MEDAN, SUMUTPOS.CO – Kepolisian Daerah Sumatera Utara (Polda Sumut) dinilai lambat dalam menangani kasus kerangkeng milik Bupati Langkat nonaktif, Terbit Rencana Perangin-Angin (TRP). Sudah lebih satu setengah bulan sejak kerangkeng ditemukan, hingga kini belum ada penetapan tersangka. Padahal, penetapan tersangka menjadi poin penting dalam menakar komitmen Kepolisian melakukan penegakan hukum dalam kasus ini.
Untuk itu, KontraS Sumut mendesak Polda Sumut untuk segera memastikan penegakan hukum atas kasus kerangkeng manusia tersebut. Staf Informasi dan Dokumentasi KontraS Sumut, Adinda Zahra Noviyanti mengatakan, sejak penemuan kerangkeng itu pada Januari 2022, pihak kepolisian bersama Komnas HAM dan lembaga lainnya sudah merilis berbagai temuan yang cukup komprehensif, namun masih belum ada juga penetapan tersangka bagi para pelaku yang diduga terlibat.
Dinda menyebutkan, dari update monitoring kasus yang KontraS lakukan, sejauh ini hingga minggu pertama pada Maret 2022, pihak kepolisian baru menaikan status perkara dari penyelidikan ke penyidikan. “Itupun secara spesifik terkait konteks temuan penghuni yang meninggal selama berada dalam kerangkeng. Lambatnya penetapan tersangka dalam kasus kerangkeng manusia milik TRP patut dipertanyakan,” tegasnya.
Menurut Dinda, penetapan tersangka menjadi satu poin penting untuk menakar komitmen kepolisian dalam melakukan penegakan hukum kasus ini. Apalagi pihak kepolisian sudah memeriksa sebanyak 70 saksi, menyita sejumlah barang bukti serta melakukan ekshumasi dan autopsi. Bahkan hasil autopsi juga sudah didapatkan.
Selain mendorong sesegera mungkin penetapan tersangka, pihaknya juga menyampaikan beberapa catatan KontraS Sumut dalam menyikapi berjalannya proses hukum kasus kerangkeng manusia milik bupati langkat non aktif tersebut. Salah satunya adalah pemenuhan hak bagi para penghuni kerangkeng (korban) dan perlindungan bagi saksi. “Ada sekitar 57 orang yang terdata terakhir di dalam kerangkeng sebelum ditemukan. Harus dipenuhi haknya, baik itu dalam bentuk pemulihan fisik maupun psikis. Selama ini, semua cenderung fokus pada penegakan hukum, negara sampai lupa bahwa ada hak-hak korban yang harus dipenuh,” bebernya.
Dalam hal ini, kata Dinda, para korban perlu dipulihkan psikisnya karena mengalami berbagai tindakan tidak manusiawi. Mengingat banyak korban yang merupakan orang-orang dengan permasalahan sosial yang seharusnya juga menjadi tanggung jawab negara, terutama yang berusia anak-anak atau di bawah umur.
Dia menambahkan, ada korban meninggal yang juga harus dipenuhi hak bagi keluarga korban apakah itu dalam bentuk restitusi ataupun kompensasi. LPSK juga harus proaktif dalam memberikan akses keadilan bagi saksi dan korban yang telah melapor kepada kepolisian. Dengan demikian, lanjutnya, kendala pengungkapan kasus yang diakibatkan adanya ketakutan dari korban maupun saksi yang mengetahui keberadaan dan tindakan di luar batas kemanusiaan di kerangkeng itu bisa diminimalisir.
Selain itu, tambahnya, hal lain yang menjadi sorotan KontraS adalah terkait temuan keterlibatan oknum Polisi dan TNI dalam kasus kerangkeng manusia. Pihak kepolisian melalui Bidang Propam, maupun TNI melalui POM, wajib bertindak cepat dalam melakukan pemeriksaan terhadap personelnya yang terlibat. “Poin pentingnya, proses hukum bagi aparat Polisi dan TNI yang diduga terlibat harus dilakukan secara professional dan transparan. Sehingga publik bisa mengetahui siapa, bagaimana dan sejauh apa bentuk keterlibatan mereka. Ini diperlukan agar tidak malah jadi asumsi liar yang justru makin merusak citra Polisi dan TNI dihadapan publik,” imbuhnya.
Catatan terakhir, papar Dinda, KontraS menilai kasus kerangkeng manusia ini bukan sekadar tindak pidana biasa. Dari pola dan bentuk pelanggaran yang terjadi, pihaknya melihat apa yang terjadi di kerangkeng milik Bupati Langkat bisa masuk kategori pelanggaran HAM Berat. “Jika demikian, maka bukan tidak mungkin diadili menggunakan mekanisme pengadilan HAM,” tegasnya lagi.
Dinda mengungkapkan, mengacu kepada Undang-Undang 26 tahun 2000, tentang Pengadilan HAM, pelanggaran yang dapat diseret adalah pelanggaran HAM berat yang meliputi genosida dan kejahatan kemanusian lain. Kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam UU ini adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahui bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil. “Bentuknya bisa banyak, pembunuhan, perbudakan, penyiksaan, dan perampasan kemerdekaan seperti yang diduga terjadi di dalam kerangkeng manusia adalah beberapa contohnya,” ucapnya.
Unsur meluas dan sistematik, sambungnya, menunjukkan pada keterlibatan otoritas yang memegang kekuasaan sehingga terjadi pelanggaran. Sebagaimana diketahui, dalam kasus kerangkeng milik Bupati Langkat, keterlibatan otoritas pemegang kekuasaan sangat jelas. Di situ ada Bupati Langkat, pejabat pemerintah lain, hingga aparat keamanan Negara.
Jika melihat pada instrumen HAM internasional, istilah meluas merujuk pada jumlah. Dari temuan Komnas HAM setidaknya ada 6 orang meninggal dunia. Angka ini belum termasuk korban fisik dan trauma psikis. Ini belum lagi korban yang tidak memiliki keberanian untuk mengungkap penyiksaan yang dialaminya selama berada di dalam kerangkeng. “Sebuah catatan yang KontraS Sumut temukan di ruangan kerangkeng setidaknya sudah ada 433 orang yang tercatat pernah mendiami kerangkeng tersebut. Angka yang disebutkan Polda dan Komnas HAM bahkan jauh lebih banyak dari itu,” paparnya.
Satu hal yang pasti, terangnya, kepastian hukum yang mampu memenuhi rasa keadilan bagi korban, sekaligus langkah konkrit dari Negara dalam melakukan perlindungan HAM merupakan fokus utama. Bahwa Keberadaan kerangkeng manusia itu tidak sekedar melanggar aspek perizinan dan tindakan yang melampaui kewenangan.
Dikatakannya, bahwa beroperasinya kerangkeng secara tegas telah merenggut hak asasi manusia yang tidak bisa dikurangi dalam keadaan apapun (non derogable rights) seperti hak untuk tidak disiksa, hak atas kemerdekaan pikiran dan hati nurani serta hak untuk tidak diperbudak sebagaimana diatur oleh pasal 28I UUD 1945 dan UU Nomor 39 tahun 1999, tentang Hak Asasi Manusia (HAM).
“Berlangsung selama lebih 10 tahun, didukung dan difasilitasi oleh otoritas kekuasaan, jumlah korban tidak sedikit dan berasal dari berbagai daerah. Tentu ini bukan sekedar tindak pidana biasa,” tandasnya. (dwi)