27.8 C
Medan
Thursday, May 9, 2024

Gadis Ini Tiap Hari jadi Pikiran Ortu: Siapalah Kelak Tempatnya Bergantung?

Foto: Dame/Sumut Pos Nikmat Rosita Siregar (24) diapit ayah dan ibunya, bersiap pulang usai operasi katarak gratis yang digelar Tambang Emas Martabe di RS Tentara Padangsidimpuan, Sabtu (10/12/2016).
Foto: Dame/Sumut Pos
Nikmat Rosita Siregar (24) diapit ayah dan ibunya, bersiap pulang usai operasi katarak gratis yang digelar Tambang Emas Martabe di RS Tentara Padangsidimpuan, Sabtu (10/12/2016).

Orangtua di suku Batak umumnya berharap dapat menikahkan anak-anaknya saat mereka masih hidup. Seakan menikahkan anak adalah tujuan hidup. Kalau bisa, hidup hingga saur matua. Tak heran jika pasangan suami istri ini gelisah memikirkan nasib anak gadisnya, yang nyaris buta karena katarak. “Jangankan dapat jodoh, mandiri saja dia tak mampu. Siapalah nanti tempatnya bergantung, setelah kami mati?”

————————————————–

Dame Ambarita, Padangsidimpuan
————————————————–
Ekspresi wajah Nikmat Rosita Siregar, tampak kaku cenderung ke masam. Tak terlihat otot ceria di wajah gadis berusia 24 tahun itu. Kata ibunya, Rosita memang berubah pendiam dan pemarah, sejak menderita katarak di usia remaja. Apalagi kataraknya semakin parah.

“Ia menderita katarak di usia 12 tahun. Makanya ia hanya bisa lulus SD saja. Padahal ia berharap bisa sekolah bidan. Awalnya hanya rabun saja. Tapi makin lama makin parah hingga cenderung buta. Bahkan dua minggu terakhir, sama sekali tidak bisa melihat apa-apa,” tutur Rahma Harahap (58), warga Gunung Tua, Pargarutan, Tapsel, Sumut ini mengawali cerita.

Akibat kondisinya, Rosita hanya bisa membantu pekerjaan rumah di bawah pengawasan adik-adiknya. Kata sang ibu, tahun-tahun pertama katarak, Rosita masih mampu membantu memasak, menyapu rumah dan halaman, mengangkat air, dan sesekali membantu di sawah. Ia juga rajin menanam bunga di pekarangan rumah orangtuanya.

Namun minder dengan kondisinya yang sulit melihat, Rosita pelan-pelan menutup diri dan menjadi pemarah. Gampang tersinggung jika ada yang menertawainya, atau bahkan hanya sekadar bertanya soal kondisinya.

“Lama-lama, ia hanya mau berbicara dan bergaul dengan kami-kami saja, orangtua dan adik-adiknya. Pada orang lain, ia akan menutup diri,” cerita ibunya.

Sejak lama, Rosita kerap meminta kepada orangtuanya, agar dirinya dibawa berobat. “Mamak, bapak…. obatilah mataku ini,” pintanya berulangkali.

Tapi ayahnya, Kosim Siregar (64), hanya petani kecil. Sawah miliknya hanya sepetak dua petak. Ia dan istrinya lebih banyak mengerjakan sawah milik orang lain dengan sistem bagi hasil.

“Info yang saya dapat, operasi katarak katanya puluhan juta. Dari manalah saya membiayainya,” ungkapnya pasrah.

Mengukur kemampuan ekonominya, Pak Kosim membawa putrinya ke mantri. Ia dikasih salep mata, obat tetes mata, dan kapsul. Tapi tak berhasil menyembuhkan  mata anaknya.

Ia pun beralih ke dukun. Dari lima dukun yang ditemui, semuanya mengaku Rosita kena sambet setan. “Macam-macam pengobatannya. Ada yang rapal mantera trus nyembur, ada yang kasih air rendaman sirih, benalu kopi, air zamzam, dan sebagainya. Sebenarnya sih nggak percaya. Tapi namanya usaha demi anak, hehehe,” katanya sembari tertawa malu.

Karena dibiarkan tanpa pengobatan memadai, kondisi Rosita pun semakin parah.

“Apakah putri kami akan terus begini? Siapakah temannya jika nanti adik-adiknya menikah? Siapakah yang akan merawatnya jika kami meninggal nanti?”  demikian kecamuk pikiran ayah dan ibunya.

Rosita sendiri memiliki abang yang sudah menikah, dan dua adik perempuan.

Harapan orangtuanya, jika pun putrinya sulit mendapatkan jodoh, yang penting dia mampu hidup sendiri. Tidak bergantung pada orang lain.

Setelah banyak berdoa minta pengobatan medis terjangkau, baru-baru ini ayah Rosita mendapat informasi dari Pak Koramil Pargarutan, tentang operasi katarak gratis yang diselenggarakan Tambang Emas Martabe, bekerjasama dengan A New Vision dan Kodam i Bukit Barisan. Operasi digelar di RS Tentara Psp.

Rosita penuh semangat meminta agar dibawa ikut operasi. “Banyak orang kampung kami yang menderita katarak. Tapi cuma putri saya yang mau ikut. Para tetangga menunggu hasil dulu, baru ke depan mau ikut,” cetus Pak Kosim.

Selama mengikuti tahapan operasi, Rosita tampak tenang didampingi ayah dan ibunya.

