35 C
Medan
Sunday, April 28, 2024

Peraturan di Kalangan Penambang: Tidak Ada Peraturan!

Saat memburu bijih emas, para penambang di Hutabargot-Panyabungan membuka lubang di mana mereka suka. Meski areal itu hutan lindung, rebutan kavling sering terjadi. Jika penambang dari lubang berbeda bertemu di perut bumi, bacok-bacokan kerap jadi pilihan. Peraturan di kalangan penambang adalah: tidak ada peraturan!

———————————

Dame Ambarita, Panyabungan

———————————

“Sebut saja saya Wak Udin. Orang-orang mengenal saya dengan panggilan itu,” kata Wak Udin (55), salah seorang pemilik lubang penambangan emas liar di Hutabargot, Madina.

Ditemui di warung nasi miliknya di Kota Panyabungan, Wak Udin, pria asal Bogor ini, mengaku memiliki tiga lubang tambang di areal perbukitan Hutabargot. Sebelumnya dia adalah penambang di daerah Jawa. Belasan tahun silam ia merantau ke Sumatera Barat dan menambang secara liar di daerah Pasaman, sebelum kemudian hijrah ke Madina.

“Tahun 2010 lalu, saya memiliki sebuah lubang di Hutabargot yang sudah digali hingga kedalaman 78 meter. Emas yang ditambang dari sana kadarnya 99 persen. Termasuk jalur akar emas, makanya emasnya bagus. Tapi kemudian saya jual ke seseorang seharga Rp700 juta,” kata ayah lima anak ini dengan nada bangga.

Ia mengaku, dari dua karung bijih emas yang dapat digali, bisa menghasilkan 1 kg emas berkualitas baik. Dan lubang tambang itu diperkirakan masih bisa menghasilkan produksi hingga kedalaman 148 meter.

Lantas kenapa dijualnya? “Penduduk setempat ribut. Ya saya juallah,” katanya enteng tanpa nada sakit hati.

Dalam mengelola lubang tambang emas yang dikuasainya, ia mempekerjakan 12 karyawan. Untuk penggajian, sistemnya bagi hasil. Umumnya kontrak kerja antara pemilik lubang dan penambang 60:40. Ada juga yang 70:30. Tergantung kesepakatan.

Dari 12 penambang yang bekerja padanya, 8 orang tewas tertimbun. “Tapi semua dapat dievakuasi dari tambang. Tidak ada yang tertinggal dalam lubang seperti banyak terjadi di tambang lain,” cetusnya.

Diitanya soal keselamatan para penambang yang tidak terjamin karena sistem penggalian yang masih sangat tradisional, Wak Udin hanya terkekeh. “Soal nyawa, di mobil mewah pun bisa mati kok,” celetuknya dengan nada ringan.

Lantas, ia menunjukkan contoh bijih mas yang berhasil digalinya dari tambang Hutabargot. Bentuknya mirip batu karang berwarna abu-abu kehitaman. Teksturnya keras. Ia juga memamerkan 2 gram emas dalam bentuk cincin yang diakuinya hasil dari tambang emas liar miliknya. “Ini dia barangnya. Kalau bapak-bapak mau buka lubang, bisa kita atur,” katanya berpromosi.

Tentang kode etik para penambang di areal tambang liar Hutabargot dan Sambung (Bukit Sihayo), Pak Nur, pengamat penambangan liar di Madina mengatakan, para penambang tidak punya peraturan. Mereka memilih lokasi lubang di mana suka. Setelah kavling dipilih, langsung dipagari dengan tenda warna biru.

Jika ada warga yang mengaku pemilik lahan di areal yang dipilih itu —meski alas haknya tak jelas—, biasanya dilawan dengan pertengkaran. Jika tak menang, barulah diselesaikan dengan pembagian hasil 10 persen bagi ’si pemilik areal’.

Kata Pak Nur, penggalian tambang liar bisa mencapai kedalaman 100 meter. Namun kebanyakan hanya sedalam puluhan meter saja. Bagi penambang yang beruntung, bisa memperoleh emas di areal permukaan.

Karena lubang-lubang yang digali jaraknya sembarang suka, sering terjadi para penambang bertemu di perut bumi karena mengikuti akar emas yang sama. Saat itu terjadi, pertikaian tak bisa dihindari. Jika tak mencapai kata sepakat, bacok-bacokan menjadi pilihan.

“Selain pertikaian, keselamatan penambang juga sangat rawan. Selama setahun terakhir saja, jumlah penambang yang tewas di Sambung, Bukit Sihayo ada 3 orang dan dibiarkan tetap terkubur dalam lubang. Itu masih data yang terungkap. Diperkirakan puluhan penambang tewas terkubur dalam tambang tanpa dievakuasi. Kalau sudah tercium bau bangkai dalam lubang, mereka sama-sama paham ada yang tewas. Tapi para penambang sepakat kompak menutupi,” cetus Pak Nur.

