MEDAN, SUMUTPOS.CO – Ketua Komisi E DPRD Sumut Syamsul Qadri Marpaung menilai, proyek pembangunan PLTU di Desa Paluhkurau, Kecamatan Hamparanperak, Deliserdang, Sumut, disinyalir dibekingi orang kuat. Sebab, aturan yang dilanggar mulai izin memperkerjakan tenaga kerja asing (IMTA), tidak adanya Analisis Dampak Lingkungan Hidup (Amdal) serta ditutupnya 12 anak sungai.
“Kalau tidak ada orang kuat di balik itu, mana mungkin dibiarkan saja proyek bermasalah,” kata Syamsul Qadri kepada Sumut Pos, Senin (18/7).
Politisi PKS itu menyebutkan, lintas komisi di DPRD Sumut sudah pernah memanggil pihak terkait termasuk PT Mabar Elektrindo. Sayangnya, yang diundang hadir dalam rapat tersebut ialah pekerja asing yang tidak bisa berbahasa Indonesia.
“Rapat gabungan itu difasilitasi oleh Komisi B, rencananya akan ada rapat lanjutan dengan mengundang pihak yang bisa mengambil keputusan. Tapi, sejauh ini belum tahu kapan jadwal lanjutan rapat tersebut,” ungkapnya.
Syamsul secara pribadi sudah mempertanyakan alasan pihak Imigrasi yang membiarkan pekerja asing dengan leluasa bekerja di proyek PLTU Paluhkurau tanpa izin. “Pihak Imigrasi saja sudah tidak bisa bicara, artinya ada orang kuat yang membekingi proyek bermasalah itu,” urainya.
10 JUTA JIWA TKA
Sebelumnya, Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB), Yusril Ihza Mahendra mengungkapkan, pembebasan visa kepada 75 negara dengan dalih meningkatkan arus wisatawan asing ke Indonesia berdampak pada masuknya tenaga kerja ilegal. Dia memprediksi, serbuan tenaga kerja asal Tiongkok ke Indonesia mengancam kehidupan pekerja lokal.
“Indonesia akan dibanjiri pekerja Tiongkok yang merampas kesempatan kerja rakyat kita sendiri,” ujar Yusril Ihza Mahendra kepada wartawan, belum lama ini.
Dia mengungkapkan, pekerja asal Tiongkok yang datang ke Indonesia diprediksi mencapai 10 juta jiwa. Para pekerja itu dikabarkan menyasar sektor konstruksi sebagai buruh kasar (kuli).
Masalah lainnya, pembebasan visa tersebut banyak diberikan juga kepada negara-negara yang tergolong miskin dan tidak stabil. Penduduknya cenderung ingin meninggalkan negaranya karena alasan politik dan ekonomi.
“Pemerintah tidak memperhitungkan dampak sosial dan politiknya bagi negara kita,” sesal mantan Menkumham era Presiden Gus Dur ini.
Profesor bidang hukum tata negara ini mengimbau pemerintah agar mengkaji ulang kebijakan bebas visa massal. Hal ini khususnya terkait pembatasan datangnya pekerja ilegal asal Tiongkok. “Ini demi kedaulatan bangsa dan negara kita. Kepentingan nasional dan kepentingan rakyat kita sendiri adalah di atas segala kepentingan yang lain,” kata bakal calon Gubernur DKI Jakarta ini.
Kabar adanya serbuan TKA ke Indonesia membuat Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Hanif Dhakiri gerah. Dia menegaskan, sejauh ini jumlah TKA di Indonesia masih terkendali. Yakni, hanya 43.816 pekerja terhitung 30 Juni 2016.
”Kemungkinan itu (serbuan TKA, Red) adalah kunjungan wisatawan mancanegara,” kata Hanif di Jakarta, kemarin (17/7).
Menurut Hanif, pekerja asing yang akan bekerja di Indonesia dikendalikan melalui perizinan dan syarat masuk ketat. Izin itu mencangkup izin kerja dan izin tinggal. Semua izin tersebut harus diurus sebelum pekerja bersangkutan bekerja di Indonesia.
”Pengurusan (izin, Red) tidak boleh dilakukan individu, tapi perusahaan yang akan mempekerjakan pekerja asing,” paparnya.
Para TKA juga harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan pemerintah. Antara lain, syarat kompetensi, pendidikan sesuai jabatan, pengalaman kerja, alih keahlian kepada tenaga kerja Indonesia, dan beberapa syarat administratif lainnya. Perusahaan pengguna TKA juga wajib membayar dana kompensasi sebesar USD 100 per TKA setiap bulan.
Pekerja asing itu pun hanya diperbolehkan menduduki jabatan tertentu yang bersifat skill. Paling rendah adalah engineer atau teknisi. ”Bila ada pekerja asing bekerja kasar (kuli) dari manapun asalnya maka sudah pasti pelanggaran. Kalau pelanggaran ya ditindak, termasuk tindakan deportasi,” tegas kader PKB ini.
Jumlah TKA saat ini, kata Hanif, hanya 0,027 persen bila dibandingkan dengan penduduk Indonesia. Hanif mengatakan, secara umum jumlah TKA di Indonesia jauh lebih kecil bila dibandingkan TKI yang bekerja di luar negeri, khususnya di negara-negara Asia. Dia mencontohkan, TKI di Malaysia saat ini berjumlah 2 juta, di Singapura 150 ribu, di Hongkong 153 ribu, dan di Korea Selatan 58 ribu. ”Presentasenya jauh lebih besar jumlah TKI yang bekerja di luar negeri,” tegasnya.