25 C
Medan
Saturday, June 29, 2024

Memetamorfosiskan Tip Top Restaurant

Didrikus Kelana

Keberanian Didrikus Kelana (40) bereksperimen ternyata mampu membawa Tip Top Restaurant melalui dua masa krisis. Beberapa terobosan yang dilakukan bahkan membuat restauran legendaris Kota Medan ini menjadi tongkrongan remaja.

Ya, rasanya tidak ada yang tak mengenal Tip Top Restaurant di Jalan Ahmad Yani (dulu Kesawan) No 92 Medan ini. Pada awal berdirinya tahun 1929, resto ini bernama Jangkie. Letaknya masih di Jalan Pandu Medan. Nama Jangkie diambil dari nama pemiliknya Jangkie Yap. Saat itu, restoran ini hanya menjual roti dan kue hasil olahan sendiri. Namun, semakin lama, usahanya makin berkembang dan lima tahun kemudian akhirnya bisa menyewa tempat di Jalan Ahmad Yani. Bersamaan dengan itu, nama Jangkie pun diganti menjadi Tip-Top, yang artinya prima atau sempurna.  Namun di tahun 1942 semasa pendudukan tentara Jepang sebutan Tip Top kembali diganti Jangkie, lantaran dianggap berbau Belanda. Baru setelah Jepang hengkang, resto ini kembali memakai nama Tip Top.
Kini Tip Top tetap menawarkan es krim dan roti dengan cita rasa khas zaman dulu sebagai menu andalan, tentunya selain menu Western, Asia, dan Indonesia yang memikat selera selama 82 tahun kehadirannya. Eksistensi tersebut tak lepas dari Didrikus Kelana yang melakukan beberapa terobosan.

Didrikus adalah anak dari Freddy Kelana, sang pewaris sekaligus pengelola restoran ini. Didrikus  merupakan generasi keempat dinasti Tip-Top. Ditemui beberapa waktu lalu Didrikus yang mengenakan kemeja dan celana jeans tampak begitu tenang. Butiran peluh di wajah karena aktivitas yang dilakukan di bagian dapur tidak menghalangi cerita dan strategi dalam menjaga tradisi yang sudah ada sebelumnya.

“Kemajuan zaman dan tuntutan pembangunan memang menjadi tantangan tersendiri. Untuk itu kita tidak boleh menyerah tapi terus berbuat. Kuncinya jangan takut untuk berekspresi selagi itu diyakini membawa dampak positif terhadap bidang yang digeluti,” tutur Didrikus kepada Sumut Pos.

Dengan prinsip itu tadi alumnus Teknik Sipil Universitas Parahyangan ini pun melakukan beberapa sentuhan di beberapa bagian restauran. Dimulai dari penataan cahaya di ruang tengah yang awalnya putih cerah, diganti dengan lampu berwarna kekuningan dan sedikit temaram. Foto-foto mengenai Tip Top Restaurant sejak bernama Jangkie di Jalan Pandu dan ornamen-ornamen antik seperti mesin kasir dipajang dengan penataan sedemikian rupa.
Begitupun, penambahan ruangan tertutup di bagian belakang tidak memperlihatkan sedikit pun perubahan pada dinding bangunan. Seperti terlihat di foto buatan 1930-an yang dipajang, tampilan bangunan dua lantai itu hanya memperlihatkan perubahan di jumlah tiang penyangga bagian depan. Dari yang dulunya terdapat tiga tiang hanya menyisakan satu tiang.

“Ada beberapa costumer kita yang datang kemari membawa anggota keluarganya untuk bernostalgia. Seperti ada cerita indah yang ingin dikenang. Hal itu juga yang membuat saya tetap mempertahankan kesederhanaan suasana tempo dulu tadi. Dari beberapa yang saya lihat, kemewahan justru menghapus suasana-suasana klasik yang mungkin jadi daya tarik,” jelasnya.

