaan geologi, seperti pemetaan penyebaran jenis batuan di lokasi yang diikuti survei pemetaan geofisika, yakni pemetaan sifat-sifat fisik batuan yang diperkirakan mengandung bahan tambang. Sifat kekerasan batuan dan sifat kelistrikan batuan diteliti. Selanjutnya survei pemetaan geokimia, yakni pemetaan penyebaran unsur-unsur kimia batuan atau tanah yang diperkirakan mengandung bahan tambang.

Untuk melakukan seluruh proses itu, satu tim bisa keluar masuk hutan selama 20 hari sampai 1,5 bulan. Tergantung kebutuhan. Untuk tidur, mereka menginap di flying camp terdekat.

Menghadapi hujan, berkabut, jalanan licin, bertemu ular, beruang, lintah, pacat, tidak ada sinyal hingga tidak bisa berkomunikasi dengan keluarga, menjadi tantangan yang harus mereka atasi. “Tapi semuanya asyik-asyik saja,” kata Mustika diamini Gunawanta. Alasannya, selain kendala-kendala itu, pengalaman mengenal topografi sebuah wilayah, menemukan batu-batu langka, memancing ikan di sungai, juga menjadi hiburan tersendiri. (bersambung)

PT AR for Sumut Pos OPERATOR: Sri Hastuti, wanita 25 tahun dengan tinggi badan hanya 150 cm, berdiri di ADT Cat 740, supertruk bermuatan 40 ton.
PT AR for Sumut Pos
OPERATOR: Sri Hastuti, wanita 25 tahun dengan tinggi badan hanya 150 cm, berdiri di ADT Cat 740, supertruk bermuatan 40 ton.

Laporan: Dame Ambarita, Tapsel

Tambang emas. Apa yang terbayang? Berbongkah-bongkah logam kuning berkilau dikeruk dari perut bumi? Bongkah emas barangkali hanya ada dalam kisah suku Indian di novel Karl May. Kenyataannya, bijih emas jarang terlihat secara kasat mata. Jikapun terlihat, hanya berupa butiran kasar. Pada umumnya emas tersembunyi di bebatuan. Ukurannya mikro bahkan micron. Untuk menemukannya, butuh proses yang njelimet.

“Tidak gampang menemukannya. Butuh kerja keras, biaya, dan teknologi,” kata Mustika Rivay, geologist lulusan Trisaksi Jakarta, yang setahun terakhir bekerja di Tambang Emas Martabe (PT Agincourt Resources) di Kecamatan Batangtoru, Tapanuli Selatan, kepada Sumut Pos akhir pekan kemarin.

Mungkin, kata dia, jika sekadar menemukan bebatuan yang mengandung emas, bisa saja dalam hitungan hari. Tetapi untuk menentukan kadar, luas area, dan menghitung potensi emas untuk skala perusahaan tambang, perlu eksplorasi yang sering membutuhkan waktu hingga bertahun-tahun.

“Pada tahap eksplorasi, tidak ada mineral berharga atau bahan tambang lainnya yang diambil atau ditambang. Dalam menjalankan kegiatan ini, perusahaan harus mengeluarkan dana yang tidak sedikit, tanpa bisa mengetahui secara pasti apakah akan mendapatkan cadangan mineral yang dicari,” katanya.

Ia mencontohkan kegiatan eksplorasi di area sekitar Sungai Aek Pahu Kecamatan Batangtoru, Tapsel, yang kini menjadi Tambang Emas Martabe. Eksplorasi telah dilakukan sejak tahun 1997, di bawah bendera perusahaan PT Danau Toba Mining. Perusahaan milik Normandy Anglo Asia Pte. Ltd itu memasuki Tanah Batak tahun 1996 dan menemukan beberapa prospek. Seperti Simarpinggan (Kapur-Gambir), Aek Pahu (Batangtoru), dan Dolok Pinapan (Banuarea, Taput) pada tahun 1996. Kegiatan eksplorasi regional dilakukan dengan menerapkan metode Bulk Leach Extracable Gold (alat analisis geokimia untuk mengukur emas berbutir halus dan sampel yang heterogen).

Menduga ada cadangan yang cukup, setahun berikutnya PT Danau Toba Mining menandatangani wilayah Kontrak Karya Generasi VI dengan luas 659.060 hektare, berdasarkan Persetujuan Presiden RI. Wilayah Kontrak Karya meliputi Kabupaten Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah, Tapanuli Selatan, Mandailing Natal, dan Kotamadya Padangsidimpuan. Flying camp (camp sementara) di Prospek Monyet (wilayah tambang Martabe saat ini).

Kegiatan eksplorasi regional terus berjalan. Selain melakukan BLEG sampling, dilakukan juga pemetaan geologi dan alterasi, pengambilan contoh soil (soil sampling) di wilayah Kapur-Gambir dan Aek Pahu.

Pada akhir tahun 1998, hasil dari kegiatan pemboran di berbagai titik, didapatkan alterasi dan mineralisasi yang menjanjikan di Bukit Purnama (Tor Sipalpal atau Pit 1 Martabe saat ini). Namun karena cadangan dianggap tidak sesuai yang mereka harapkan, perusahaan tidak melanjutkan sampai ke tahap eksploitasi.

