31.8 C
Medan
Sunday, May 5, 2024

Perkara Perdagangan Satwa Dilindungi, LBH Medan Nilai Sidang Tidak Profesional dan Transparan

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Tim Pemantau Sidang Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan, menilai persidangan kasus perdagangan satwa dilindungi berupa Orangutan Sumatra, dinilai tidak dilaksanakan dengan profesional dan transparan.

Hal tersebut disampaikan Alinafiah Matondang, yang memantau jalannya proses persidangan perdagangan satwa dilindungi yang menjerat terdakwa Thomas. “Sejak pertama kali disidangkan pada 15 Agustus 2022 hingga saat ini pada agenda keterangan saksi dan keterangan ahli, persidangan dinilai tidak dilaksanakan dengan profesional dan transparan,” kata dia belum lama ini.

Penilaian tersebut, kata dia, didapatkan melalui dua kali penundaan sidang yang dirasa janggal dengan agenda sidang keterangan saksi dan keterangan ahli pada 5 September, dengan saksi a charge sebanyak 4 orang dan seorang saksi ahli.

“Pada saat persidangan tersebut kembali didapati kejanggalan dalam proses penundaan persidangan oleh majelis hakim, hal tersebut disebabkan JPU yang menangani hanya menjelaskan alasan ketidakhadiran dari saksi ahli melalui surat resmi kepada majelis hakim,” terangnya.

Tetapi, pada sidang tersebut, JPU malah tidak menyinggung konfirmasi ketidakhadiran keempat orang saksi lainnya yang diduga memiliki keterlibatan langsung atas dugaan tindak pidana pemilikan dan perdagangan satwa liar dilindungi itu.

“Hal ini menjadi pertanyaan besar bagi LBH Medan pada seluruh perangkat persidangan khususnya JPU Eva Christine yang tidak mampu menghadirkan ke 4 orang saksi tersebut atau diduga sengaja tidak menghadirkan ke 4 orang saksi tersebut,” ujarnya.

Ia mengatakan, ketidakmampuan JPU menghadirkan para saksi di persidangan, akan menimbulkan persepsi negatif dari masyarakat khususnya pegiat satwa dilindungi di Sumatera Utara. “Mengingat adanya dugaan keterlibatan terdakwa ini dalam kasus perdagangan orangutan (Pongo abelli) di Binjai dengan terpidana Eddy Alamsyah Putra yang diduga secara bersama-sama terdakwa diduga terlibat jaringan perdagangan satwa itu,” jelasnya.

Tak hanya itu, ia juga menyebut, pada saat tim pemantau sidang dari LBH Medan meminta izin kepada hakim ketua untuk mengambil foto dan video pada saat proses persidangan berlangsung, hakim awalnya memberikan izin kepada tim pemantau sidang dari LBH Medan. “Namun ternyata dihalangi oleh JPU Eva Christine dengan melakukan intervensi menolak izin tersebut kepada hakim melalui kedipan mata kepada hakim dengan alasan kekhawatiran LBH Medan akan menyalahgunakan foto dan video yang akan diambil oleh LBH Medan, yang pada akhirnya hakim menyatakan, hanya boleh mengambil foto,” jelasnya.

Hal tersebut, lanjutnya, sangat disayangkan oleh LBH Medan, di mana hakim ketua dapat mengubah kebijakannya secara seketika hanya berdasarkan alasan JPU kepada LBH Medan dalam menggunakan hak dalam berpartisipasi dalam pencegahan kerusakan lingkungan hidup dan mengawal proses peradilan yang adil dan transparan tanpa ada intervensi dari pihak manapun yang akan mempengaruhi putusan hakim termasuk JPU sendiri.

Tindakan tersebut, kata dia, dapat diklasifikasi adanya dugaan pelanggaran ketentuan Pasal 30C Huruf C UU No 11 Tahun 2021 Tentang Perubahan Atas UU No 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia, pasal 160 Ayat (1) Huruf C KUHAP serta Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim dalam hal Bersikap Mandiri, Berintegritas Tinggi serta Menjunjung Tinggi Harga Diri. (man/azw)

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Tim Pemantau Sidang Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan, menilai persidangan kasus perdagangan satwa dilindungi berupa Orangutan Sumatra, dinilai tidak dilaksanakan dengan profesional dan transparan.

