25 C
Medan
Saturday, June 1, 2024

BI Batasi Asing di Biro Kredit Swasta

Bank Indonesia
Bank Indonesia

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Akses informasi terhadap data nasabah kredit bakal makin mudah. Bahkan melalui regulasi terbaru, perusahaan asing juga diperbolehkan untuk memiliki Lembaga Pengelola Informasi Perkreditan (LPIP). Kendati demikian, Bank Indonesia (BI) tetap membatasi ruang gerak asing dengan memasang limitasi kepemilikan perseroan pada biro informasi kredit yang dikelola swasta tersebut maksimal 20 persen.

Direktur Eksekutif Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan BI Wiwiek Sisto Widayat, mengatakan pembatasan hak asing dalam LPIP tersebut untuk meminimalkan celah asing mengeruk informasi tentang kapasitas nasabah baik individu maupun perseroan. “Orang Indonesia itu kaya-kaya. Kasihan jika informasinya dikuasai asing,” ungkapnya di Gedung BI kemarin (10/12).

Merujuk Peraturan BI (PBI) nomor 15/1/PBI/2013, LPIP merupakan lembaga atau badan yang menghimpun dan mengolah data kredit dan data lainnya, untuk menghasilkan informasi perkreditan baik produk maupun layanan. Data kredit tersebut bisa meliputi kondisi fasilitas penyediaan dana, pembiayaan dari lembaga keuangan non bank, hingga penggambaran kemampuan pihak tertentu dalam memenuhi kewajiban keuangan.

Sementara pihak yang dapat memperoleh informasi perkreditan adalah lembaga keuangan yang menjadi anggota dari LPIP, non Lembaga Keuangan, LPIP lain, debitur atau nasabah, dan juga termasuk pihak lain.

Karena itu, Wiwiek mengungkapkan bahwa pihaknya memperketat campur tangan asing dalam biro kredit tersebut. Misalnya, jika pihak asing menjadi pemilik LPIP, maka batas maksimal untuk satu pihak asing tersebut adalah 20 persen. Selain harus berpengalaman mengolah informasi perkreditan, Badan Hukum Asing (BHA) yang masuk dalam usaha ini juga dihwajibkan melalui kemitraan dengan Badan Hukum Indonesia (BHI). Sementara itu, setiap pihak dalam satu LPIP maupun dalam industri LPIP dibatasi kepemilikannya sebesar 51 persen.

”Sudah ada sekitar sepuluh perusahaan baik asing maupun nasional, “yang menyatakan minat untuk membentuk LPIP ini. Kami harap makin besar setelah kesempatan swasta berpartisipasi pada pendirian LPIP dibuka,” jelasnya.

Selain membatasi kepemilikan asing, BI juga memagari akses informasi di luar yurisdiksi Indonesia. “Termasuk kantor cabang bank nasional yang ada di luar negeri. Data tidak boleh cross border, hanya untuk NKRI. Karena segala sesuatu yang terkait dengan penduduk Indonesia ini sangat rahasia dan individual,” paparnya. Lantaran itu, pihaknya bakal memberi sanksi terhadap segala aktivitas akses data tanpa underlying. Yakni sebesar Rp 50 juta per informasi perkreditan, dengan jumlah paling banyak sebesar Rp 1 miliar.

Presiden Direktur PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) Ronald Kasim menilai pembatasan kepemilikan oleh asing tersebut cukup memberatkan. “Sekarang agak berat kalau tidak dengan asing. Apalagi banyak kompetitor asal asing. Klien juga lebih nyaman jika untuk industri baru seperti ini memiliki unsur internasional. Jadi kami sendiri mungkin akan menggandeng asing, meski dibatasi,” ungkapnya.”””ï¿ ½””

Di sisi lain, ke depannya LPIP juga bakal diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Namun, OJK masih terlihat enggan dengan adanya kebebasan asing mendapatkan ases informasi nasabah. “Itu (LPIP) wilayah OJK. Kami sendiri masih mengkaji kebijakan untuk membangun direktorat statistik dan informasi,” ungkap Deputi Komisioner Pengawas Industri Keunagan Non Bank II OJK Dumoly F. Pardede. (gal/sof/jpnn)

Bank Indonesia
Bank Indonesia

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Akses informasi terhadap data nasabah kredit bakal makin mudah. Bahkan melalui regulasi terbaru, perusahaan asing juga diperbolehkan untuk memiliki Lembaga Pengelola Informasi Perkreditan (LPIP). Kendati demikian, Bank Indonesia (BI) tetap membatasi ruang gerak asing dengan memasang limitasi kepemilikan perseroan pada biro informasi kredit yang dikelola swasta tersebut maksimal 20 persen.

