26.7 C
Medan
Sunday, June 16, 2024

Spizaetus Bartelsi yang Terancam Punah

Sejak diberitahu ibu guru waktu SD dulu, lambang negara kita adalah Burung Garuda, saya langsung penasaran. Dulu belum ada Google, jadi tak bisa langsung searching. Saya lalu sering datang ke kebun binatang untuk melihat-lihat seperti apa rupa sang garuda.  Yang saya dapati, burung garuda tak segarang di lambang negara. Burung garuda di kebun binatang kurus dengan mata tak menyorot tajam. Burung garuda yang saya lihat mungkin saja sedang sakit.

Beberapa saat setelah bertahun-tahun, saya melihat-lihat burung garuda dari Google. Tampang garuda garang. Wajahnya mencerminkan kesejatian. Tatapan matanya tajam berwibawa. Bulunya halus tapi warnanya jantan. Kakinya kuat mencengkram. Kukunya tajam siap mengoyak mangsa. Ekornya mengembang pertanda keindahan. Di atas kepalanya ada jambul yang semakin membuatnya elegan.

Di lambang negara, kesejatian garuda terpampang. Garuda menoleh ke kanan dengan paruh terbuka seperti berteriak, atau berkicau lantang. Dia mencengkram pita bertuliskan Bhinneka Tunggal Ika. Berbeda-beda tapi tetap satu jua. Di dada garuda ada lambang Pancasila. Lima panca yang menjadi ciri-ciri negara kita.

Garuda lalu menjadi lambang tentang kekuatan. Ujung tongkat komando TNI juga memakai lambang kepala garuda.

Garuda menjadi makin populer selain ada lagu kebangsaannya, juga karena dijadikan lagu oleh grup band Netral. Lagu itu diciptakan untuk menyemangati Timnas Indonesia yang akan tanding di Piala AFF 2010. Lagu itu mulai populer 2009 akhir. Jadilah lagu tersebut begitu membumi di tanah air. Utamanya saat timnas Indonesia akan mentas di Stadion Gelora Bung Karno.

Garuda memang ‘nebeng’ di kaos timnas. Lengkap dengan pancasila dan semboyan  Bhinneka Tunggal Ika. Tapi seiring garuda lekat di dada, prestasi kenapa tak datang menghampiri. Dahulu ketika garuda belum ada di kaos timnas, nama Indonesia cukup cetar membahana di kancah kekuatan sepak bola dunia. Bahkan pernah lolos piala dunia edisi pertama walau tak bawa nama Indonesia melainkan Hindia Belanda.

Dan tahukah Anda, bahwa garuda menjelang punah. Burung garuda yang juga bisa disebut sebagai Elang Jawa tak begitu piawai berkembang biak. Menurut para peneliti, burung garuda hanya bertelur sebiji dua biji dalam setahun. Yang menetas dan jadi garuda dewasa tentu lebih minim lagi. Di samping itu, terjadi pula perburuan. Terjadi pula penyusutan habitatnya. Jadilah keberadaan garuda aka elang jawa bernama latin Spizaetus Bartelsi terancam punah. Nyaris sama dengan sepak bola kita yang berlambang garuda.

Regenerasi sepak bola kita berjalan sangat lambat. Semua setuju jika bibit pesepakbola Indonesia banyak dan berbakat. Tapi di level timnas, kenapa seolah kehebatan itu sirna. Kita tak lagi bisa bersaing di tingkatan Asia Tenggara. Terbukti dengan gelar yang lepas sejak belasan tahun lalu. Lalu bagaimana mungkin bisa bersaing di Asia, wadah bercokolnya negara raksasa bak Jepang, Arab Saudi bahkan Australia.

Dari diskusi dengan banyak pakar, maka semakin pusing kita melihat kondisi garuda sepak bola kita. Bahkan berbagai formula sudah diberikan, tak juga kemenangan bagi rakyat Indonesia. Memakai tenaga asing di berbagai lini, termasuk melokalkan orang asing juga tak membawa hasil. Entah apa lagi cara agar bisa main bola dan menang. Atau sudah saatnya menyerah dan sadar kekuatan. Biarlah tak berhasil di tingkatan dunia, tapi tetap bermain sepak bola cantik demi hiburan rakyat sendiri. Tak usah ikut kualifikasi apapun, tak usah ikut kejuaraan apapun, tapi sering-sering ujicoba dengan negara yang lebih loyo sepak bolanya dan menang. Atau silahkan menjadi sparing partner klub-klub sepak bola dunia, demi menghibur rakyat. Walau nantinya tetap kalah.

Begitulah garuda di dadaku. Selayak-nya burung garuda sang lambang yang bakal punah, sepak bola Indonesia juga di ambang kehancuran. Sudah terlalu lama berdiam diri, sepak bola negeri malah diliputi kericuhan yang kabarnya sudah berujung damai di kongres barusan. Timnas mulai bernafas dengan pemain dua liga. Nama-nama beken dahulu kembali main. Tapi tetap saja kalah dari Arab Saudi di kandang sendiri. Ironisnya, seperti biasa setelah kalah, semua orang bangga. Walau kalah tim pelatih bangga, pemain bangga, setidaknya tidak kalah telak. Atau ada juga alasan, setidaknya sudah mencetak gol duluan. Aneh. Kalah ya kalah saja. Sudah saatnya bangga karena menang. Indonesia masih punya harapan main di pentas Piala Asia 2015, walau sudah teramat berat. Bergabung di grup yang berisikan Irak, Arab Saudi dan China, Indonesia seperti lumbung gol. Masih ada empat laga yang bisa dimaksimalkan. Tolong, menang dulu di empat partai sisa itu baru bilang bangga. Jangan nanti kalah tipis dari China, kembali bilang: saya bangga dengan permainan timnas, walau kalah. Sungguh terlalu. (*)

Sejak diberitahu ibu guru waktu SD dulu, lambang negara kita adalah Burung Garuda, saya langsung penasaran. Dulu belum ada Google, jadi tak bisa langsung searching. Saya lalu sering datang ke kebun binatang untuk melihat-lihat seperti apa rupa sang garuda.  Yang saya dapati, burung garuda tak segarang di lambang negara. Burung garuda di kebun binatang kurus dengan mata tak menyorot tajam. Burung garuda yang saya lihat mungkin saja sedang sakit.

