25 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Sumut Capai Surplus Padi 1,7 Juta Ton di 2017

Foto: DONI KURNIAWAN/BANTEN RAYA/JPNN
Pekerja membalikkan gabah saat menjemur di tempat penggilingan padi di Kampung/Desa Kilasah 3, Kecamatan Kasemen, Kota Serang, kemarin. Selain faktor cuaca, harga gabah naik Rp 500 ribu per kwintalnya dipicu akibat kurangnya pasokan gabah dari petani karena belum memasuki panen.

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Produksi padi di Sumatera Utara (Sumut) dalam kurun 2017 mencapai angka 5,1 juta ton, atau surplus 1,7 juta ton dari kebutuhan yang diperhitungkan sebesar 3,4 juta ton. Kendala banjir yang menimpa sekitar 18 ha di beberapa daerah pun dinilai tidak mengurangi jumlah capaian karena masih dalam musim tanam.

Kepala Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Sumut Azhar Harahap mengatakan, kondisi produksi padi di seluruh daerah selama 2017 meningkat dari tahun sebelumnya. Yakni dari 4,6 juta ton menjadi 5,1 juta ton atau meningkat sekitar 0,5 ton. Dengan demikian berdasarkan angka kebutuhan konsumsi beras, Sumut mengalami surplus produksi padi sebesar 1,7 juta ton.

“Dengan surplus ini, tentu kita kelebihan produksi dan kemudian dikirim ke daerah lain seperti ke Provinsi Riau dan lainnya yang membutuhkan,” ujar Azhar, Selasa (9/1).

Didistribusikannya kelebihan produksi tersebut lanjut Azhar, secara tidak langsung akan berpengaruh kepada pendapatan petani. Di mana harga jual gabah kering tetap bisa terjaga. Sebab kelebihan tersebut tetap bisa dialihkan ke provinsi lain yang lebih membutuhkan, sehingga antara permintaan dan pasokan bahan dimaksud tetap stabil. Dengan begitu pula, harga gabah bisa di atas harga pembelian pemerintah (HPP). Hal ini katanya sesuai dengan hukum ekonomi yakni supply and demand.

“Karena kita memasok kelebihan tadi, makanya harga jual gabah ke petani bisa tetap terjaga di atas harga pembelian pemerintah. Makanya secara tidak langsung, menguntungkan juga bagi petani kita,” sebut Azhar.

Sementara terkait adanya bencana banjir yang menimpa sejumlah daerah di Sumut, Azhar menyebutkan yang terkena dampaknya hanya sekitar 87,8 hektar. Dari keseluruhannya, untuk lahan pertanian padi, yang terkena dampaknya sebesar 18 ha yang ada di Langkat, Serdang Bedagei dan Asahan. Dari angka itu pula, dirinya menyebutkan tidak ada kendala begitu berarti karena banjir terjadi saat masih memasuki masa tanam.

“Yang gagal panen sekitar 18 hektar, dimana 14,7 hektar itu baru masa penanaman. Sedangkan 4 hektar lebih itu masih menyemai (pembibitan). Sehingga kalaupun ada kendala, hanya penundaan produksi (masa panen) selama satu bulan. Untuk kerugian pembibitan itu, kita juga sudah memberikan gantinya berupa bantuan benih kepada petani yang tertimpa bencana banjir,” ujarnya sembari mengatakan untuk 2018, Pemprov Sumut menargetkan peningkatan produksi padi hingga 5-10 persen dibanding tahun lalu.

Selain padi lanjutnya, komoditi pertanian yang tidak mengalami surplus bahkan kekurangan pasokan dari petani lokal di Sumut yakni produksi bawang. Dalam hal ini, jumlah produksi hasil tanaman pangan tersebut di seluruh daerah penghasil hanya mencapai 13 ribu Ton selama 2017. Sedangkan kebutuhan lebih dari jumlah tersebut. Karenanya harus ada pasokan dari luar provinsi.

“Karena ini kan sifatnya seperti subsidi silang, mana daerah yang surplus dibagikan ke daerah lain yang membutuhkan. Begitu juga sebaliknya, seperti bawang, kita dapat pasokan dari luar daerah,” sebutnya.

Sebelumnya Badan Pusat Statistik Sumut mencatat selama kurun Desember 2017 lalu,  harga tertinggi gabah tertinggi berada pada kisaran Rp6.260 per kg, berasal dari Gabah Kering Giling (GKG) varietas Ciherang di Deli Serdang. Sedangkan harga terendah senilai Rp3.950 per kg berasal dari Gabah Kering Panen (GKP) varietas Sibatu Bara di Mandailing Natal.