Sebagai restauran dan bakery shop, Didrikus menyadari juga pentingnya kualitas dan cita rasa di setiap produk yang ditawarkan. Untuk itu suami dari Christine ini pun terjun langsung ke bagian pengelolaan. Belajar langsung dengan sang pakar mengenai komposisi adonan dari masing-masing menu yang ada sekaligus mempraktikkannya. Dirinya bahkan merenovasi sistem pembakaran yang menggunakan tungku kayu bakar. Begitu juga mencari alternatif lain perawatan mesin pengolahan ice cream yang merupakan generasi pertama.

“Saya berpikir kalau beberapa pengunjung mungkin ingin melihat peralatan yang kita gunakan karena terbilang langka. Jadi saya bersihkan dan perbaiki tungku pembakaran agar lebih layak dilihat. Untuk mesin pembuatan es krim saya cari teknisi yang bisa membuat sparepart karena memang tidak diproduksi lagi,” tambah Didrikus yang mengajak Sumut Pos menyaksikan proses pembuatan dan peralatan yang digunakan di bahagian dapur.
Didrikus lalu mengaktifkan kembali hiburan berupa live music di ruang tengah dengan menyiapkan stand mini di sudut rangan. Lagu-lagu berirama Batak, pop, dan Latin pun siap menghibur pengunjung setiap Rabu, Sabtu, dan Minggu dari pukul 20.00 WIB-23.00 WIB. Hasilnya, Tip Top Restaurant yang dulu tongkrongan keluarga dan orang tua pun bermetamorfosa menjadi favorit remaja Kota Medan.

Didrikus sendiri mengawali perannya sebagai manajer Tip Top Restaurant dengan tanggung jawab yang besar. Pasalnya dampak dari krisis 1998 membuat kunjungan wisatawan mancanegara sepi. Sebelum krisis, turis asal Belanda dan China adalah pengunjung tetap tiap Kamis. Namun ayah dari Patrick (13) dan Reinard (11) ini tak gentar dengan tantangan tadi. Bisnis agricultur yang dirintis 1994 dengan prospek menjanjikan pun ditinggalkan demi mempertahankan garis leluhur. Perubahan kecil yang dilakukan membawa Tip Top Restaurant kembali melewati krisis yang terjadi di 2010 lalu. (jul)

Didrikus Kelana

Keberanian Didrikus Kelana (40) bereksperimen ternyata mampu membawa Tip Top Restaurant melalui dua masa krisis. Beberapa terobosan yang dilakukan bahkan membuat restauran legendaris Kota Medan ini menjadi tongkrongan remaja.

Ya, rasanya tidak ada yang tak mengenal Tip Top Restaurant di Jalan Ahmad Yani (dulu Kesawan) No 92 Medan ini. Pada awal berdirinya tahun 1929, resto ini bernama Jangkie. Letaknya masih di Jalan Pandu Medan. Nama Jangkie diambil dari nama pemiliknya Jangkie Yap. Saat itu, restoran ini hanya menjual roti dan kue hasil olahan sendiri. Namun, semakin lama, usahanya makin berkembang dan lima tahun kemudian akhirnya bisa menyewa tempat di Jalan Ahmad Yani. Bersamaan dengan itu, nama Jangkie pun diganti menjadi Tip-Top, yang artinya prima atau sempurna.  Namun di tahun 1942 semasa pendudukan tentara Jepang sebutan Tip Top kembali diganti Jangkie, lantaran dianggap berbau Belanda. Baru setelah Jepang hengkang, resto ini kembali memakai nama Tip Top.
Kini Tip Top tetap menawarkan es krim dan roti dengan cita rasa khas zaman dulu sebagai menu andalan, tentunya selain menu Western, Asia, dan Indonesia yang memikat selera selama 82 tahun kehadirannya. Eksistensi tersebut tak lepas dari Didrikus Kelana yang melakukan beberapa terobosan.

Didrikus adalah anak dari Freddy Kelana, sang pewaris sekaligus pengelola restoran ini. Didrikus  merupakan generasi keempat dinasti Tip-Top. Ditemui beberapa waktu lalu Didrikus yang mengenakan kemeja dan celana jeans tampak begitu tenang. Butiran peluh di wajah karena aktivitas yang dilakukan di bagian dapur tidak menghalangi cerita dan strategi dalam menjaga tradisi yang sudah ada sebelumnya.

