26 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Antisipasi Penyebaran Hog Cholera & Demam Babi Afrika, Pemprovsu Siapkan Rp5 Miliar

Edy Rahmayadi
Gubernur Sumatera Utara
Edy Rahmayadi Gubernur Sumatera Utara

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Kementerian Pertanian secara resmi telah mengumumkan adanya demam babi Afrika (African Swine Fever/ASF) yang terjadi di 16 kabupaten/kota di Provinsi Sumut, melalui Surat Keputusan yang ditandatangani Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo pada 12 Desember 2019. Untuk mencegah penyebaran wabah penyakit ini, Pemerintah Provinsi Sumatera Utara (Pemprovsu) masih fokus membatasi lalulintas babi, baik yang masuk ataupun keluar dari Sumutn

“Kita sudah membentuk pos-pos, supaya babi yang ada di dalam Sumut tidak keluar, babi yang diluar tidak masuk ke Sumut. Langkah ini upaya agar virus tidak menyebar,” kata Gubernur Sumut, Edy Rahmayadi menjawab wartawan, usai mengikuti Apel Pengamanan Natal 2019 dan Tahun Baru 2020, di Lapangan Benteng Medan, Kamis (19/12).

Ia menegaskan, antisipasi dan penanganan penyebaran virus penyakit ini masih dilakukan pada tahap pengawasan terhadap jual-beli babi. Agar hewan yang sudah terkontaminasi dengan virus ini tidak menyebar hingga ke provinsi lain. Sedangkan kerja tim yang dibentuk sebelumnya, telah melakukan pengawasan dan pengendalian virus dengan cara teknis yaitu menyemprotkan disinfektan.

Kepada tim dan jajaran pemda terkait juga, diakui Edy, mesti melakukan pengawasan ketat agar tidak ada babi yang mati terjangkit virus hog cholera maupun demam babi Afrika dibuang ke jalanan dan sungai. Sebab, membuang bangkai hewan ternak ini dapat meresahkan masyarakat, bahkan merusak lingkungan hidup.

Petugas saat ini pun sudah ditempatkan di daerah perbatasan untuk mengawasi penyebaran hewan ini. Nantinya, petugas akan mengawasi setiap hewan ternak ini agar tidak keluar masuk begitu saja di Sumut. Disamping itu, diungkapkan dia, pemerintah telah menyiapkan anggaran Rp5 miliar untuk penanganan virus ini. Dengan anggaran ini, disiapkan alat berat untuk menggali lubang, di mana nantinya hewan ternak itu dikuburkan secara massal agar tidak dibuang disembarang tempat.

“Kita membentuk pos-pos membantu rakyat bagi hewan mati, kita siapkan ekskavator untuk menggali tanah, untuk menguburkan dan tidak buang kesembarang tempat. Anggaran kita Rp5 M disiapkan pemerintah,” ungkapnya.

Lantas bagaimana dengan wacana pemusnahan massal babi akibat wabah kolera ini? Gubsu hanya menjawab normatif. “Memusnahkan seluruh hewan ternak ini tidak bisa dengan begitu saja. Sebab, pemerintah tidak menyiapkan anggaran untuk ganti rugi kepada masyarakat. Babi di Sumut hampir mencapai 2 juta, kalau dikalikan Rp3 juta saja satu ekor babi sudah berapa untuk membayarkan ganti rugi kepada masyarakat,” ucapnya.

Diketahui, jumlah babi yang mati sudah mencapai 29.217 ekor ekor pada 16 kabupaten/kota di Sumut. Bahkan, jumlah tersebut kemungkinan masih bisa bertambah dikarena kematian babi akibat virus kolera sangat cepat.

“Setiap hari kematian bisa bertambah 1.000 – 2.000 ekor. Pada 11 Desember lalu, jumlah yang terlapor sebanyak 27.070 ekor. Padahal, sehari sebelumnya (10 Desember), masih di angka 25.656 ekor,” ujar Kepala Balai Veteriner Medan, Agustia kepada wartawan beberapa waktu lalu.

