30 C
Medan
Sunday, November 24, 2024
spot_img

Kuasa Hukum Yakin Kasus Pelecehan Tidak Jalan, Perlu Menerapkan Pasal Menghalangi Penyidikan

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Kasus penembakan Brigadir Yosua menemui titik krusial. Kemarin (2/8) Tim Khusus memanggil Kuasa Hukum Keluarga Brigadir Yosua untuk dimintai keterangan sebagai pihak pelapor kasus dugaan pembunuhan berencana di Bareskrim. Sedangkan Kuasa Hukum dari Putri Chandrawathi, istri Sambo juga mendatangi Bareskrim untuk mempertanyakan kelanjutan kasus dugaan pelecehan seksual dan pengancaman.

Terdapat tiga laporan untuk kasus kejadian penembakan Brigadir Yosua. Laporan-laporan tersebut statusnya penyidikan, artinya Tim Khusus seakan mendua, menemukan peristiwa pidana dugaan pembunuhan berencana, namun juga mengamini adanya dugaan kasus pelecehan seksual serta pengancaman.

Komisioner Kompolnas Poengky Indarti menjelaskan, memang kasus dugaan pembunuhan berencana dan kasus pelecehan seksual, sekaligus kasus pengancaman itu semua statusnya penyidikan. “Baik yang di Bareskrim dan kasus yang ditarik ke Bareskrim itu sudah sidik,” paparnya.

Hingga saat ini, Kompolnas sebagai anggota Tim Khusus masih terus melakukan pendalaman. Menurutnya, penyidikan dengan scientific crime investigation memang membutuhkan waktu. “Mohon bersabar ya,” ujarnya kepada Jawa Pos (grup Sumut Pos).

Sementara Kuasa Hukum Keluarga Brigadir Yosua, Kamaruddin Simanjuntak mendatangi Bareskrim sekitar pukul 15.30 kemarin. Dia menuturkan, kedatangannya karena dipanggil Bareskrim sebagai pihak pelapor. “Dimintai keterangan,” jelasnya.

Saat ditanya terkait kasus dugaan pelecehan seksual dan pengancaman yang masih berjalan, dia mengatakan, untuk satu kejadian penembakan Brigadir Yosua tersebut diketahui terdapat tiga laporan. Laporan pertama dari Keluarga Brigadir Yosua soal pembunuhan berencana. “Laporan kedua pelecehan seksual dan pengancaman. Ada tiga,” tuturnya.

Terkait kasus dugaan pelecehan seksual dan pengancaman tersebut, sebagai kuasa hukum sangat yakin tidak akan berjalan. Dia mengatakan, terlapor untuk kasus dugaan pelecehan seksual dan pengancaman itu terlapornya sudah meninggal dunia. “Sesuai pasal 77 itu harusnya dihentikan atau SP3,” jelasnya.

Untuk kasus orang yang hidup, tapi memiliki gangguan kejiwaan tidak bisa dimintai pertanggungjawaban. Apalagi, kasusnya dengan terlapor sudah meninggal dunia. “Nanti yang minta pertanggujawaban penguasa surga,” candanya.

Dia juga mempertanyakan terkait CCTV yang sempat dipaparkan Komnas HAM. “Apakah video atau CCTV itu sudah diuji ahli digital forensik. Asli atau tidak video itu, sekarang ini anak usia sembilan tahun saja bisa mengedit video,” paparnya.

Menurutnya, dalam paparan Karopenmas sebelumnya, disebutkan bahwa CCTV rusak disambar petir. Lalu, ada dekoder CCTV yang diambil oleh orang bukan dari Polri. “Lalu, kapan decoder itu dikembalikan, juga tidak jelas,” keluhnya.

Karena itu, menjadi penting untuk menerapkan pasal 233 KUHP Tentang menghalangi proses hukum atau obstruction of justice. Hingga saat ini Polri memang belum menerapkan pasal menghalang-halangi penyidikan tersebut. “Seharusnya, yang mengambil dekoder menjadi tersangka,” terangnya di depan kantor Bareskrim.

Bagian lain, Kuasa Hukum Istri Kadivpropam Nonaktif Arman Hanis menuturkan, kedatangannya untuk menindaklanjuti laporan dugaan pelecehan seksual dan pengancaman. Informasi yang didapat kuasa hukum, kasus ini ditangani Dittipidum. “Kami minta ditindaklanjuti,” ujarnya.

Kuasa Hukum Istri Kadivpropam Nonaktif lainnya, Patra M Zen menjelaskan, kendati terlapor telah meninggal dunia, sebuah laporan itu tetap harus ditindaklanjuti oleh Polri. “Kami mau mengetahui peristiwanya dahulu,” ujarnya.