Direktur Eksekutif Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan BI Wiwiek Sisto Widayat, mengatakan pembatasan hak asing dalam LPIP tersebut untuk meminimalkan celah asing mengeruk informasi tentang kapasitas nasabah baik individu maupun perseroan. “Orang Indonesia itu kaya-kaya. Kasihan jika informasinya dikuasai asing,” ungkapnya di Gedung BI kemarin (10/12).

Merujuk Peraturan BI (PBI) nomor 15/1/PBI/2013, LPIP merupakan lembaga atau badan yang menghimpun dan mengolah data kredit dan data lainnya, untuk menghasilkan informasi perkreditan baik produk maupun layanan. Data kredit tersebut bisa meliputi kondisi fasilitas penyediaan dana, pembiayaan dari lembaga keuangan non bank, hingga penggambaran kemampuan pihak tertentu dalam memenuhi kewajiban keuangan.

Sementara pihak yang dapat memperoleh informasi perkreditan adalah lembaga keuangan yang menjadi anggota dari LPIP, non Lembaga Keuangan, LPIP lain, debitur atau nasabah, dan juga termasuk pihak lain.

Karena itu, Wiwiek mengungkapkan bahwa pihaknya memperketat campur tangan asing dalam biro kredit tersebut. Misalnya, jika pihak asing menjadi pemilik LPIP, maka batas maksimal untuk satu pihak asing tersebut adalah 20 persen. Selain harus berpengalaman mengolah informasi perkreditan, Badan Hukum Asing (BHA) yang masuk dalam usaha ini juga dihwajibkan melalui kemitraan dengan Badan Hukum Indonesia (BHI). Sementara itu, setiap pihak dalam satu LPIP maupun dalam industri LPIP dibatasi kepemilikannya sebesar 51 persen.

”Sudah ada sekitar sepuluh perusahaan baik asing maupun nasional, “yang menyatakan minat untuk membentuk LPIP ini. Kami harap makin besar setelah kesempatan swasta berpartisipasi pada pendirian LPIP dibuka,” jelasnya.

Selain membatasi kepemilikan asing, BI juga memagari akses informasi di luar yurisdiksi Indonesia. “Termasuk kantor cabang bank nasional yang ada di luar negeri. Data tidak boleh cross border, hanya untuk NKRI. Karena segala sesuatu yang terkait dengan penduduk Indonesia ini sangat rahasia dan individual,” paparnya. Lantaran itu, pihaknya bakal memberi sanksi terhadap segala aktivitas akses data tanpa underlying. Yakni sebesar Rp 50 juta per informasi perkreditan, dengan jumlah paling banyak sebesar Rp 1 miliar.

Presiden Direktur PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) Ronald Kasim menilai pembatasan kepemilikan oleh asing tersebut cukup memberatkan. “Sekarang agak berat kalau tidak dengan asing. Apalagi banyak kompetitor asal asing. Klien juga lebih nyaman jika untuk industri baru seperti ini memiliki unsur internasional. Jadi kami sendiri mungkin akan menggandeng asing, meski dibatasi,” ungkapnya.”””ï¿ ½””

Di sisi lain, ke depannya LPIP juga bakal diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Namun, OJK masih terlihat enggan dengan adanya kebebasan asing mendapatkan ases informasi nasabah. “Itu (LPIP) wilayah OJK. Kami sendiri masih mengkaji kebijakan untuk membangun direktorat statistik dan informasi,” ungkap Deputi Komisioner Pengawas Industri Keunagan Non Bank II OJK Dumoly F. Pardede. (gal/sof/jpnn)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/