Disebutkan Agustia, 16 kabupaten/kota yang mengalami wabah kematian babi yakni Dairi, Humbang Hasundutan, Deli Serdang, Medan, Karo, Toba Samosir, Serdang Bedagai, Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah, Tapanuli Selatan, Samosir, Simalungun, Pakpak Bharat, Tebing Tinggi, Siantar dan Langkat. “16 kabupaten/kota itu memang kantong ternak babi atau populasi babi di Sumut. Angka kematian itu sudah dilaporkan ke Direktur Kesehatan Hewan dan Dirjen Peternakan setelah dilakukan analisis menyeluruh dari beberapa komponen,” paparnya.

Sudah Ditangani

Pemerintah pusat melalui Kementerian Pertanian (Kementan), mengimbau masyarakat untuk melaporkan bila ada kematian babi atau kesakitan dengan gejala ASF (African Swine Fever/demam babi Afrika). “Jangan menangani dengan membuang ke lingkungan atau sungai,” kata I Ketut Diarmita, Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementan terkait wabah demam babi Afrika di Sumut.

Kementerian Pertanian secara resmi telah mengumumkan adanya demam babi Afrika yang terjadi di 16 kabupaten/kota di Provinsi Sumut melalui Surat Keputusan yang ditandatangani Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo pada 12 Desember 2019. Pemerintah juga telah melaporkan kejadian penyakit ASF kepada Badan Kesehatan Hewan Dunia (OIE) 17 Desember 2019 melalui Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan selaku otoritas veteriner.

“Penyakit ASF adalah salah satu penyakit hewan yang yang harus dinotifikasi (dilaporkan) ke OIE oleh semua negara anggota apabila ada kejadian penyakit tersebut. Hal ini karena ASF merupakan salah satu penyakit hewan yang masuk ke dalam daftar penyakit yang wajib dilaporkan atau notifiable diseases,” ujarnya.

Ketut menjelaskan, Indonesia sebagai anggota OIE melakukan notifikasi ini setelah mengonfirmasi keberadaan penyakit ASF di 16 kabupaten/kota di Sumut berdasarkan hasil investigasi Tim Gabungan Ditjen PKH, Balai Veteriner (BVet) Medan dan dinas provinsi/kabupaten/kota terkait, serta terkonfirmasi hasil uji laboratorium. “Sejak ditemukan adanya indikasi penyakit ASF, pemerintah pusat dan daerah telah melakukan upaya pengendalian. Kita upayakan tidak menyebar lagi sesuai SOP kesiagaan darurat veteriner Indonesia untuk ASF” tambahnya.

Menurut dia, langkah-langkah terpenting dalam penanganan ASF adalah adanya penerapan prinsip-prinsip biosekuriti seperti disposal, penguburan, standstill order, disinfeksi, pengawasan lalulintas ternak babi dan produknya, pelarangan swill feeding, sosialisasi dan pelatihan. “Untuk semua daerah yang terdampak, Kementan telah memberikan bantuan berupa desinfektan, mesin sprayer, alat pelindung diri dan kantung bangkai. Semua bantuan ini dan pendampingan kepada peternak diberikan melalui posko darurat, disemua tingkatan mulai dari pusat, provinsi, kabupaten/kota, bahkan tingkat kecamatan,” ungkapnya.

Posko darurat ini telah ditugaskan tenaga medik dan paramedik terlatih. Menurutnya masyarakat dapat langsung melaporkan bila dijumpai babi dengan gejala ASF dan segera ditangani. Pemerintah menurut Dirjen PKH ini telah menyiapkan anggaran APBN sebesar Rp 5 M, dengan alokasi mendukung kegiatan operasional gabungan penanganan kasus di lapangan.

Sementara itu, Fadjar Sumping Tjatur Rasa selaku Direktur Kesehatan Hewan, Ditjen PKH Kementan pada kesempatan Simulasi Penyakit ASF di Bali kemarin menjelaskan, pada saat ini penyakit ASF masih bisa dibatasi kejadiannya di 16 kabupaten/kota di Sumut. Kabupaten/kota tertular yakni Dairi, Humbang Hasundutan, Deliserdang, Karo, Toba Samosir, Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah, Tapanuli Selatan, Samosir, Simalungun, Pakpak Bharat, Langkat, Tebing Tinggi, Pematang Siantar, dan Medan.

Ia berharap, langkah-langkah penerapan biosekuriti yang dilakukan bersama-sama antara petugas dan masyarakat bisa menekan kemungkinan penyebaran kasus lebih lanjut. “Penyakit ASF ini penyebabnya adalah virus yang sangat bandel, virus ini tahan lama di lingkungan dan produk babi. Jadi kita harus benar-benar memastikan penerapan biosekuriti yang ketat apabila kita tidak ingin penyakitnya tambah menyebar,” ucapnya.

