29 C
Medan
Monday, November 25, 2024
spot_img

Dirut Atakana Abdul Karim Resmi jadi DPO

Pada 12 Agustus 2010, PT Balai Lelang Star mengirimkan surat jadwal pelelangan kebun kelapa sawit milik PT Atakana Company. Ini lantaran perusahaan tersebut mempunyai kredit macet tingkat kolektibilitas 5 di Bank BNI 46 Medan.

PT Atakana Company selanjutnya mengirimkan surat ke BNI untuk memohon pembatalan lelang, dengan alasan akan menjual sendiri kebunnya. Perusahaan itu menyebut Boy Hermansyah sebagai pengusaha yang menunjukkan minat serius membeli.

AKA kemudian terus membujuk Boy agar mau membeli kebun sawit seluas 3.455 hektar di Desa Brandang, Kecamatan Rantau Peureulak, Kabupaten Aceh Timur, NAD, itu dengan harga Rp 115 miliar. Setelah tiga kali menolak, Boy akhirnya bersedia membeli. Boy membayar uang muka dengan uang sendiri sebesar Rp34 miliar.

Guna melunasi pembayaran, Boy selaku Direktur PT. Bahari Dwi Kencana Lestasi (PT. BDKL), mengajukan permohonan kredit pada BNI Medan. Pihak bank menyetujui fasilitas kredit kepada PT. BDKL sebesar Rp129 miliar, dengan agunan sembilan aset bernilai total Rp300 miliar, termasuk sertifikat HGU Nomor 102/18 Juni 1996 atas kebun sawit seluas 3.455 yang dibelinya dari PT. Atakana Company.

Berdasarkan persetujuan ini, kredit macet PT. Atakana Company di BNI Medan sebesar Rp61 miliar dibayar lunas melalui pola auto debet.

Dengan pelunasan kredit macet plus uang muka, Boy sudah membayar pembelian Rp103 miliar. Sisa Rp 12 miliar, sesuai kesepakatan akan diselesaikan setelah terjadi balik nama sertifikat HGU kebun sawit dari atas nama PT. Atakana Company menjadi PT. BDKL. Akuisisi kebun itu disetujui seluruh pemegang saham PT. Atakana Company. Proses akuisisi tersebut juga dicatat dalam akta Nomor 3 dan akta Nomor 14 yang dibuat notaris Diana Uli pada 16 November 2010.

Saat Boy mengurus proses balik nama sertifikat HGU kebun sawit yang dibelinya, AKA justru membuat surat pemblokiran. Surat yang dikirim ke Badan Pertanahan Nasional (BPN) itu dibuat resmi berkop PT. Atakana Company, dengan Nomor: 017/III/ATAKANA/2011 tanggal 1 Maret 2011, yang ditandatangani sendiri oleh AKA.

Tak hanya itu, AKA juga membuat laporan ke Polda Aceh dan Polda Sumut, yang intinya tidak mengakui adanya proses jual beli atas kebun sawit tersebut. Motifnya tak lain untuk merebut kembali kebun sawit dari tangan Boy Hermansyah.

Waktu terus berjalan, de facto kebun sawit pun benar-benar dikuasai kembali oleh AKA. Di sisi lain, kasus jual-beli ini menggelinding dan membesar bak bola salju. Perikatan kredit antara PT. BDKL dan BNI 46 Medan pun berubah menjadi kasus kredit fiktif senilai Rp129 miliar.

Kuasa Hukum PT. BDKL Ramli Tarigan, SH. mengatakan pihaknya sangat berharap polisi dapat segera menangkap AKA. Sebab, AKA merupakan oknum yang paling bertanggungjawab atas kisruh hukum dari perikatan kredit PT. BDKL dengan BNI 46. “Dengan ditangkapnya AKA, dapat dipastikan persoalan jadi terang secara hukum, bahwa yang dilakukan oleh PT. BDKL adalah akuisisi perusahaan dan pengajuan kredit yang lazim di dunia bisnis,” ujar Ramli saat dimintai tanggapan terkait buronnya AKA, Minggu (22/5). (gib/deo)

Pada 12 Agustus 2010, PT Balai Lelang Star mengirimkan surat jadwal pelelangan kebun kelapa sawit milik PT Atakana Company. Ini lantaran perusahaan tersebut mempunyai kredit macet tingkat kolektibilitas 5 di Bank BNI 46 Medan.