Sedangkan harga gabah rata-rata selama Desember 2017 di tingkat petani senilai Rp5.544 per kg untuk GKG. Untuk gabah kualitas GKP sebesar Rp4.946 per kg. (rel)

Foto: DONI KURNIAWAN/BANTEN RAYA/JPNN
Pekerja membalikkan gabah saat menjemur di tempat penggilingan padi di Kampung/Desa Kilasah 3, Kecamatan Kasemen, Kota Serang, kemarin. Selain faktor cuaca, harga gabah naik Rp 500 ribu per kwintalnya dipicu akibat kurangnya pasokan gabah dari petani karena belum memasuki panen.

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Produksi padi di Sumatera Utara (Sumut) dalam kurun 2017 mencapai angka 5,1 juta ton, atau surplus 1,7 juta ton dari kebutuhan yang diperhitungkan sebesar 3,4 juta ton. Kendala banjir yang menimpa sekitar 18 ha di beberapa daerah pun dinilai tidak mengurangi jumlah capaian karena masih dalam musim tanam.

Kepala Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Sumut Azhar Harahap mengatakan, kondisi produksi padi di seluruh daerah selama 2017 meningkat dari tahun sebelumnya. Yakni dari 4,6 juta ton menjadi 5,1 juta ton atau meningkat sekitar 0,5 ton. Dengan demikian berdasarkan angka kebutuhan konsumsi beras, Sumut mengalami surplus produksi padi sebesar 1,7 juta ton.

“Dengan surplus ini, tentu kita kelebihan produksi dan kemudian dikirim ke daerah lain seperti ke Provinsi Riau dan lainnya yang membutuhkan,” ujar Azhar, Selasa (9/1).

Didistribusikannya kelebihan produksi tersebut lanjut Azhar, secara tidak langsung akan berpengaruh kepada pendapatan petani. Di mana harga jual gabah kering tetap bisa terjaga. Sebab kelebihan tersebut tetap bisa dialihkan ke provinsi lain yang lebih membutuhkan, sehingga antara permintaan dan pasokan bahan dimaksud tetap stabil. Dengan begitu pula, harga gabah bisa di atas harga pembelian pemerintah (HPP). Hal ini katanya sesuai dengan hukum ekonomi yakni supply and demand.

“Karena kita memasok kelebihan tadi, makanya harga jual gabah ke petani bisa tetap terjaga di atas harga pembelian pemerintah. Makanya secara tidak langsung, menguntungkan juga bagi petani kita,” sebut Azhar.

Sementara terkait adanya bencana banjir yang menimpa sejumlah daerah di Sumut, Azhar menyebutkan yang terkena dampaknya hanya sekitar 87,8 hektar. Dari keseluruhannya, untuk lahan pertanian padi, yang terkena dampaknya sebesar 18 ha yang ada di Langkat, Serdang Bedagei dan Asahan. Dari angka itu pula, dirinya menyebutkan tidak ada kendala begitu berarti karena banjir terjadi saat masih memasuki masa tanam.

“Yang gagal panen sekitar 18 hektar, dimana 14,7 hektar itu baru masa penanaman. Sedangkan 4 hektar lebih itu masih menyemai (pembibitan). Sehingga kalaupun ada kendala, hanya penundaan produksi (masa panen) selama satu bulan. Untuk kerugian pembibitan itu, kita juga sudah memberikan gantinya berupa bantuan benih kepada petani yang tertimpa bencana banjir,” ujarnya sembari mengatakan untuk 2018, Pemprov Sumut menargetkan peningkatan produksi padi hingga 5-10 persen dibanding tahun lalu.

Selain padi lanjutnya, komoditi pertanian yang tidak mengalami surplus bahkan kekurangan pasokan dari petani lokal di Sumut yakni produksi bawang. Dalam hal ini, jumlah produksi hasil tanaman pangan tersebut di seluruh daerah penghasil hanya mencapai 13 ribu Ton selama 2017. Sedangkan kebutuhan lebih dari jumlah tersebut. Karenanya harus ada pasokan dari luar provinsi.

“Karena ini kan sifatnya seperti subsidi silang, mana daerah yang surplus dibagikan ke daerah lain yang membutuhkan. Begitu juga sebaliknya, seperti bawang, kita dapat pasokan dari luar daerah,” sebutnya.

Sebelumnya Badan Pusat Statistik Sumut mencatat selama kurun Desember 2017 lalu,  harga tertinggi gabah tertinggi berada pada kisaran Rp6.260 per kg, berasal dari Gabah Kering Giling (GKG) varietas Ciherang di Deli Serdang. Sedangkan harga terendah senilai Rp3.950 per kg berasal dari Gabah Kering Panen (GKP) varietas Sibatu Bara di Mandailing Natal.

Sedangkan harga gabah rata-rata selama Desember 2017 di tingkat petani senilai Rp5.544 per kg untuk GKG. Untuk gabah kualitas GKP sebesar Rp4.946 per kg. (rel)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/