Adapun penambangan liar di Hutabargot mulai marak sejak 2 tahun lalu, sedangkan di Sambung, Kecamatan Naga Juang mulai November tahun lalu. (bersambung)

Saat memburu bijih emas, para penambang di Hutabargot-Panyabungan membuka lubang di mana mereka suka. Meski areal itu hutan lindung, rebutan kavling sering terjadi. Jika penambang dari lubang berbeda bertemu di perut bumi, bacok-bacokan kerap jadi pilihan. Peraturan di kalangan penambang adalah: tidak ada peraturan!

———————————

Dame Ambarita, Panyabungan

———————————

“Sebut saja saya Wak Udin. Orang-orang mengenal saya dengan panggilan itu,” kata Wak Udin (55), salah seorang pemilik lubang penambangan emas liar di Hutabargot, Madina.

Ditemui di warung nasi miliknya di Kota Panyabungan, Wak Udin, pria asal Bogor ini, mengaku memiliki tiga lubang tambang di areal perbukitan Hutabargot. Sebelumnya dia adalah penambang di daerah Jawa. Belasan tahun silam ia merantau ke Sumatera Barat dan menambang secara liar di daerah Pasaman, sebelum kemudian hijrah ke Madina.

“Tahun 2010 lalu, saya memiliki sebuah lubang di Hutabargot yang sudah digali hingga kedalaman 78 meter. Emas yang ditambang dari sana kadarnya 99 persen. Termasuk jalur akar emas, makanya emasnya bagus. Tapi kemudian saya jual ke seseorang seharga Rp700 juta,” kata ayah lima anak ini dengan nada bangga.

Ia mengaku, dari dua karung bijih emas yang dapat digali, bisa menghasilkan 1 kg emas berkualitas baik. Dan lubang tambang itu diperkirakan masih bisa menghasilkan produksi hingga kedalaman 148 meter.

Lantas kenapa dijualnya? “Penduduk setempat ribut. Ya saya juallah,” katanya enteng tanpa nada sakit hati.

Dalam mengelola lubang tambang emas yang dikuasainya, ia mempekerjakan 12 karyawan. Untuk penggajian, sistemnya bagi hasil. Umumnya kontrak kerja antara pemilik lubang dan penambang 60:40. Ada juga yang 70:30. Tergantung kesepakatan.

Dari 12 penambang yang bekerja padanya, 8 orang tewas tertimbun. “Tapi semua dapat dievakuasi dari tambang. Tidak ada yang tertinggal dalam lubang seperti banyak terjadi di tambang lain,” cetusnya.

Diitanya soal keselamatan para penambang yang tidak terjamin karena sistem penggalian yang masih sangat tradisional, Wak Udin hanya terkekeh. “Soal nyawa, di mobil mewah pun bisa mati kok,” celetuknya dengan nada ringan.

Lantas, ia menunjukkan contoh bijih mas yang berhasil digalinya dari tambang Hutabargot. Bentuknya mirip batu karang berwarna abu-abu kehitaman. Teksturnya keras. Ia juga memamerkan 2 gram emas dalam bentuk cincin yang diakuinya hasil dari tambang emas liar miliknya. “Ini dia barangnya. Kalau bapak-bapak mau buka lubang, bisa kita atur,” katanya berpromosi.

Tentang kode etik para penambang di areal tambang liar Hutabargot dan Sambung (Bukit Sihayo), Pak Nur, pengamat penambangan liar di Madina mengatakan, para penambang tidak punya peraturan. Mereka memilih lokasi lubang di mana suka. Setelah kavling dipilih, langsung dipagari dengan tenda warna biru.

Jika ada warga yang mengaku pemilik lahan di areal yang dipilih itu —meski alas haknya tak jelas—, biasanya dilawan dengan pertengkaran. Jika tak menang, barulah diselesaikan dengan pembagian hasil 10 persen bagi ’si pemilik areal’.

Kata Pak Nur, penggalian tambang liar bisa mencapai kedalaman 100 meter. Namun kebanyakan hanya sedalam puluhan meter saja. Bagi penambang yang beruntung, bisa memperoleh emas di areal permukaan.

Karena lubang-lubang yang digali jaraknya sembarang suka, sering terjadi para penambang bertemu di perut bumi karena mengikuti akar emas yang sama. Saat itu terjadi, pertikaian tak bisa dihindari. Jika tak mencapai kata sepakat, bacok-bacokan menjadi pilihan.

“Selain pertikaian, keselamatan penambang juga sangat rawan. Selama setahun terakhir saja, jumlah penambang yang tewas di Sambung, Bukit Sihayo ada 3 orang dan dibiarkan tetap terkubur dalam lubang. Itu masih data yang terungkap. Diperkirakan puluhan penambang tewas terkubur dalam tambang tanpa dievakuasi. Kalau sudah tercium bau bangkai dalam lubang, mereka sama-sama paham ada yang tewas. Tapi para penambang sepakat kompak menutupi,” cetus Pak Nur.

Adapun penambangan liar di Hutabargot mulai marak sejak 2 tahun lalu, sedangkan di Sambung, Kecamatan Naga Juang mulai November tahun lalu. (bersambung)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/