Namun Fadjar juga menegaskan bahwa penyakit ini bukan penyakit yang dapat menular dari hewan ke manusia (zoonosis), jadi produk babi dipastikan tetap aman untuk konsumsi. Ia memaparkan bahwa kejadian penyakit ASF ini telah diprediksi oleh para ahli, termasuk di Indonesia. Sehingga Kementan telah mengambil langkah-langkah antisipasi dengan mengeluarkan beberapa kali surat edaran kepada pemerintah daerah, unit pelaksana teknis Kementan, dan para stakeholder, terkait upaya peningkatan kewaspadaan dan kesiapsiagaan menghadapi kemungkinan terjadinya ASF.

“Sejak kasus ASF pertama di Asia yakni di Tiongkok pada 2018, Ditjen PKH telah mengeluarkan edaran pada Agustus 2018, meminta semua pihak waspada, bersiap, siaga, dan tanggap dalam menghadapi kejadian penyakit ASF,” imbuhnya.

Kementan juga telah memperkuat kapasitas unit pelaksana teknis (UPT) Balai Veteriner di seluruh Indonesia agar mempunyai kemampuan untuk mendeteksi dan menguji penyakit ASF. Lebih lanjut pemerintah mengimbau agar provinsi lain dengan populasi babi yang tinggi, seperti NTT, Sulut, Kalbar, Sulsel, Bali, Jateng, Sulteng, Kepri, dan Papua agar waspada dan siap siaga terhadap kemungkinan terjadinya penyakit ASF. Hal penting yang perlu dilakukan antara lain sosialiasi kepada peternak dan advokasi kepada pimpinan daerah terkait ancaman ASF.

“Stakeholder terkait telah kita kumpulkan dan kita ajak diskusi terkait ancaman ASF ini dari 2018. Sekarang tinggal bagaimana kita secara bersama-sama mencegah dan menangani penyakit ASF ini dengan serius, untuk menekan ancaman penyebaran penyakit dan meminimalisir kerugian masyarakat,” pungkasnya. (prn/ris)

Edy Rahmayadi
Gubernur Sumatera Utara
Edy Rahmayadi Gubernur Sumatera Utara

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Kementerian Pertanian secara resmi telah mengumumkan adanya demam babi Afrika (African Swine Fever/ASF) yang terjadi di 16 kabupaten/kota di Provinsi Sumut, melalui Surat Keputusan yang ditandatangani Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo pada 12 Desember 2019. Untuk mencegah penyebaran wabah penyakit ini, Pemerintah Provinsi Sumatera Utara (Pemprovsu) masih fokus membatasi lalulintas babi, baik yang masuk ataupun keluar dari Sumutn

“Kita sudah membentuk pos-pos, supaya babi yang ada di dalam Sumut tidak keluar, babi yang diluar tidak masuk ke Sumut. Langkah ini upaya agar virus tidak menyebar,” kata Gubernur Sumut, Edy Rahmayadi menjawab wartawan, usai mengikuti Apel Pengamanan Natal 2019 dan Tahun Baru 2020, di Lapangan Benteng Medan, Kamis (19/12).

Ia menegaskan, antisipasi dan penanganan penyebaran virus penyakit ini masih dilakukan pada tahap pengawasan terhadap jual-beli babi. Agar hewan yang sudah terkontaminasi dengan virus ini tidak menyebar hingga ke provinsi lain. Sedangkan kerja tim yang dibentuk sebelumnya, telah melakukan pengawasan dan pengendalian virus dengan cara teknis yaitu menyemprotkan disinfektan.

Kepada tim dan jajaran pemda terkait juga, diakui Edy, mesti melakukan pengawasan ketat agar tidak ada babi yang mati terjangkit virus hog cholera maupun demam babi Afrika dibuang ke jalanan dan sungai. Sebab, membuang bangkai hewan ternak ini dapat meresahkan masyarakat, bahkan merusak lingkungan hidup.

