28.9 C
Medan
Saturday, May 18, 2024

Petani Terpaksa Biarkan Cabai Membusuk

Foto: Solideo/Sumut Pos
Tanaman cabai petani karo yang dibiarkan membusuk di pohon akibat anjloknya harga cabai.

TIGAPANAH, SUMUTPOS.CO -Harga sayur mayur di Tanah Karo kian hari makin terjun bebas. Hal ini menyebabkan para petani di Bumi Turang semakin terjepit. Kenyataan pahit ini diperparah lagi oleh mahalnya pupuk dan obat-obatan. Padahal saat ini warga sangat membutuhkan dana untuk biaya masuk sekolah.

Jika harga tak stabil terus, warga Tanah Karo yang 80 persen penduduknya bekerja sebagai petani itu dipastikan mengalami kebangkrutan, hingga tak punya modal lagi untuk bercocok tanam. Keadaan terparah dirasakan para petani cabai, baik merah, rawit, maupun hijau.

Betapa tidak, dari empat bulan lalu hingga kini, harga cabai seperti tak sepedas rasanya. Di tingkat pengepul saja, petani hanya bisa menjual sekilonya dikisaran Rp3 ribu sampai Rp4 ribu untuk cabai merah, Rp2 ribu untuk cabai hijau dan Rp8 ribu untuk cabai rawit.

Harga ini jelas tak sebanding dengan modal yang dikeluarkan oleh petani. Jangankan untung, untuk membayar upah buruh tani yang memanen saja tak mencukupi. Alhasil petani lebih memilih membiarkan begitu saja buah cabai mereka meski sudah memasuki masa panen.

“Mau gimana lagi, dipanen pun rugi kita. Hasil penjualan nanti tak cukup membayar upah buruh tani. Dipanen malah nombok kita, jadi lebih baik biarkan saja cabai itu busuk di batangnya,” keluh petani cabai asal Desa Buntu, Tati br Sembiring (40). Tati jelas nombok, karena untuk memanen cabai 100 kilo, minimal dia harus mempekerjakan lima buruh tani dengan upah Rp70 ribu.

Dihitung dengan harga saat ini, 100 kg cabai hanya menghasilkan uang Rp400 ribu, untuk upah pekerja saja mencapai Rp350 ribu. Pengeluaran ini ditambah lagi ongkos angkutan dari desa ke pekan. “Jangankan balik modal, dipanen malah makin rugi, hancur kali petani di Tanah Karo ini sekarang,” katanya.

Harga tersebut jelas tak sebanding dengan modal perawatan yang dikeluarkan para petani. Seperti biaya pemeliharaan seperti membeli pupuk dan obat-obatan yang harganya kian melambung tinggi. “Kalau harga ini tak segera distabilkan, hancur semua petani cabai di Tanah Karo ini. Bayangkan sajalah, masak harga di pengepul saat ini cuma Rp3 ribu/kilo. Jangankan mendapatkan untung, modal saja pun tak balik itu,” kata R Ginting (35), petani cabai di Kecamatan Barusjahe.

Foto: Solideo/Sumut Pos
Tanaman cabai petani karo yang dibiarkan membusuk di pohon akibat anjloknya harga cabai.

TIGAPANAH, SUMUTPOS.CO -Harga sayur mayur di Tanah Karo kian hari makin terjun bebas. Hal ini menyebabkan para petani di Bumi Turang semakin terjepit. Kenyataan pahit ini diperparah lagi oleh mahalnya pupuk dan obat-obatan. Padahal saat ini warga sangat membutuhkan dana untuk biaya masuk sekolah.

Jika harga tak stabil terus, warga Tanah Karo yang 80 persen penduduknya bekerja sebagai petani itu dipastikan mengalami kebangkrutan, hingga tak punya modal lagi untuk bercocok tanam. Keadaan terparah dirasakan para petani cabai, baik merah, rawit, maupun hijau.

Betapa tidak, dari empat bulan lalu hingga kini, harga cabai seperti tak sepedas rasanya. Di tingkat pengepul saja, petani hanya bisa menjual sekilonya dikisaran Rp3 ribu sampai Rp4 ribu untuk cabai merah, Rp2 ribu untuk cabai hijau dan Rp8 ribu untuk cabai rawit.

Harga ini jelas tak sebanding dengan modal yang dikeluarkan oleh petani. Jangankan untung, untuk membayar upah buruh tani yang memanen saja tak mencukupi. Alhasil petani lebih memilih membiarkan begitu saja buah cabai mereka meski sudah memasuki masa panen.

“Mau gimana lagi, dipanen pun rugi kita. Hasil penjualan nanti tak cukup membayar upah buruh tani. Dipanen malah nombok kita, jadi lebih baik biarkan saja cabai itu busuk di batangnya,” keluh petani cabai asal Desa Buntu, Tati br Sembiring (40). Tati jelas nombok, karena untuk memanen cabai 100 kilo, minimal dia harus mempekerjakan lima buruh tani dengan upah Rp70 ribu.

Dihitung dengan harga saat ini, 100 kg cabai hanya menghasilkan uang Rp400 ribu, untuk upah pekerja saja mencapai Rp350 ribu. Pengeluaran ini ditambah lagi ongkos angkutan dari desa ke pekan. “Jangankan balik modal, dipanen malah makin rugi, hancur kali petani di Tanah Karo ini sekarang,” katanya.

Harga tersebut jelas tak sebanding dengan modal perawatan yang dikeluarkan para petani. Seperti biaya pemeliharaan seperti membeli pupuk dan obat-obatan yang harganya kian melambung tinggi. “Kalau harga ini tak segera distabilkan, hancur semua petani cabai di Tanah Karo ini. Bayangkan sajalah, masak harga di pengepul saat ini cuma Rp3 ribu/kilo. Jangankan mendapatkan untung, modal saja pun tak balik itu,” kata R Ginting (35), petani cabai di Kecamatan Barusjahe.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/