Hingga saat dop mata dibuka, sang ibu bertanya: “Sudah bisa melihat mama belum?”

Foto: Dame/Sumut Pos Nikmat Rosita Siregar (24) diapit ayah dan ibunya, bersiap pulang usai operasi katarak gratis yang digelar Tambang Emas Martabe di RS Tentara Padangsidimpuan, Sabtu (10/12/2016).
Foto: Dame/Sumut Pos
Nikmat Rosita Siregar (24) diapit ayah dan ibunya, bersiap pulang usai operasi katarak gratis yang digelar Tambang Emas Martabe di RS Tentara Padangsidimpuan, Sabtu (10/12/2016).

Orangtua di suku Batak umumnya berharap dapat menikahkan anak-anaknya saat mereka masih hidup. Seakan menikahkan anak adalah tujuan hidup. Kalau bisa, hidup hingga saur matua. Tak heran jika pasangan suami istri ini gelisah memikirkan nasib anak gadisnya, yang nyaris buta karena katarak. “Jangankan dapat jodoh, mandiri saja dia tak mampu. Siapalah nanti tempatnya bergantung, setelah kami mati?”

————————————————–

Dame Ambarita, Padangsidimpuan
————————————————–
Ekspresi wajah Nikmat Rosita Siregar, tampak kaku cenderung ke masam. Tak terlihat otot ceria di wajah gadis berusia 24 tahun itu. Kata ibunya, Rosita memang berubah pendiam dan pemarah, sejak menderita katarak di usia remaja. Apalagi kataraknya semakin parah.

“Ia menderita katarak di usia 12 tahun. Makanya ia hanya bisa lulus SD saja. Padahal ia berharap bisa sekolah bidan. Awalnya hanya rabun saja. Tapi makin lama makin parah hingga cenderung buta. Bahkan dua minggu terakhir, sama sekali tidak bisa melihat apa-apa,” tutur Rahma Harahap (58), warga Gunung Tua, Pargarutan, Tapsel, Sumut ini mengawali cerita.

Akibat kondisinya, Rosita hanya bisa membantu pekerjaan rumah di bawah pengawasan adik-adiknya. Kata sang ibu, tahun-tahun pertama katarak, Rosita masih mampu membantu memasak, menyapu rumah dan halaman, mengangkat air, dan sesekali membantu di sawah. Ia juga rajin menanam bunga di pekarangan rumah orangtuanya.

Namun minder dengan kondisinya yang sulit melihat, Rosita pelan-pelan menutup diri dan menjadi pemarah. Gampang tersinggung jika ada yang menertawainya, atau bahkan hanya sekadar bertanya soal kondisinya.

“Lama-lama, ia hanya mau berbicara dan bergaul dengan kami-kami saja, orangtua dan adik-adiknya. Pada orang lain, ia akan menutup diri,” cerita ibunya.

Sejak lama, Rosita kerap meminta kepada orangtuanya, agar dirinya dibawa berobat. “Mamak, bapak…. obatilah mataku ini,” pintanya berulangkali.

Tapi ayahnya, Kosim Siregar (64), hanya petani kecil. Sawah miliknya hanya sepetak dua petak. Ia dan istrinya lebih banyak mengerjakan sawah milik orang lain dengan sistem bagi hasil.

“Info yang saya dapat, operasi katarak katanya puluhan juta. Dari manalah saya membiayainya,” ungkapnya pasrah.

Mengukur kemampuan ekonominya, Pak Kosim membawa putrinya ke mantri. Ia dikasih salep mata, obat tetes mata, dan kapsul. Tapi tak berhasil menyembuhkan  mata anaknya.

Ia pun beralih ke dukun. Dari lima dukun yang ditemui, semuanya mengaku Rosita kena sambet setan. “Macam-macam pengobatannya. Ada yang rapal mantera trus nyembur, ada yang kasih air rendaman sirih, benalu kopi, air zamzam, dan sebagainya. Sebenarnya sih nggak percaya. Tapi namanya usaha demi anak, hehehe,” katanya sembari tertawa malu.

Karena dibiarkan tanpa pengobatan memadai, kondisi Rosita pun semakin parah.

“Apakah putri kami akan terus begini? Siapakah temannya jika nanti adik-adiknya menikah? Siapakah yang akan merawatnya jika kami meninggal nanti?”  demikian kecamuk pikiran ayah dan ibunya.

Rosita sendiri memiliki abang yang sudah menikah, dan dua adik perempuan.

Harapan orangtuanya, jika pun putrinya sulit mendapatkan jodoh, yang penting dia mampu hidup sendiri. Tidak bergantung pada orang lain.

Setelah banyak berdoa minta pengobatan medis terjangkau, baru-baru ini ayah Rosita mendapat informasi dari Pak Koramil Pargarutan, tentang operasi katarak gratis yang diselenggarakan Tambang Emas Martabe, bekerjasama dengan A New Vision dan Kodam i Bukit Barisan. Operasi digelar di RS Tentara Psp.

Rosita penuh semangat meminta agar dibawa ikut operasi. “Banyak orang kampung kami yang menderita katarak. Tapi cuma putri saya yang mau ikut. Para tetangga menunggu hasil dulu, baru ke depan mau ikut,” cetus Pak Kosim.

Selama mengikuti tahapan operasi, Rosita tampak tenang didampingi ayah dan ibunya.

Hingga saat dop mata dibuka, sang ibu bertanya: “Sudah bisa melihat mama belum?”

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/