28 C
Medan
Friday, May 17, 2024

Pelaku Usaha Minyak Karo Didorong Gunakan Teknologi Tepat Guna

PENGABDIAN: Dosen Polmed, Dr Meily Surianti saat melakukan pengabdian masyarakat di Desa Ujung Serdang, Kecamatan Tanjungmorawa, Kabupaten Deliserdang, dalam mendorong pelaku usaha minyak karo menggunakan teknologi tepat guna.
Istimewa
PENGABDIAN: Dosen Polmed, Dr Meily Surianti saat melakukan pengabdian masyarakat di Desa Ujung Serdang, Kecamatan Tanjungmorawa, Kabupaten Deliserdang, dalam mendorong pelaku usaha minyak karo menggunakan teknologi tepat guna. Istimewa

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Pelaku usaha minyak karo didorong menggunakan teknologi untuk mengembangkan bisnisnya. Sebab masih banyak pelaku usaha tersebut tidak menerapkan teknologi tepat guna, salah satunya di Desa Ujung Serdang, Kecamatan Tanjung Morawa, DeliSerdang.

Dikatakan Dr Meily Surianti, dosen Politeknik Negeri Medan (Polmed), proses pembuatan bahan baku minyak karo di desa tersebut masih manual atau konvensional. Prosesnya belum efisien karena memakan tenaga dan waktu, seperti mencincang bahan baku sampai halus, men cuci dengan bersih, menggiling dalam mesin, packing dan pemberian label serta memperbaiki barang rusak, sehingga tidak efisien.

“Pemanfaatan teknologi tepat guna oleh pelaku usaha minyak karo di Desa Ujung Serdang masih belum di terapkan. Karena itu, didorong untuk menggunakan teknologi dalam mengembangkan bisnisnya. Hal ini dilakukan dalam rangka pengabdian masyarakat sebagai wujud tri dharma perguruan tinggi,” ungkap Meily selaku ketua tim yang melakukan pengabdian masyarakat kepada pelaku usaha tersebut, Kamis (12/12).

Meily menjabarkan, cara proses pembuatan minyak karo ini dimulai dari mengumpulkan bahan baku berupa rempah-rempah karo. Kemudian, dicuci bersih dan selanjutnya dilakukan proses pencincangan halus dengan menggunakan pisau dapur.

Setelah proses pencincangan selesai, lalu dimasukkan ke dalam mesin giling sedikit demi sedikit agar mesin tidak mengandat dan ber henti seketika pada saat proses peng gilingan berjalan. Penggilingan dengan menggunakan mesin penggiling ini memiliki kapasitas 3 kg per jam.

Setelah selesai proses penggilingan, sambung Meily, dilanjutkan dengan memasak bahan baku yang sudah digiling selama 5 jam. Diberikan pula tambahan yang berbeda aroma seperti serai dan aroma cengkeh. Apabila proses ini selesai, dilanjutkan dengan permentasi selama satu minggu.

“Setelah selesai proses memasak, kemudian dipindahkan ke tempat pengemasan. Di dalam proses pengemasan ini minyak yang sudah jadi tadi akan diisikan ke dalam botol-botol,” jabar Meily didampingi anggota tim Jojor Lisbet Sibarani SE MSi dna Dr Surya Dharma.

Dijelaskan Meily, apabila proses produksi param cair selesai maka dilanjutkan dengan permentasi satu minggu untuk mendapatkan hasil yang baik. Selain itu, untuk menghasilkan panas yang lebih panas dibandingkan aroma serai. “Proses produksi dilakukan setiap 1 minggu sekali. Satu kali produksi terdiri dari 4 kuali, dimana 1 kuali ditaksir sekitar 20 liter minyak yang sudah dimasak, sehingga menghasilkan untuk 1 minggu produksi adalah 80 liter minyak karo. Sementara, hasil produksi tersebut akan dikemas ke dalam botol yang berisi 110 mililiter,” jelasnya.

Produk tersebut akan dititipkan untuk dijual pada apotik-apotik dan toko-toko obat. Setiap botol dari kemasan akan dijual dengan harga berbeda, tergantung wilayah pemasaran karena mempengaruhi harga jual yang ditetapkan. Untuk wilayah Medan dan sekitarnya akan menjual ke apotik dengan harga Rp 15.000. Sedangkan apotik atau toko obat akan menjual kepada konsumen dengan harga Rp 20.000.