Hal tersebut disampaikan Alinafiah Matondang, yang memantau jalannya proses persidangan perdagangan satwa dilindungi yang menjerat terdakwa Thomas. “Sejak pertama kali disidangkan pada 15 Agustus 2022 hingga saat ini pada agenda keterangan saksi dan keterangan ahli, persidangan dinilai tidak dilaksanakan dengan profesional dan transparan,” kata dia belum lama ini.

Penilaian tersebut, kata dia, didapatkan melalui dua kali penundaan sidang yang dirasa janggal dengan agenda sidang keterangan saksi dan keterangan ahli pada 5 September, dengan saksi a charge sebanyak 4 orang dan seorang saksi ahli.

“Pada saat persidangan tersebut kembali didapati kejanggalan dalam proses penundaan persidangan oleh majelis hakim, hal tersebut disebabkan JPU yang menangani hanya menjelaskan alasan ketidakhadiran dari saksi ahli melalui surat resmi kepada majelis hakim,” terangnya.

Tetapi, pada sidang tersebut, JPU malah tidak menyinggung konfirmasi ketidakhadiran keempat orang saksi lainnya yang diduga memiliki keterlibatan langsung atas dugaan tindak pidana pemilikan dan perdagangan satwa liar dilindungi itu.

“Hal ini menjadi pertanyaan besar bagi LBH Medan pada seluruh perangkat persidangan khususnya JPU Eva Christine yang tidak mampu menghadirkan ke 4 orang saksi tersebut atau diduga sengaja tidak menghadirkan ke 4 orang saksi tersebut,” ujarnya.

Ia mengatakan, ketidakmampuan JPU menghadirkan para saksi di persidangan, akan menimbulkan persepsi negatif dari masyarakat khususnya pegiat satwa dilindungi di Sumatera Utara. “Mengingat adanya dugaan keterlibatan terdakwa ini dalam kasus perdagangan orangutan (Pongo abelli) di Binjai dengan terpidana Eddy Alamsyah Putra yang diduga secara bersama-sama terdakwa diduga terlibat jaringan perdagangan satwa itu,” jelasnya.

Tak hanya itu, ia juga menyebut, pada saat tim pemantau sidang dari LBH Medan meminta izin kepada hakim ketua untuk mengambil foto dan video pada saat proses persidangan berlangsung, hakim awalnya memberikan izin kepada tim pemantau sidang dari LBH Medan. “Namun ternyata dihalangi oleh JPU Eva Christine dengan melakukan intervensi menolak izin tersebut kepada hakim melalui kedipan mata kepada hakim dengan alasan kekhawatiran LBH Medan akan menyalahgunakan foto dan video yang akan diambil oleh LBH Medan, yang pada akhirnya hakim menyatakan, hanya boleh mengambil foto,” jelasnya.

Hal tersebut, lanjutnya, sangat disayangkan oleh LBH Medan, di mana hakim ketua dapat mengubah kebijakannya secara seketika hanya berdasarkan alasan JPU kepada LBH Medan dalam menggunakan hak dalam berpartisipasi dalam pencegahan kerusakan lingkungan hidup dan mengawal proses peradilan yang adil dan transparan tanpa ada intervensi dari pihak manapun yang akan mempengaruhi putusan hakim termasuk JPU sendiri.

Tindakan tersebut, kata dia, dapat diklasifikasi adanya dugaan pelanggaran ketentuan Pasal 30C Huruf C UU No 11 Tahun 2021 Tentang Perubahan Atas UU No 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia, pasal 160 Ayat (1) Huruf C KUHAP serta Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim dalam hal Bersikap Mandiri, Berintegritas Tinggi serta Menjunjung Tinggi Harga Diri. (man/azw)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/