PT Atakana Company selanjutnya mengirimkan surat ke BNI untuk memohon pembatalan lelang, dengan alasan akan menjual sendiri kebunnya. Perusahaan itu menyebut Boy Hermansyah sebagai pengusaha yang menunjukkan minat serius membeli.

AKA kemudian terus membujuk Boy agar mau membeli kebun sawit seluas 3.455 hektar di Desa Brandang, Kecamatan Rantau Peureulak, Kabupaten Aceh Timur, NAD, itu dengan harga Rp 115 miliar. Setelah tiga kali menolak, Boy akhirnya bersedia membeli. Boy membayar uang muka dengan uang sendiri sebesar Rp34 miliar.

Guna melunasi pembayaran, Boy selaku Direktur PT. Bahari Dwi Kencana Lestasi (PT. BDKL), mengajukan permohonan kredit pada BNI Medan. Pihak bank menyetujui fasilitas kredit kepada PT. BDKL sebesar Rp129 miliar, dengan agunan sembilan aset bernilai total Rp300 miliar, termasuk sertifikat HGU Nomor 102/18 Juni 1996 atas kebun sawit seluas 3.455 yang dibelinya dari PT. Atakana Company.

Berdasarkan persetujuan ini, kredit macet PT. Atakana Company di BNI Medan sebesar Rp61 miliar dibayar lunas melalui pola auto debet.

Dengan pelunasan kredit macet plus uang muka, Boy sudah membayar pembelian Rp103 miliar. Sisa Rp 12 miliar, sesuai kesepakatan akan diselesaikan setelah terjadi balik nama sertifikat HGU kebun sawit dari atas nama PT. Atakana Company menjadi PT. BDKL. Akuisisi kebun itu disetujui seluruh pemegang saham PT. Atakana Company. Proses akuisisi tersebut juga dicatat dalam akta Nomor 3 dan akta Nomor 14 yang dibuat notaris Diana Uli pada 16 November 2010.

Saat Boy mengurus proses balik nama sertifikat HGU kebun sawit yang dibelinya, AKA justru membuat surat pemblokiran. Surat yang dikirim ke Badan Pertanahan Nasional (BPN) itu dibuat resmi berkop PT. Atakana Company, dengan Nomor: 017/III/ATAKANA/2011 tanggal 1 Maret 2011, yang ditandatangani sendiri oleh AKA.

Tak hanya itu, AKA juga membuat laporan ke Polda Aceh dan Polda Sumut, yang intinya tidak mengakui adanya proses jual beli atas kebun sawit tersebut. Motifnya tak lain untuk merebut kembali kebun sawit dari tangan Boy Hermansyah.

Waktu terus berjalan, de facto kebun sawit pun benar-benar dikuasai kembali oleh AKA. Di sisi lain, kasus jual-beli ini menggelinding dan membesar bak bola salju. Perikatan kredit antara PT. BDKL dan BNI 46 Medan pun berubah menjadi kasus kredit fiktif senilai Rp129 miliar.

Kuasa Hukum PT. BDKL Ramli Tarigan, SH. mengatakan pihaknya sangat berharap polisi dapat segera menangkap AKA. Sebab, AKA merupakan oknum yang paling bertanggungjawab atas kisruh hukum dari perikatan kredit PT. BDKL dengan BNI 46. “Dengan ditangkapnya AKA, dapat dipastikan persoalan jadi terang secara hukum, bahwa yang dilakukan oleh PT. BDKL adalah akuisisi perusahaan dan pengajuan kredit yang lazim di dunia bisnis,” ujar Ramli saat dimintai tanggapan terkait buronnya AKA, Minggu (22/5). (gib/deo)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/