“Tak hanya Medan, wilayah pemasaran sudah ke Tanjung Balai dan sekitarnya, Siantar, Balige, Karo. Produk tersebut akan dijual oleh produsen dengan harga Rp 20.000. Sedangkan apotik atau toko akan menjual kepada konsumen dengan harga Rp25.000 perbotolnya. Untuk pemasaran wilayah Jakarta, produsen akan menjual dengan harga Rp 30.000. Sedangkan apotik atau toko-toko obat yang diititipkan oleh produsen akan menjual kepada konsumen dengan harga perbotolnya Rp 35.000,” terang Meily.

Oleh karena itu, sambung dia, sangat dibutuhkan mesin pencincang dan mesin penghalus dengan kapasitas besar karena selama ini mesin yang ada tidak mampu bekerja dengan maksimal. Bahkan, mesin suka mengadat dan berhenti ketika proses produksi sedang berlangsung.

“Kebutuhan pasar untuk wilayah distribusi sekitar 420 lusin dalam satu minggu, dengan asumsi tidak ada pesanan khusus dari pemesan yang dadakan. Namun, ketika mesin rusak seketika maka proses produksi pun akan terhenti,” papar Meily.

Dr Surya Darma menuturkan, selain persoalan teknologi tepat guna, pelaku usaha minyak karo di desa itu masih belum mampu melakukan pembukuan dengan baik. Meskipun, proses untuk pembukuan belum pernah dilakukan walau omset kotor yang didapat sekitar Rp 50 juta perbulan. Pasalnya, hanya menghitung hasil dari penjualan yang diterima, belum menghitung biaya produksi yang selama ini terjadi.

“Nilai omset itu belum dihitung gaji karyawan dan gaji pemilik usaha. Artinya, belum ada pembuatan laporan keuangan. Makanya, turut dilakukan pelatihan untuk pembukuan secara sederhana,” tuturnya.

Ia menambahkan, dengan menggunakan mesin pencincang dan mesin penghalus bahan baku, maka proses pengerjaan pembuatan minyak karo waktu yang dibutuhkan menjadi efektif. Terlebih, hasil minyak karo menjadi lebih baik, sehingga produksinya terhadap kebutuhan pasar dapat tepenuhi dengan baik.

“Harapannya, ada peningkatan daya saing dalam kualitas dan kuantitas produksi minyak karo serta memiliki kelayakan ekonomi sebagai dampak dari pemanfaatan penggunaan teknologi yang mukhtahir,” tandasnya. (ris)

PENGABDIAN: Dosen Polmed, Dr Meily Surianti saat melakukan pengabdian masyarakat di Desa Ujung Serdang, Kecamatan Tanjungmorawa, Kabupaten Deliserdang, dalam mendorong pelaku usaha minyak karo menggunakan teknologi tepat guna.
Istimewa
PENGABDIAN: Dosen Polmed, Dr Meily Surianti saat melakukan pengabdian masyarakat di Desa Ujung Serdang, Kecamatan Tanjungmorawa, Kabupaten Deliserdang, dalam mendorong pelaku usaha minyak karo menggunakan teknologi tepat guna. Istimewa

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Pelaku usaha minyak karo didorong menggunakan teknologi untuk mengembangkan bisnisnya. Sebab masih banyak pelaku usaha tersebut tidak menerapkan teknologi tepat guna, salah satunya di Desa Ujung Serdang, Kecamatan Tanjung Morawa, DeliSerdang.

Dikatakan Dr Meily Surianti, dosen Politeknik Negeri Medan (Polmed), proses pembuatan bahan baku minyak karo di desa tersebut masih manual atau konvensional. Prosesnya belum efisien karena memakan tenaga dan waktu, seperti mencincang bahan baku sampai halus, men cuci dengan bersih, menggiling dalam mesin, packing dan pemberian label serta memperbaiki barang rusak, sehingga tidak efisien.

“Pemanfaatan teknologi tepat guna oleh pelaku usaha minyak karo di Desa Ujung Serdang masih belum di terapkan. Karena itu, didorong untuk menggunakan teknologi dalam mengembangkan bisnisnya. Hal ini dilakukan dalam rangka pengabdian masyarakat sebagai wujud tri dharma perguruan tinggi,” ungkap Meily selaku ketua tim yang melakukan pengabdian masyarakat kepada pelaku usaha tersebut, Kamis (12/12).

Meily menjabarkan, cara proses pembuatan minyak karo ini dimulai dari mengumpulkan bahan baku berupa rempah-rempah karo. Kemudian, dicuci bersih dan selanjutnya dilakukan proses pencincangan halus dengan menggunakan pisau dapur.

