25.6 C
Medan
Tuesday, May 21, 2024

Saksi Ahli: Kerugian Persero Bukan Kerugian Negara

Foto: Gatha Ginting/PM Tiga mantan bos PT. PLN Pusat, masing-masing Chris Leo Manggala, mantan GM) PLN, Surya Dharma Sinaga selaku Ketua Panitia Lelang, dan Muhammad Ali, menjalani sidang perdana di Pengadilan Tipikor Medan, Rabu (21/5) lalu.
Foto: Gatha Ginting/PM
Tiga mantan bos PT. PLN Pusat, masing-masing Chris Leo Manggala, mantan GM) PLN, Surya Dharma Sinaga selaku Ketua Panitia Lelang, dan Muhammad Ali, menjalani sidang perdana di Pengadilan Tipikor Medan, Rabu (21/5) lalu.

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Sidang dugaan korupsi proyek peremajaan Life Time Extension (LTE) Gas Turbine (GT) 2.1 dan GT 2.2 PLTGU Blok II Belawan, kembali digelar di ruang Utama Pengadilan Tipikor Medan, Selasa (9/9) pagi.

Mantan Deputi Kepala Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Bidang Pengawasan Pengeluaran Pusat dan Daerah, Dani Sudarsono, dihadirkan sebagai saksi ahli.

Dani dihadirkan sebagai saksi yang meringankan atau A de Charge untuk mantan General Manager PT PLN Pembangkit Sumatera Bagian Utara (Kitsbu) Chris Leo Manggala, Manager Sektor Labuan Angin, Surya Dharma Sinaga, pegawai PT PLN Kitsbu Muhammad Ali, Dirut PT Nusantara Turbin & Propulsi (NTP) Supra Dekanto dan Rody Cahyawan selaku mantan Manager Pembangkit PLN Sektor Belawan.

Dalam kesaksiannya, Dani menjelaskan dalam perkara ini, BPKP tidak berwenang melakukan pemeriksaan untuk menghitung kerugian negara. Hal itu, kata saksi, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 15/2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan Dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.

“Jadi, berdasarkan Undang-undang ini, BPKP tidak berwenang melakukan pemeriksaan untuk menghitung kerugian negara,” kata Dani, dihadapan majelis hakim yang diketuai SB Hutagalung, SH.

Dani menyatakan, sesuai dengan Pasal 13 jo Pasal 1 angka 3 UU Nomor 15/2004, yang mempunyai kewenangan untuk mengungkap indikasi adanya kerugian negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI.

“Saat ini saya tidak menjumpai adanya peraturan perundang-undangan yang memberikan kewenangan BPKP untuk melakukan pemeriksaan atas BUMN,” kata Dani.

Ketua Majelis Kehormatan Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) itu memaparkan, BPKP memang pernah memiliki kewenangan untuk menghitung kerugian negara. Landasan Hukum yang memberikan kewenangan BPKP untuk dapat melakukan pemeriksaan adalah Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 31/1983 mengenai Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan. Dimana berdasarkan Pasal 3 huruf J, L, N, O dan khususnya Pasal 22 sampai dengan pasal 24 dari Keppres No. 31/1983, memberikan kewenangan kepada BPKP untuk melakukan pemeriksaan.

Namun, kata saksi, perlu diketahui, Keppres Nomor 31/1983 pada saat ini sudah tidak berlaku lagi, tepatnya sejak tanggal 27 Maret 2001 dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 42/2001.

“Jadi, setelah dikeluarkannya baru ini, BPKP tidak lagi mempunyai kewenangan secara hukum atas kegiatan pemeriksaan,” kata Dani.

Menurut Dani, sesuai Undang-Undang Nomor 15/2004 Pasal 13, pemeriksa BPK dapat melaksanakan pemeriksaan investigatif guna mengungkap adanya indikasi kerugian negara/daerah dan/atau unsur pidana. Pemeriksaan investigatif adalah bagian dari jenis pemeriksaan dengan tujuan tertentu.

