“Dengan demikian tidak ada lagi anggapan bahwa budidaya perikanan merusak ekosistem danau,” kata Endi.
Dia mencontohkan Danau Batur di Bali yang luasnya hanya 0,01% dari Danau Toba. Tetapi masih juga memiliki kegiatan budidaya perikanan dan bahkan mendapatkan pengakuan UNESCO sebagai geopark dunia.
Staf pengajar Fakultas Peternakan Universitas HKBP Nomensen Medan, Pohan Panjaitan, mendukung penyataan Endi. Menurut dia, seharusnya dalam pemanfaatan perairan Danau Toba tidak terjadi egosektor.
“Industri budidaya perikanan semestinya dapat mendukung industri pariwisata,” tegas dia.
Apalagi, menurut penelitian Pohan, ikan nila yang dihasilkan oleh aktivitas budidaya perikanan di Danau Toba termasuk yang berkualitas terbaik di dunia.
“Oleh karena itu, ada sejumlah strategi yang mesti diterapkan dalam pengembangan industri budidaya ikan yang ramah lingkungan dan berkelanjutan,” kata Pohan.
Misalnya, penentuan zonasi dan penataan ulang lokasi budidaya perikanan. Lalu, penentuan daya dukung setiap lokasi perairan Danau Toba untuk budidaya perikanan.
Selain itu, pengadaan karantina dan sistim biosekuriti ikan serta penerapan prinsip-prinsip pemeliharaan ikan berkelanjutan dan ramah lingkungan di perairan Danau Toba.
“Hal ini harus didukung pula oleh penyusunan peraturan daerah dan penegakan hukum serta peningkatan ketrampilan dan pengetahuan para pembudidaya ikan,” ujar Pohan.
Dengan demikian, setiap kegiatan di Danau Toba dan sekitarnya dapat berjalan secara terpadu dan harmonis dengan visi yang sama. Demi keberlanjutan pemanfaatan dan kesehatan ekosistem danau bagi kesejahteraan masyarakat.(adz/ala)