Petugas saat ini pun sudah ditempatkan di daerah perbatasan untuk mengawasi penyebaran hewan ini. Nantinya, petugas akan mengawasi setiap hewan ternak ini agar tidak keluar masuk begitu saja di Sumut. Disamping itu, diungkapkan dia, pemerintah telah menyiapkan anggaran Rp5 miliar untuk penanganan virus ini. Dengan anggaran ini, disiapkan alat berat untuk menggali lubang, di mana nantinya hewan ternak itu dikuburkan secara massal agar tidak dibuang disembarang tempat.

“Kita membentuk pos-pos membantu rakyat bagi hewan mati, kita siapkan ekskavator untuk menggali tanah, untuk menguburkan dan tidak buang kesembarang tempat. Anggaran kita Rp5 M disiapkan pemerintah,” ungkapnya.

Lantas bagaimana dengan wacana pemusnahan massal babi akibat wabah kolera ini? Gubsu hanya menjawab normatif. “Memusnahkan seluruh hewan ternak ini tidak bisa dengan begitu saja. Sebab, pemerintah tidak menyiapkan anggaran untuk ganti rugi kepada masyarakat. Babi di Sumut hampir mencapai 2 juta, kalau dikalikan Rp3 juta saja satu ekor babi sudah berapa untuk membayarkan ganti rugi kepada masyarakat,” ucapnya.

Diketahui, jumlah babi yang mati sudah mencapai 29.217 ekor ekor pada 16 kabupaten/kota di Sumut. Bahkan, jumlah tersebut kemungkinan masih bisa bertambah dikarena kematian babi akibat virus kolera sangat cepat.

“Setiap hari kematian bisa bertambah 1.000 – 2.000 ekor. Pada 11 Desember lalu, jumlah yang terlapor sebanyak 27.070 ekor. Padahal, sehari sebelumnya (10 Desember), masih di angka 25.656 ekor,” ujar Kepala Balai Veteriner Medan, Agustia kepada wartawan beberapa waktu lalu.

Disebutkan Agustia, 16 kabupaten/kota yang mengalami wabah kematian babi yakni Dairi, Humbang Hasundutan, Deli Serdang, Medan, Karo, Toba Samosir, Serdang Bedagai, Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah, Tapanuli Selatan, Samosir, Simalungun, Pakpak Bharat, Tebing Tinggi, Siantar dan Langkat. “16 kabupaten/kota itu memang kantong ternak babi atau populasi babi di Sumut. Angka kematian itu sudah dilaporkan ke Direktur Kesehatan Hewan dan Dirjen Peternakan setelah dilakukan analisis menyeluruh dari beberapa komponen,” paparnya.

Sudah Ditangani

Pemerintah pusat melalui Kementerian Pertanian (Kementan), mengimbau masyarakat untuk melaporkan bila ada kematian babi atau kesakitan dengan gejala ASF (African Swine Fever/demam babi Afrika). “Jangan menangani dengan membuang ke lingkungan atau sungai,” kata I Ketut Diarmita, Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementan terkait wabah demam babi Afrika di Sumut.

Kementerian Pertanian secara resmi telah mengumumkan adanya demam babi Afrika yang terjadi di 16 kabupaten/kota di Provinsi Sumut melalui Surat Keputusan yang ditandatangani Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo pada 12 Desember 2019. Pemerintah juga telah melaporkan kejadian penyakit ASF kepada Badan Kesehatan Hewan Dunia (OIE) 17 Desember 2019 melalui Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan selaku otoritas veteriner.

“Penyakit ASF adalah salah satu penyakit hewan yang yang harus dinotifikasi (dilaporkan) ke OIE oleh semua negara anggota apabila ada kejadian penyakit tersebut. Hal ini karena ASF merupakan salah satu penyakit hewan yang masuk ke dalam daftar penyakit yang wajib dilaporkan atau notifiable diseases,” ujarnya.

Ketut menjelaskan, Indonesia sebagai anggota OIE melakukan notifikasi ini setelah mengonfirmasi keberadaan penyakit ASF di 16 kabupaten/kota di Sumut berdasarkan hasil investigasi Tim Gabungan Ditjen PKH, Balai Veteriner (BVet) Medan dan dinas provinsi/kabupaten/kota terkait, serta terkonfirmasi hasil uji laboratorium. “Sejak ditemukan adanya indikasi penyakit ASF, pemerintah pusat dan daerah telah melakukan upaya pengendalian. Kita upayakan tidak menyebar lagi sesuai SOP kesiagaan darurat veteriner Indonesia untuk ASF” tambahnya.