“Kemajuan zaman dan tuntutan pembangunan memang menjadi tantangan tersendiri. Untuk itu kita tidak boleh menyerah tapi terus berbuat. Kuncinya jangan takut untuk berekspresi selagi itu diyakini membawa dampak positif terhadap bidang yang digeluti,” tutur Didrikus kepada Sumut Pos.

Dengan prinsip itu tadi alumnus Teknik Sipil Universitas Parahyangan ini pun melakukan beberapa sentuhan di beberapa bagian restauran. Dimulai dari penataan cahaya di ruang tengah yang awalnya putih cerah, diganti dengan lampu berwarna kekuningan dan sedikit temaram. Foto-foto mengenai Tip Top Restaurant sejak bernama Jangkie di Jalan Pandu dan ornamen-ornamen antik seperti mesin kasir dipajang dengan penataan sedemikian rupa.
Begitupun, penambahan ruangan tertutup di bagian belakang tidak memperlihatkan sedikit pun perubahan pada dinding bangunan. Seperti terlihat di foto buatan 1930-an yang dipajang, tampilan bangunan dua lantai itu hanya memperlihatkan perubahan di jumlah tiang penyangga bagian depan. Dari yang dulunya terdapat tiga tiang hanya menyisakan satu tiang.

“Ada beberapa costumer kita yang datang kemari membawa anggota keluarganya untuk bernostalgia. Seperti ada cerita indah yang ingin dikenang. Hal itu juga yang membuat saya tetap mempertahankan kesederhanaan suasana tempo dulu tadi. Dari beberapa yang saya lihat, kemewahan justru menghapus suasana-suasana klasik yang mungkin jadi daya tarik,” jelasnya.

Sebagai restauran dan bakery shop, Didrikus menyadari juga pentingnya kualitas dan cita rasa di setiap produk yang ditawarkan. Untuk itu suami dari Christine ini pun terjun langsung ke bagian pengelolaan. Belajar langsung dengan sang pakar mengenai komposisi adonan dari masing-masing menu yang ada sekaligus mempraktikkannya. Dirinya bahkan merenovasi sistem pembakaran yang menggunakan tungku kayu bakar. Begitu juga mencari alternatif lain perawatan mesin pengolahan ice cream yang merupakan generasi pertama.

“Saya berpikir kalau beberapa pengunjung mungkin ingin melihat peralatan yang kita gunakan karena terbilang langka. Jadi saya bersihkan dan perbaiki tungku pembakaran agar lebih layak dilihat. Untuk mesin pembuatan es krim saya cari teknisi yang bisa membuat sparepart karena memang tidak diproduksi lagi,” tambah Didrikus yang mengajak Sumut Pos menyaksikan proses pembuatan dan peralatan yang digunakan di bahagian dapur.
Didrikus lalu mengaktifkan kembali hiburan berupa live music di ruang tengah dengan menyiapkan stand mini di sudut rangan. Lagu-lagu berirama Batak, pop, dan Latin pun siap menghibur pengunjung setiap Rabu, Sabtu, dan Minggu dari pukul 20.00 WIB-23.00 WIB. Hasilnya, Tip Top Restaurant yang dulu tongkrongan keluarga dan orang tua pun bermetamorfosa menjadi favorit remaja Kota Medan.

Didrikus sendiri mengawali perannya sebagai manajer Tip Top Restaurant dengan tanggung jawab yang besar. Pasalnya dampak dari krisis 1998 membuat kunjungan wisatawan mancanegara sepi. Sebelum krisis, turis asal Belanda dan China adalah pengunjung tetap tiap Kamis. Namun ayah dari Patrick (13) dan Reinard (11) ini tak gentar dengan tantangan tadi. Bisnis agricultur yang dirintis 1994 dengan prospek menjanjikan pun ditinggalkan demi mempertahankan garis leluhur. Perubahan kecil yang dilakukan membawa Tip Top Restaurant kembali melewati krisis yang terjadi di 2010 lalu. (jul)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/