Setelah proses pencincangan selesai, lalu dimasukkan ke dalam mesin giling sedikit demi sedikit agar mesin tidak mengandat dan ber henti seketika pada saat proses peng gilingan berjalan. Penggilingan dengan menggunakan mesin penggiling ini memiliki kapasitas 3 kg per jam.

Setelah selesai proses penggilingan, sambung Meily, dilanjutkan dengan memasak bahan baku yang sudah digiling selama 5 jam. Diberikan pula tambahan yang berbeda aroma seperti serai dan aroma cengkeh. Apabila proses ini selesai, dilanjutkan dengan permentasi selama satu minggu.

“Setelah selesai proses memasak, kemudian dipindahkan ke tempat pengemasan. Di dalam proses pengemasan ini minyak yang sudah jadi tadi akan diisikan ke dalam botol-botol,” jabar Meily didampingi anggota tim Jojor Lisbet Sibarani SE MSi dna Dr Surya Dharma.

Dijelaskan Meily, apabila proses produksi param cair selesai maka dilanjutkan dengan permentasi satu minggu untuk mendapatkan hasil yang baik. Selain itu, untuk menghasilkan panas yang lebih panas dibandingkan aroma serai. “Proses produksi dilakukan setiap 1 minggu sekali. Satu kali produksi terdiri dari 4 kuali, dimana 1 kuali ditaksir sekitar 20 liter minyak yang sudah dimasak, sehingga menghasilkan untuk 1 minggu produksi adalah 80 liter minyak karo. Sementara, hasil produksi tersebut akan dikemas ke dalam botol yang berisi 110 mililiter,” jelasnya.

Produk tersebut akan dititipkan untuk dijual pada apotik-apotik dan toko-toko obat. Setiap botol dari kemasan akan dijual dengan harga berbeda, tergantung wilayah pemasaran karena mempengaruhi harga jual yang ditetapkan. Untuk wilayah Medan dan sekitarnya akan menjual ke apotik dengan harga Rp 15.000. Sedangkan apotik atau toko obat akan menjual kepada konsumen dengan harga Rp 20.000.

“Tak hanya Medan, wilayah pemasaran sudah ke Tanjung Balai dan sekitarnya, Siantar, Balige, Karo. Produk tersebut akan dijual oleh produsen dengan harga Rp 20.000. Sedangkan apotik atau toko akan menjual kepada konsumen dengan harga Rp25.000 perbotolnya. Untuk pemasaran wilayah Jakarta, produsen akan menjual dengan harga Rp 30.000. Sedangkan apotik atau toko-toko obat yang diititipkan oleh produsen akan menjual kepada konsumen dengan harga perbotolnya Rp 35.000,” terang Meily.

Oleh karena itu, sambung dia, sangat dibutuhkan mesin pencincang dan mesin penghalus dengan kapasitas besar karena selama ini mesin yang ada tidak mampu bekerja dengan maksimal. Bahkan, mesin suka mengadat dan berhenti ketika proses produksi sedang berlangsung.

“Kebutuhan pasar untuk wilayah distribusi sekitar 420 lusin dalam satu minggu, dengan asumsi tidak ada pesanan khusus dari pemesan yang dadakan. Namun, ketika mesin rusak seketika maka proses produksi pun akan terhenti,” papar Meily.

Dr Surya Darma menuturkan, selain persoalan teknologi tepat guna, pelaku usaha minyak karo di desa itu masih belum mampu melakukan pembukuan dengan baik. Meskipun, proses untuk pembukuan belum pernah dilakukan walau omset kotor yang didapat sekitar Rp 50 juta perbulan. Pasalnya, hanya menghitung hasil dari penjualan yang diterima, belum menghitung biaya produksi yang selama ini terjadi.

“Nilai omset itu belum dihitung gaji karyawan dan gaji pemilik usaha. Artinya, belum ada pembuatan laporan keuangan. Makanya, turut dilakukan pelatihan untuk pembukuan secara sederhana,” tuturnya.

Ia menambahkan, dengan menggunakan mesin pencincang dan mesin penghalus bahan baku, maka proses pengerjaan pembuatan minyak karo waktu yang dibutuhkan menjadi efektif. Terlebih, hasil minyak karo menjadi lebih baik, sehingga produksinya terhadap kebutuhan pasar dapat tepenuhi dengan baik.

“Harapannya, ada peningkatan daya saing dalam kualitas dan kuantitas produksi minyak karo serta memiliki kelayakan ekonomi sebagai dampak dari pemanfaatan penggunaan teknologi yang mukhtahir,” tandasnya. (ris)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/