Beberapa saat setelah bertahun-tahun, saya melihat-lihat burung garuda dari Google. Tampang garuda garang. Wajahnya mencerminkan kesejatian. Tatapan matanya tajam berwibawa. Bulunya halus tapi warnanya jantan. Kakinya kuat mencengkram. Kukunya tajam siap mengoyak mangsa. Ekornya mengembang pertanda keindahan. Di atas kepalanya ada jambul yang semakin membuatnya elegan.

Di lambang negara, kesejatian garuda terpampang. Garuda menoleh ke kanan dengan paruh terbuka seperti berteriak, atau berkicau lantang. Dia mencengkram pita bertuliskan Bhinneka Tunggal Ika. Berbeda-beda tapi tetap satu jua. Di dada garuda ada lambang Pancasila. Lima panca yang menjadi ciri-ciri negara kita.

Garuda lalu menjadi lambang tentang kekuatan. Ujung tongkat komando TNI juga memakai lambang kepala garuda.

Garuda menjadi makin populer selain ada lagu kebangsaannya, juga karena dijadikan lagu oleh grup band Netral. Lagu itu diciptakan untuk menyemangati Timnas Indonesia yang akan tanding di Piala AFF 2010. Lagu itu mulai populer 2009 akhir. Jadilah lagu tersebut begitu membumi di tanah air. Utamanya saat timnas Indonesia akan mentas di Stadion Gelora Bung Karno.

Garuda memang ‘nebeng’ di kaos timnas. Lengkap dengan pancasila dan semboyan  Bhinneka Tunggal Ika. Tapi seiring garuda lekat di dada, prestasi kenapa tak datang menghampiri. Dahulu ketika garuda belum ada di kaos timnas, nama Indonesia cukup cetar membahana di kancah kekuatan sepak bola dunia. Bahkan pernah lolos piala dunia edisi pertama walau tak bawa nama Indonesia melainkan Hindia Belanda.

Dan tahukah Anda, bahwa garuda menjelang punah. Burung garuda yang juga bisa disebut sebagai Elang Jawa tak begitu piawai berkembang biak. Menurut para peneliti, burung garuda hanya bertelur sebiji dua biji dalam setahun. Yang menetas dan jadi garuda dewasa tentu lebih minim lagi. Di samping itu, terjadi pula perburuan. Terjadi pula penyusutan habitatnya. Jadilah keberadaan garuda aka elang jawa bernama latin Spizaetus Bartelsi terancam punah. Nyaris sama dengan sepak bola kita yang berlambang garuda.

Regenerasi sepak bola kita berjalan sangat lambat. Semua setuju jika bibit pesepakbola Indonesia banyak dan berbakat. Tapi di level timnas, kenapa seolah kehebatan itu sirna. Kita tak lagi bisa bersaing di tingkatan Asia Tenggara. Terbukti dengan gelar yang lepas sejak belasan tahun lalu. Lalu bagaimana mungkin bisa bersaing di Asia, wadah bercokolnya negara raksasa bak Jepang, Arab Saudi bahkan Australia.

Dari diskusi dengan banyak pakar, maka semakin pusing kita melihat kondisi garuda sepak bola kita. Bahkan berbagai formula sudah diberikan, tak juga kemenangan bagi rakyat Indonesia. Memakai tenaga asing di berbagai lini, termasuk melokalkan orang asing juga tak membawa hasil. Entah apa lagi cara agar bisa main bola dan menang. Atau sudah saatnya menyerah dan sadar kekuatan. Biarlah tak berhasil di tingkatan dunia, tapi tetap bermain sepak bola cantik demi hiburan rakyat sendiri. Tak usah ikut kualifikasi apapun, tak usah ikut kejuaraan apapun, tapi sering-sering ujicoba dengan negara yang lebih loyo sepak bolanya dan menang. Atau silahkan menjadi sparing partner klub-klub sepak bola dunia, demi menghibur rakyat. Walau nantinya tetap kalah.

Begitulah garuda di dadaku. Selayak-nya burung garuda sang lambang yang bakal punah, sepak bola Indonesia juga di ambang kehancuran. Sudah terlalu lama berdiam diri, sepak bola negeri malah diliputi kericuhan yang kabarnya sudah berujung damai di kongres barusan. Timnas mulai bernafas dengan pemain dua liga. Nama-nama beken dahulu kembali main. Tapi tetap saja kalah dari Arab Saudi di kandang sendiri. Ironisnya, seperti biasa setelah kalah, semua orang bangga. Walau kalah tim pelatih bangga, pemain bangga, setidaknya tidak kalah telak. Atau ada juga alasan, setidaknya sudah mencetak gol duluan. Aneh. Kalah ya kalah saja. Sudah saatnya bangga karena menang. Indonesia masih punya harapan main di pentas Piala Asia 2015, walau sudah teramat berat. Bergabung di grup yang berisikan Irak, Arab Saudi dan China, Indonesia seperti lumbung gol. Masih ada empat laga yang bisa dimaksimalkan. Tolong, menang dulu di empat partai sisa itu baru bilang bangga. Jangan nanti kalah tipis dari China, kembali bilang: saya bangga dengan permainan timnas, walau kalah. Sungguh terlalu. (*)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/