Pemeriksaan investigatif dilakukan dengan cara yang sangat cermat, bukti yang diperoleh harus kuat dengan derajat keyakinan yang tinggi, harus meminta tanggapan dari yang diperiksa dan memasukkannya dalam laporan hasil pemeriksaan.

Bila pemeriksaan investigatif tidak dilakukan berdasarkan sesuai aturan yang disyaratkan, kata Dani, laporan yang dihasilkan akan berkualitas rendah karena dihasilkan dari proses yang dibawah standar (sub standard) yang kualitasnya dipertanyakan.

Dalam perkara PLTGU Belawan ini, menurut Dani, perhitungan kerugian negara yang dilakukan BPKP bukanlah audit investigasi alias tidak menjalankan standar audit. Sehingga kesimpulan adanya kerugian negara akan menyesatkan karena tidak memuat informasi yang seharusnya.

Saksi lainnya, Ahli Hukum Korporasi, Dr Gunawan Widjaja, dalam kesaksiannya menyatakan, perkara PLTGU, tidak ada kerugian negara yang muncul.

Sebab, anggaran yang digunakan adalah anggaran internal PLN. Hal itu merujuk pada UU No.19/2003 tentang BUMN, UU No.17/2003 tentang Keuangan Negara, Peraturan Pemerintah No.12/1998, serta Putusan MK Nomor 77/PUU-X/2011, sudah sangat jelas bahwa yang menjadi Keuangan Negara dalam Perusahaan Perseroan adalah saham milik Negara di Persero.

“Kerugian Negara di Persero berarti hilangnya saham milik Negara pada Persero. Sementara harta kekayaan Persero bukanlah Keuangan Negara. Dengan berkurangnya kekayaan Persero tidak menyebabkan berkurangnya saham Negara, sehingga dalam perkara PLN tidak ada kerugian negara yang muncul,” tutur Gunawan.

Gunawan menegaskan, putusan MK Nomor 77/PUU-X/2011 menegaskan bahwa piutang Persero BUMN bukanlah piutang negara. “Hal ini berarti memastikan bahwa kekayaan negara di Persero hanya sebatas saham saja. Dengan demikian kerugian Persero bukan kerugian Negara,” tutur Gunawan. (bay/bd)

Foto: Gatha Ginting/PM Tiga mantan bos PT. PLN Pusat, masing-masing Chris Leo Manggala, mantan GM) PLN, Surya Dharma Sinaga selaku Ketua Panitia Lelang, dan Muhammad Ali, menjalani sidang perdana di Pengadilan Tipikor Medan, Rabu (21/5) lalu.
Foto: Gatha Ginting/PM
Tiga mantan bos PT. PLN Pusat, masing-masing Chris Leo Manggala, mantan GM) PLN, Surya Dharma Sinaga selaku Ketua Panitia Lelang, dan Muhammad Ali, menjalani sidang perdana di Pengadilan Tipikor Medan, Rabu (21/5) lalu.

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Sidang dugaan korupsi proyek peremajaan Life Time Extension (LTE) Gas Turbine (GT) 2.1 dan GT 2.2 PLTGU Blok II Belawan, kembali digelar di ruang Utama Pengadilan Tipikor Medan, Selasa (9/9) pagi.

Mantan Deputi Kepala Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Bidang Pengawasan Pengeluaran Pusat dan Daerah, Dani Sudarsono, dihadirkan sebagai saksi ahli.

Dani dihadirkan sebagai saksi yang meringankan atau A de Charge untuk mantan General Manager PT PLN Pembangkit Sumatera Bagian Utara (Kitsbu) Chris Leo Manggala, Manager Sektor Labuan Angin, Surya Dharma Sinaga, pegawai PT PLN Kitsbu Muhammad Ali, Dirut PT Nusantara Turbin & Propulsi (NTP) Supra Dekanto dan Rody Cahyawan selaku mantan Manager Pembangkit PLN Sektor Belawan.

Dalam kesaksiannya, Dani menjelaskan dalam perkara ini, BPKP tidak berwenang melakukan pemeriksaan untuk menghitung kerugian negara. Hal itu, kata saksi, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 15/2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan Dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.