Menurut dia, langkah-langkah terpenting dalam penanganan ASF adalah adanya penerapan prinsip-prinsip biosekuriti seperti disposal, penguburan, standstill order, disinfeksi, pengawasan lalulintas ternak babi dan produknya, pelarangan swill feeding, sosialisasi dan pelatihan. “Untuk semua daerah yang terdampak, Kementan telah memberikan bantuan berupa desinfektan, mesin sprayer, alat pelindung diri dan kantung bangkai. Semua bantuan ini dan pendampingan kepada peternak diberikan melalui posko darurat, disemua tingkatan mulai dari pusat, provinsi, kabupaten/kota, bahkan tingkat kecamatan,” ungkapnya.

Posko darurat ini telah ditugaskan tenaga medik dan paramedik terlatih. Menurutnya masyarakat dapat langsung melaporkan bila dijumpai babi dengan gejala ASF dan segera ditangani. Pemerintah menurut Dirjen PKH ini telah menyiapkan anggaran APBN sebesar Rp 5 M, dengan alokasi mendukung kegiatan operasional gabungan penanganan kasus di lapangan.

Sementara itu, Fadjar Sumping Tjatur Rasa selaku Direktur Kesehatan Hewan, Ditjen PKH Kementan pada kesempatan Simulasi Penyakit ASF di Bali kemarin menjelaskan, pada saat ini penyakit ASF masih bisa dibatasi kejadiannya di 16 kabupaten/kota di Sumut. Kabupaten/kota tertular yakni Dairi, Humbang Hasundutan, Deliserdang, Karo, Toba Samosir, Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah, Tapanuli Selatan, Samosir, Simalungun, Pakpak Bharat, Langkat, Tebing Tinggi, Pematang Siantar, dan Medan.

Ia berharap, langkah-langkah penerapan biosekuriti yang dilakukan bersama-sama antara petugas dan masyarakat bisa menekan kemungkinan penyebaran kasus lebih lanjut. “Penyakit ASF ini penyebabnya adalah virus yang sangat bandel, virus ini tahan lama di lingkungan dan produk babi. Jadi kita harus benar-benar memastikan penerapan biosekuriti yang ketat apabila kita tidak ingin penyakitnya tambah menyebar,” ucapnya.

Namun Fadjar juga menegaskan bahwa penyakit ini bukan penyakit yang dapat menular dari hewan ke manusia (zoonosis), jadi produk babi dipastikan tetap aman untuk konsumsi. Ia memaparkan bahwa kejadian penyakit ASF ini telah diprediksi oleh para ahli, termasuk di Indonesia. Sehingga Kementan telah mengambil langkah-langkah antisipasi dengan mengeluarkan beberapa kali surat edaran kepada pemerintah daerah, unit pelaksana teknis Kementan, dan para stakeholder, terkait upaya peningkatan kewaspadaan dan kesiapsiagaan menghadapi kemungkinan terjadinya ASF.

“Sejak kasus ASF pertama di Asia yakni di Tiongkok pada 2018, Ditjen PKH telah mengeluarkan edaran pada Agustus 2018, meminta semua pihak waspada, bersiap, siaga, dan tanggap dalam menghadapi kejadian penyakit ASF,” imbuhnya.

Kementan juga telah memperkuat kapasitas unit pelaksana teknis (UPT) Balai Veteriner di seluruh Indonesia agar mempunyai kemampuan untuk mendeteksi dan menguji penyakit ASF. Lebih lanjut pemerintah mengimbau agar provinsi lain dengan populasi babi yang tinggi, seperti NTT, Sulut, Kalbar, Sulsel, Bali, Jateng, Sulteng, Kepri, dan Papua agar waspada dan siap siaga terhadap kemungkinan terjadinya penyakit ASF. Hal penting yang perlu dilakukan antara lain sosialiasi kepada peternak dan advokasi kepada pimpinan daerah terkait ancaman ASF.

“Stakeholder terkait telah kita kumpulkan dan kita ajak diskusi terkait ancaman ASF ini dari 2018. Sekarang tinggal bagaimana kita secara bersama-sama mencegah dan menangani penyakit ASF ini dengan serius, untuk menekan ancaman penyebaran penyakit dan meminimalisir kerugian masyarakat,” pungkasnya. (prn/ris)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/