Setelah diketahui peristiwa pidananya, kalau ternyata tersangkanya sudah meninggal tentu bisa dihentikan kasusnya. “Jadi tak usah khawatir, KUHAP dan KUHP sudah mengaturnya,” ujarnya. (idr/tyo/jpg/adz)

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Kasus penembakan Brigadir Yosua menemui titik krusial. Kemarin (2/8) Tim Khusus memanggil Kuasa Hukum Keluarga Brigadir Yosua untuk dimintai keterangan sebagai pihak pelapor kasus dugaan pembunuhan berencana di Bareskrim. Sedangkan Kuasa Hukum dari Putri Chandrawathi, istri Sambo juga mendatangi Bareskrim untuk mempertanyakan kelanjutan kasus dugaan pelecehan seksual dan pengancaman.

Terdapat tiga laporan untuk kasus kejadian penembakan Brigadir Yosua. Laporan-laporan tersebut statusnya penyidikan, artinya Tim Khusus seakan mendua, menemukan peristiwa pidana dugaan pembunuhan berencana, namun juga mengamini adanya dugaan kasus pelecehan seksual serta pengancaman.

Komisioner Kompolnas Poengky Indarti menjelaskan, memang kasus dugaan pembunuhan berencana dan kasus pelecehan seksual, sekaligus kasus pengancaman itu semua statusnya penyidikan. “Baik yang di Bareskrim dan kasus yang ditarik ke Bareskrim itu sudah sidik,” paparnya.

Hingga saat ini, Kompolnas sebagai anggota Tim Khusus masih terus melakukan pendalaman. Menurutnya, penyidikan dengan scientific crime investigation memang membutuhkan waktu. “Mohon bersabar ya,” ujarnya kepada Jawa Pos (grup Sumut Pos).

Sementara Kuasa Hukum Keluarga Brigadir Yosua, Kamaruddin Simanjuntak mendatangi Bareskrim sekitar pukul 15.30 kemarin. Dia menuturkan, kedatangannya karena dipanggil Bareskrim sebagai pihak pelapor. “Dimintai keterangan,” jelasnya.

Saat ditanya terkait kasus dugaan pelecehan seksual dan pengancaman yang masih berjalan, dia mengatakan, untuk satu kejadian penembakan Brigadir Yosua tersebut diketahui terdapat tiga laporan. Laporan pertama dari Keluarga Brigadir Yosua soal pembunuhan berencana. “Laporan kedua pelecehan seksual dan pengancaman. Ada tiga,” tuturnya.

Terkait kasus dugaan pelecehan seksual dan pengancaman tersebut, sebagai kuasa hukum sangat yakin tidak akan berjalan. Dia mengatakan, terlapor untuk kasus dugaan pelecehan seksual dan pengancaman itu terlapornya sudah meninggal dunia. “Sesuai pasal 77 itu harusnya dihentikan atau SP3,” jelasnya.

Untuk kasus orang yang hidup, tapi memiliki gangguan kejiwaan tidak bisa dimintai pertanggungjawaban. Apalagi, kasusnya dengan terlapor sudah meninggal dunia. “Nanti yang minta pertanggujawaban penguasa surga,” candanya.

Dia juga mempertanyakan terkait CCTV yang sempat dipaparkan Komnas HAM. “Apakah video atau CCTV itu sudah diuji ahli digital forensik. Asli atau tidak video itu, sekarang ini anak usia sembilan tahun saja bisa mengedit video,” paparnya.

Menurutnya, dalam paparan Karopenmas sebelumnya, disebutkan bahwa CCTV rusak disambar petir. Lalu, ada dekoder CCTV yang diambil oleh orang bukan dari Polri. “Lalu, kapan decoder itu dikembalikan, juga tidak jelas,” keluhnya.

Karena itu, menjadi penting untuk menerapkan pasal 233 KUHP Tentang menghalangi proses hukum atau obstruction of justice. Hingga saat ini Polri memang belum menerapkan pasal menghalang-halangi penyidikan tersebut. “Seharusnya, yang mengambil dekoder menjadi tersangka,” terangnya di depan kantor Bareskrim.

Bagian lain, Kuasa Hukum Istri Kadivpropam Nonaktif Arman Hanis menuturkan, kedatangannya untuk menindaklanjuti laporan dugaan pelecehan seksual dan pengancaman. Informasi yang didapat kuasa hukum, kasus ini ditangani Dittipidum. “Kami minta ditindaklanjuti,” ujarnya.

Kuasa Hukum Istri Kadivpropam Nonaktif lainnya, Patra M Zen menjelaskan, kendati terlapor telah meninggal dunia, sebuah laporan itu tetap harus ditindaklanjuti oleh Polri. “Kami mau mengetahui peristiwanya dahulu,” ujarnya.

Setelah diketahui peristiwa pidananya, kalau ternyata tersangkanya sudah meninggal tentu bisa dihentikan kasusnya. “Jadi tak usah khawatir, KUHAP dan KUHP sudah mengaturnya,” ujarnya. (idr/tyo/jpg/adz)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/