Untuk kasus yang terjadi sebelum 25 Mei, digunakan UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan pertama UU Perlindungan Anak. UU tersebut mengatur pidana maksimal penjara 15 tahun dan denda maksimal Rp5 miliar.
Dalam UU tersebut sebenarnya sudah ada pemberatan hukuman dengan menambah sepertiga dari ancaman hukuman yang ada. Namun, itu hanya berlaku bagi pelaku tertentu. Di antaranya, orang tua, wali, pengasuh anak, pendidik, dan tenaga kependidikan.
Sementara itu, dalam Perppu kali ini, hukuman tambahan berupa kebiri kimia dan pemasangan alat deteksi elektronik tidak bisa dilakukan kepada semua pelaku. Hanya pelaku dengan klasifikasi tertentu saja yang boleh dikebiri dan dipasangi alat. Pertama adalah pelaku yang berstatus residivis pemerkosa dan pencabulan anak.
Kedua, melihat kondisi korban pascakejadian perkosaan. Di antaranya, korban lebih dari satu, mengalami luka berat, gangguan jiwa, terkena penyakit menular, fungsi reproduksinya terganggu atau hilang, atau korban meninggal dunia. Apabila satu saja dari kondisi tersebut terjadi pada korban, siapapun pelakunya bisa dikebiri dan dipasangi alat deteksi.
Bagaimanapun, kebiri merupakan hukuman tambahan. Hukuman pokoknya tetap pidana mati. Apabila korban mengalami salah satu dari keenam kondisi tersebut, hakim bisa menjatuhkan hukuman mati. Siapapun pelakunya, asalkan orang dewasa. Sebab, pelaku yang berstatus anak-anak terikat UU Peradilan anak.
Itu artinya, apabila kasus seperti yang terjadi di Bengkulu dan Kediri terulang lagi, pelaku harus bersiap menghadapi regu tembak. Apabila lolos dan hanya dihukum seumur hidup atau 20 tahun, bisa diberi hukuman tambahan. Dapat berupa kebiri kimia atau pemasangan alat pendeteksi elektronik, atau keduanya sekaligus. Identitasnya sebagai penjahat kelamin juga akan dipublikasikan.
Sebagaimana diberitakan, Presiden Joko Widodo menandatangani Perppu nomor 1 Tahun 2016 Tentang perubahan kedua atas UU Perlindungan Anak. Dalam perppu tersebut diatur pemberatan hukuman berupa hukuman mati, penjara seumur hidup, dan maksimal 20 tahun penjara. Juga, mengatur hukuman tambahan masing-masing publikasi identitas pelaku, kebiri kimia, dan pemasangan alat deteksi elektronik.
Sementara, menanggapi kemungkinan dokter kepolisian yang diminta untuk melakukan eksekusi kebiri, Kadivhumas Mabes Polri Boy Rafli Amar menjelaskan bahwa Polri selalu siap untuk membantu negara terutama dalam proses penegakan hukum. ”Kalau memang diminta doker kepolisian, tentu bisa saja,” ujarnya.
Namun, tentunya harus sesuai dengan proses atau mekanisme hukum. Seharusnya, Kejaksaan Agung (Kejagung) nanti yang berperan sebagai eksekutor hukuman meminta bantuan Polri. ”Yang utama, nanti hakim juga menentukan apakah memang butuh hukuman tambahan atau tidak,” paparnya.
Dalam perppu tersebut disebutkan hukuman kebiri hanya dilakukan selama dua tahun, bisa jadi muncul kemungkinan tervonis kebiri mengalami keadaan impoten secara permanent. Terkait kemungkinan tersebut Kepala Pusat Kedokteran dan Kesehatan (Kapusdokkes) Brigjen Artur Tampi menjelaskan bahwa tentunya semua itu harusnya sudah diatur dalam undang-undang atau peraturan pemerintah yang ada. ”Kami siap untuk membantu,” ujarnya.
Begitu juga dengan kemungkinan munculnya gugatan terhadap adanya dampak kesehatan berupa impoten permanen tersebut, dia menuturkan bahwa pemerintah tentunya akan berupaya mengantisipasi hal tersebut. ”Semua berdasar pada prosedur hukum yang telah ditentukan,” terangnya.(jpg/adz)