Tingkat kebutaan akibat katarak di Indonesia termasuk tertinggi di dunia. Tak hanya usia senja, bayi, anak-anak bahkan usia dewasa produktif juga banyak yang kena. Untuk menanggulanginya, perlu kerja sama semua pihak. Misalnya untuk membiayai operasi massal, memobilisasi massa, dan pihak yang mengorganisirnya. “Dokter tak mampu sendirian,” kata Dokter Wulan.
——————————————————
Dame Ambarita, Padangsidimpuan
——————————————————
Pegang pisau operasi mulai pukul 8 pagi hingga pukul 12 malam potong istirahat, sering dilakoni dokter ini. Meski dia satu-satunya dokter cantik di antara 4 dokter yang ikut operasi katarak gratis yang digelar Tambang Emas Martabe, ia mengaku tidak masalah.
“Kuncinya, dinikmati saja,” kata dokter Dr Sriana Wulansari, SpM, yang datang jauh-jauh datang dari Lombok ke Padangsidimpuan ini, dengan nada kalem.
Padahal, perawakannya tergolong mungil. Caranya bergerak juga begitu feminin. Hingga orang yang baru mengenalnya bisa salah menduga kekuatan fisiknya.
Tahun lalu, ia termasuk salahsatu dari tiga dokter yang terlibat bakti sosial operasi katarak gratis di Siantar dan Padangsidimpuan, mulai pagi hingga tengah malam. Menangani ratusan pasien per hari. Tahun ini kondisinya kurang lebih sama? meski jadwal operasinya lebih singkat, mulai pukul 10 pagi hingga pukul 8 malam saja.
Tidak lelah?
“Awal-awal ikut bakti sosial, iya.. saya agak ngeluh. Tetapi lama kelamaan jadi terbiasa. Apalagi setelah mengetahui pasiennya datang dari daerah-daerah yang jauh. Kasihan mereka menunggu… Mending pasien yang antri dituntaskan aja hari itu juga!” kata dokter yang sehari-hari bertugas di Balai Kesehatan Mata Masyarakat NTB ini, saat diajak ngobrol di sela-sela operasi katarak gratis yang digelar Tambang Emas Martabe, bekerja sama dengan A New Vision dan Kodam I BB, di RS Tentara Padangsidimpuan, Jumat (9/12/2016).
Meski jadwal operasi ketat, ia menikmati pekerjaannya sebagai dokter. Dan ternyata… semakin sering ikut baksos, ia semakin nyaman dan sama sekali tidak merasa lelah. “Lagipula, ‘kan ada istirahat di antara jam operasi,” senyumnya.
Apa resepnya tetap fit di usianya yang sudah 45?
Dokter umum yang lulus spesialis mata tahun 2009 ini memilih olahraga. Ia rutin olahraga lari di treadmill, berenang, plus jaga kesehatan dengan perbanyak makan buah dan sayur, serta minum air putih. Ia juga penikmat musik. “Hidup ini dinikmati saja. Jika diundang baksos ke daerah, nikmati travelingnya, nikmati ketemu EO baru, nikmati kuliner setempat. Intinya nikmati apa saja yang kau temui di daerah itu. Jadi hidup terasa lebih indah,” ungkapnya manis.
Ditanya pengalaman unik ikut baksos katarak, dokter Wulan tertawa renyah. “Banyak momen berkesan. Ada pasien yang kedua bola matanya buta, menangis saat bisa melihat lagi. Ada pasien yang memeluk. Ada pasien yang kembali mengenal warna hingga tak lagi memakai warna-warna pakaian super cerah. Ada yang kembali bisa naik sepeda motor. Macam-macamlah… pokoknya bahagianya tak terlukiskan,” ungkapnya.
Pasien katarak diakuinya sering menjadi beban keluarga. Ada ayah yang tak bisa lagi cari nafkah. Ada anak yang putus sekolah. Ada orangtua yang butuh seseorang untuk selalu mendampinginya.
Dan sebagainya.
“Hasil dari operasi katarak antara lain kualitas hidup pasien meningkat tajam. Beban keluarga berkurang. Dan ekonomi meningkat setelah si pasien kembali produktif,” katanya.
Ia terkenang akan 4 kakak beradik plus ibunya yang dioperasi tahun lalu di Psp. Saat itu, kelima anak beranak ini berjejer mau ikut operasi katarak gratis, dengan penampilan yang nyaris serupa: mata terus menerus menyipit seperti orang silau. Kabar terbaru, kelimanya sukses melihat. Dan anak-anaknya bisa belajar dengan baik mengejar cita-cita. “Mendengar kabar itu, hati para dokter ikut bahagia,” katanya sepenuh hati.
Selain kesan manis, ia juga punya pengalaman garing seputar baksos katarak.