“Jadi, berdasarkan Undang-undang ini, BPKP tidak berwenang melakukan pemeriksaan untuk menghitung kerugian negara,” kata Dani, dihadapan majelis hakim yang diketuai SB Hutagalung, SH.

Dani menyatakan, sesuai dengan Pasal 13 jo Pasal 1 angka 3 UU Nomor 15/2004, yang mempunyai kewenangan untuk mengungkap indikasi adanya kerugian negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI.

“Saat ini saya tidak menjumpai adanya peraturan perundang-undangan yang memberikan kewenangan BPKP untuk melakukan pemeriksaan atas BUMN,” kata Dani.

Ketua Majelis Kehormatan Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) itu memaparkan, BPKP memang pernah memiliki kewenangan untuk menghitung kerugian negara. Landasan Hukum yang memberikan kewenangan BPKP untuk dapat melakukan pemeriksaan adalah Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 31/1983 mengenai Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan. Dimana berdasarkan Pasal 3 huruf J, L, N, O dan khususnya Pasal 22 sampai dengan pasal 24 dari Keppres No. 31/1983, memberikan kewenangan kepada BPKP untuk melakukan pemeriksaan.

Namun, kata saksi, perlu diketahui, Keppres Nomor 31/1983 pada saat ini sudah tidak berlaku lagi, tepatnya sejak tanggal 27 Maret 2001 dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 42/2001.

“Jadi, setelah dikeluarkannya baru ini, BPKP tidak lagi mempunyai kewenangan secara hukum atas kegiatan pemeriksaan,” kata Dani.

Menurut Dani, sesuai Undang-Undang Nomor 15/2004 Pasal 13, pemeriksa BPK dapat melaksanakan pemeriksaan investigatif guna mengungkap adanya indikasi kerugian negara/daerah dan/atau unsur pidana. Pemeriksaan investigatif adalah bagian dari jenis pemeriksaan dengan tujuan tertentu.

Pemeriksaan investigatif dilakukan dengan cara yang sangat cermat, bukti yang diperoleh harus kuat dengan derajat keyakinan yang tinggi, harus meminta tanggapan dari yang diperiksa dan memasukkannya dalam laporan hasil pemeriksaan.

Bila pemeriksaan investigatif tidak dilakukan berdasarkan sesuai aturan yang disyaratkan, kata Dani, laporan yang dihasilkan akan berkualitas rendah karena dihasilkan dari proses yang dibawah standar (sub standard) yang kualitasnya dipertanyakan.

Dalam perkara PLTGU Belawan ini, menurut Dani, perhitungan kerugian negara yang dilakukan BPKP bukanlah audit investigasi alias tidak menjalankan standar audit. Sehingga kesimpulan adanya kerugian negara akan menyesatkan karena tidak memuat informasi yang seharusnya.

Saksi lainnya, Ahli Hukum Korporasi, Dr Gunawan Widjaja, dalam kesaksiannya menyatakan, perkara PLTGU, tidak ada kerugian negara yang muncul.

Sebab, anggaran yang digunakan adalah anggaran internal PLN. Hal itu merujuk pada UU No.19/2003 tentang BUMN, UU No.17/2003 tentang Keuangan Negara, Peraturan Pemerintah No.12/1998, serta Putusan MK Nomor 77/PUU-X/2011, sudah sangat jelas bahwa yang menjadi Keuangan Negara dalam Perusahaan Perseroan adalah saham milik Negara di Persero.

“Kerugian Negara di Persero berarti hilangnya saham milik Negara pada Persero. Sementara harta kekayaan Persero bukanlah Keuangan Negara. Dengan berkurangnya kekayaan Persero tidak menyebabkan berkurangnya saham Negara, sehingga dalam perkara PLN tidak ada kerugian negara yang muncul,” tutur Gunawan.

Gunawan menegaskan, putusan MK Nomor 77/PUU-X/2011 menegaskan bahwa piutang Persero BUMN bukanlah piutang negara. “Hal ini berarti memastikan bahwa kekayaan negara di Persero hanya sebatas saham saja. Dengan demikian kerugian Persero bukan kerugian Negara,” tutur Gunawan. (bay/bd)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/