29 C
Medan
Friday, May 17, 2024

Inilah Teknologi Kupas Kulit Ekaliptus Temuan TPL

Foto: Istimewa Sistem kerja “JUSPAKU” di sektor HTI TobaPulp Aek Nauli Kabupaten Simalungun.
Foto: Istimewa
Sistem kerja “JUSPAKU” di sektor HTI TobaPulp Aek Nauli Kabupaten Simalungun.

AEKNAULI, SUMUTPOS.CO – Toba Pulp Lestari (TPL) menemukan teknologi pengupas kulit ekaliptus dengan konstruksi sangat sederhana. Teknologi yang dinamakan JUSPAKU TOBA (Julius Simbolon Penemu Alat KUpas kayu di TOBA Pulp Lestari) ini memungkinkan bahan baku kayu yang diangkut dari HTI ke pabrik sudah dalam keadaan terkupas, dan secara sigifikan menghasilkan penghematan.

Sebuah laporan hari ini menyebutkan, teknologi itu berupa bangunan segi empat. Bahannya terbuat dari besi bulat berdiameter 80 mm dan 60 mm. Ukurannya, panjang 4,5 m, lebar 2,4 m, dan tinggi 1,5 m. Spesifikasinya terdiri atas kerangka besi berbentuk trapesium terbuka, didisain sedemikian rupa sehingga bisa menampung sekaligus sekitar 40 batang kayu bergaris tengah rata-rata 15 cm, setara 3,5 meter kubik atau 3,5 ton.

Cara kerjanya sederhana. Kayu gelondongan ekaliptus (Ecalyptus sp) dipotong-potong dengan gergaji mesin (chainsaw) sepanjang 4,2 m. Lalu dimasukkan ke dalam trapesium ini. Kubikasinya lebih kurang 3,5 meter kubik. Alat berat excavator kemudian menjepit sebatang kayu lain yang keras –atau dapat juga berupa besi– sepajang 3 meter berdiameter 40 cm yang berfungsi sebagai tongkat (stick) .

Melalui gerakan tertentu, excavator secara keras menekan-nekan atau menumbukkan tongkat ke tumpukan kayu. Melalui energi kinetik itu, kayu-kayu pun saling menghantam, saling bergesekan sambil berputar. Gerakan unik itu dimungkinkan terjadi karena postur kayu relatif seragam (panjang dan bulat). Kulitnya yang masih basah –karena baru dipanen– memudahkannya terkelupas.

Maka hanya dalam tempo lebih-kurang 3,5 menit, semua kulit sudah terlepas dari kayunya. Dengan kemampuan kupas 25 -30 meter kubik per jam, dan waktu operasional sehari mencapai 10 jam, maka kapasitas kupasnya mencapai 250 hingga 300 meter kubik per hari.

Penyempurnaan alat serta cara pengoperasiannya memungkikan kapasitas kupas ditingkatkan mencapai 50 ton per jam. Alat ini dirakit dengan modal sekitar Rp50 juta, dan mudah dipindah-pindahkan dengan menggunakan alat berat excavator sesuai kebutuhan.

Selama ini, kebanyakan kayu bahan baku pabrik diangkut ke pabrik bersama kulitnya. Kulit baru dikupas di debarking drum, di pabrik, sebelum dicacah menjadi serpihan (chips). Pengupasan kulit di HTI (hutan tanaman industri) dengan sendirinya meringankan timbangan setiap batang ekaliptus yang diangkut. Selain itu, kulit kayu yang tertinggal di HTI pun menjadi pupuk alam untuk tanaman daur selanjutnya.

Sejak Agustus 2014, pengupasan kulit ekaliptus sebenarnya sudah dimulai melalui dua cara. Tetapi produktivitasnya terbatas. Pertama, pengulitan secara manual dengan memakai parang pengupas. Untuk mengupas kayu setara kapasitas trapesium diatas –250 hingga 300 meter kubik per hari– diperlukan tenaga lebih kurang 350 orang.

Cara lain ialah dengan mengoperasikan mesin pengupas (harvester). Harga per unitnya cukup mahal, sekitar Rp3 miliar. Kapasitasnya pun terbatas, hanya sekitar 8 meter kubik per jam atau 80 meter kubik per hari. Mengingat pekerjaan kupas kulit merupakan bagian dari paket kontrak pemanenan (mulai dari tebang hingga angkut) yang ditangani oleh para rekanan (mitra-usaha) lokal, maka inovasi alat pengupas trapesium dipandang sebagai hal yang fenomenal. Sebab, pengadaan mesin pengupas masih terasa cukup memberatkan. (rel/mea)

Foto: Istimewa Sistem kerja “JUSPAKU” di sektor HTI TobaPulp Aek Nauli Kabupaten Simalungun.
Foto: Istimewa
Sistem kerja “JUSPAKU” di sektor HTI TobaPulp Aek Nauli Kabupaten Simalungun.