Tahun 2001, PT Danau Toba Mining digantikan oleh PT Horas Nauli (PT HN) untuk mengembangkan Proyek Tambang Emas Martabe. Namun hitung-hitungan PT HN juga memutuskan cadangan emas tidak sebesar yang mereka inginkan. Dua tahun berikutnya, Horas Nauli mundur, digantikan PT Newmont Horas Nauli.

Tiga tahun berikutnya, Newmont Horas Nauli juga ikut mundur dan digantikan PT Agincourt Resources (Martabe), untuk melanjutkan pengembangan Proyek Tambang Emas Martabe.

“Perusahaan-perusahaan itu menemukan potensi emas. Tapi kadar yang mereka temukan dianggap tidak sesuai standar cadangan untuk skala perusahaan mereka,” kata Mustika.

Sebenarnya, bagaimana menemukan wilayah mana yang mengandung emas? Menurut Mustika, ada beberapa langkah. Langkah pertama: studi literatur. Lewat literatur, diketahui wilayah yang memiliki kontur topografi gunung dan lembah, dan dicurigai ada patahan dan rekahan.

“Biasanya, ada mineral tertentu yang dikandung dalam patahan dan rekahan. Teorinya, gempa bisa memicu patahan yang memunculkan emas dari perut bumi. Air yang menguap dari patahan selama gempa mengandung deposit emas,” katanya.

Setelah studi literatur, berikutnya survei udara/geofisika atau satelit. Metode ini dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu foto udara (menggunakan satelit) dan geofisika (menggunakan helikopter) dengan hasil akhir berwujud analisa rekahan-rekahan yang berpotensi membawa mineral ekonomis naik ke atas.

Saat ini, Australia dan Amerika Serikat merupakan negara termaju dalam teknologi citra satelit yang bisa menyingkapkan kandungan mineral bumi.

Langkah berikutnya, perusahaan tambang menerjunkan para geologist. Para ilmuwan yang kerap disebut detektif alam inilah yang bertugas mengobservasi alam, dengan mempelajari bebatuan untuk mencari bukti tentang kandungan mineral di wilayah yang dituju.

Berbekalkan alat tulis, kantong sampel, palu, pipa penanda tempat, kamera, GPS, tim geologi (biasanya terdiri dari geologist, medis, dan kru) berangkat ke area yang dipilih lewat sistem mapping. Sekali berangkat bisa beberapa tim dengan tujuan yang berbeda.

“Eksplorasi membutuhkan biaya yang cukup besar. Dan bisa memakan waktu bertahun-tahun,” aku Gunawanta Bangun, geologist lulusan ITB yang sudah 10 tahun terakhir bekerja di Tambang Emas Martabe.

Adapun kegiatan yang dilakukan para geologis, menurut Gunawanta, antara lain pengambilan contoh sedimen sungai. Kegiatan ini dilakukan pada tahap awal eksplorasi dengan mengambil contoh pasir dan lumpur di sepanjang aliran sungai yang berada di sekitar wilayah yang hendak diselidiki. Contoh endapan sungai ini kemudian dikirim ke laboratorium untuk mengetahui nilai kandungan logam.

Adapun ciri pertama daerah yang mengandung emas adalah adanya sebaran batuan beku. “Batu kuarsa adalah salahsatu ciri pembawa emas,” katanya.

Selain itu, contoh tanah dan batu juga diambil. Tindakan ini dilakukan untuk lebih meyakinkan nilai kandungan logam di suatu wilayah yang sudah pernah dilakukan pengambilan contoh endapan sungainya.

Selanjutnya dilakukan pemetaan geologi, yakni peta penyebaran jenis-jenis batuan dalam suatu wilayah eksplorasi, yang diperkirakan mengandung bahan tambang. “Contohnya andesit, breksi, batu pasir, dan batu gamping,” kata Gunawanta.

Kemudian survei pemetaan geologi, seperti pemetaan penyebaran jenis batuan di lokasi yang diikuti survei pemetaan geofisika, yakni pemetaan sifat-sifat fisik batuan yang diperkirakan mengandung bahan tambang. Sifat kekerasan batuan dan sifat kelistrikan batuan diteliti. Selanjutnya survei pemetaan geokimia, yakni pemetaan penyebaran unsur-unsur kimia batuan atau tanah yang diperkirakan mengandung bahan tambang.

Untuk melakukan seluruh proses itu, satu tim bisa keluar masuk hutan selama 20 hari sampai 1,5 bulan. Tergantung kebutuhan. Untuk tidur, mereka menginap di flying camp terdekat.

Menghadapi hujan, berkabut, jalanan licin, bertemu ular, beruang, lintah, pacat, tidak ada sinyal hingga tidak bisa berkomunikasi dengan keluarga, menjadi tantangan yang harus mereka atasi. “Tapi semuanya asyik-asyik saja,” kata Mustika diamini Gunawanta. Alasannya, selain kendala-kendala itu, pengalaman mengenal topografi sebuah wilayah, menemukan batu-batu langka, memancing ikan di sungai, juga menjadi hiburan tersendiri. (bersambung)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/