MEDAN, SUMUTPOS.CO -Dua terdakwa kasus penyuapan Bupati Batubara Nonaktif OK Arya Zulkarnain, Maringan Situmorang dan Syaiful Azhar, menjalani sidang perdana dengan agenda pembacaan surat dakwaan dari penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Pengadilan Tipikor Medan, Kamis (7/12) siang.
Dakwaan dibacakan secara terpisah oleh penuntut umum KPK Ihsan Fernandi. Untuk Maringan Situmorang, didakwa melakukan penyuapan terhadap OK Arya Zulkarnain sebesar Rp3,7 miliar.
“Terdakwa Maringan Situmorang memberikan satu lembar cek Bank Sumut Nomor CJ 561633 senilai Rp1,5 miliar, satu lembar cek Bank Sumut Nomor CJ 560012 Rp1,5 miliar, dan uang sebesar Rp700 juta, kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara (Bupati) yakni OK Arya Zulkarnain,” ungkap Ihsan di hadapan majelis hakim yang diketuai Wahyu Setyo Prabowo di Ruang Utama Pengadilan Negeri (PN) Medan.
Dalam penyuapan ini, seluruh uang dikumpul oleh Sujendi Tarsono alias Yen, pemilik shoowroom mobil Ada Jadi Mobil Jalan Gatot Suboroto Medan, dan di rumahnya Jalan Air Bersih ujung.
Ihsan mengatakan, uang diberikan secara bertahap sejak Desember 2016 hingga Agustus 2017. “Uang suap yang diserahkan melalui Sujendi Tarsono alias Yen, dengan maksud pegawai negeri atau penyelenggara negara (OK Arya Zulkarnain) tersebut, berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajiban, yakni supaya OK Arya Zulkarnain selaku Bupati Batubara, melakukan pengaturan dalam proyek di Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kabupaten Batubara,” bebernya.
Lebih lanjut, Ihsan mengatakan, penyuapan ini merupakan fee untuk memuluskan proyek pembangunan jembatan Sei Magung, Kecamatan Medangderas, dan proyek pembangunan jembatan Sentang di perbatasan Kelurahan Labuhanruku menuju Desa Sentangagar, Kabupaten Batubara. “Seluruhnya dikerjakan terdakwa Maringan sebagai kontraktornya, yang bertentangan dengan kewajiban OK Arya Zulkarnain sebagai kepala daerah, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, tentang Pemerintahan Daerah, sebagaimana telah diubah dan ditambah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015, dan bertentangan dengan kewajiban selaku penyelenggara negara, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999, tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme,” jelasnya.