AEKNAULI, SUMUTPOS.CO – Toba Pulp Lestari (TPL) menemukan teknologi pengupas kulit ekaliptus dengan konstruksi sangat sederhana. Teknologi yang dinamakan JUSPAKU TOBA (Julius Simbolon Penemu Alat KUpas kayu di TOBA Pulp Lestari) ini memungkinkan bahan baku kayu yang diangkut dari HTI ke pabrik sudah dalam keadaan terkupas, dan secara sigifikan menghasilkan penghematan.

Sebuah laporan hari ini menyebutkan, teknologi itu berupa bangunan segi empat. Bahannya terbuat dari besi bulat berdiameter 80 mm dan 60 mm. Ukurannya, panjang 4,5 m, lebar 2,4 m, dan tinggi 1,5 m. Spesifikasinya terdiri atas kerangka besi berbentuk trapesium terbuka, didisain sedemikian rupa sehingga bisa menampung sekaligus sekitar 40 batang kayu bergaris tengah rata-rata 15 cm, setara 3,5 meter kubik atau 3,5 ton.

Cara kerjanya sederhana. Kayu gelondongan ekaliptus (Ecalyptus sp) dipotong-potong dengan gergaji mesin (chainsaw) sepanjang 4,2 m. Lalu dimasukkan ke dalam trapesium ini. Kubikasinya lebih kurang 3,5 meter kubik. Alat berat excavator kemudian menjepit sebatang kayu lain yang keras –atau dapat juga berupa besi– sepajang 3 meter berdiameter 40 cm yang berfungsi sebagai tongkat (stick) .

Melalui gerakan tertentu, excavator secara keras menekan-nekan atau menumbukkan tongkat ke tumpukan kayu. Melalui energi kinetik itu, kayu-kayu pun saling menghantam, saling bergesekan sambil berputar. Gerakan unik itu dimungkinkan terjadi karena postur kayu relatif seragam (panjang dan bulat). Kulitnya yang masih basah –karena baru dipanen– memudahkannya terkelupas.

Maka hanya dalam tempo lebih-kurang 3,5 menit, semua kulit sudah terlepas dari kayunya. Dengan kemampuan kupas 25 -30 meter kubik per jam, dan waktu operasional sehari mencapai 10 jam, maka kapasitas kupasnya mencapai 250 hingga 300 meter kubik per hari.

Penyempurnaan alat serta cara pengoperasiannya memungkikan kapasitas kupas ditingkatkan mencapai 50 ton per jam. Alat ini dirakit dengan modal sekitar Rp50 juta, dan mudah dipindah-pindahkan dengan menggunakan alat berat excavator sesuai kebutuhan.

Selama ini, kebanyakan kayu bahan baku pabrik diangkut ke pabrik bersama kulitnya. Kulit baru dikupas di debarking drum, di pabrik, sebelum dicacah menjadi serpihan (chips). Pengupasan kulit di HTI (hutan tanaman industri) dengan sendirinya meringankan timbangan setiap batang ekaliptus yang diangkut. Selain itu, kulit kayu yang tertinggal di HTI pun menjadi pupuk alam untuk tanaman daur selanjutnya.

Sejak Agustus 2014, pengupasan kulit ekaliptus sebenarnya sudah dimulai melalui dua cara. Tetapi produktivitasnya terbatas. Pertama, pengulitan secara manual dengan memakai parang pengupas. Untuk mengupas kayu setara kapasitas trapesium diatas –250 hingga 300 meter kubik per hari– diperlukan tenaga lebih kurang 350 orang.

Cara lain ialah dengan mengoperasikan mesin pengupas (harvester). Harga per unitnya cukup mahal, sekitar Rp3 miliar. Kapasitasnya pun terbatas, hanya sekitar 8 meter kubik per jam atau 80 meter kubik per hari. Mengingat pekerjaan kupas kulit merupakan bagian dari paket kontrak pemanenan (mulai dari tebang hingga angkut) yang ditangani oleh para rekanan (mitra-usaha) lokal, maka inovasi alat pengupas trapesium dipandang sebagai hal yang fenomenal. Sebab, pengadaan mesin pengupas masih terasa cukup memberatkan. (rel/mea)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/