27.8 C
Medan
Tuesday, April 30, 2024

Serasa Sudah Menjadi Rusia

Peta Crimea dan Rusia.
Peta Crimea dan Rusia.

CRIMEA, SUMUTPOS.CO – Nasib Crimea ditentukan kemarin (16/3). Sekitar 1,5 juta penduduk yang memiliki hak pilih datang ke tempat-tempat pemungutan suara. Mereka memberikan hak pilihnya. Yakni, setuju untuk tetap bersama Ukraina ataukah menggandeng Rusia.

Meski penghitungan suara belum selesai dilaksanakan, wilayah di semenanjung Laut Hitam itu sangat mungkin bakal menjadi milik Rusia. Sebab, mayoritas warga Crimea adalah etnis Rusia. Sudah lama mereka menginginkan untuk kembali ke pelukan Si Beruang Merah.

Tempat-tempat pemungutan suara dibuka pada pukul 08.00-20.00. Hasil hitung cepat dari pemungutan suara tersebut dikeluarkan kemarin malam. Namun, hasil total dari pemungutan suara itu baru keluar dalam satu dua hari nanti.

Meski hasil akhir belum dirilis, suasana pendudukan Rusia terasa sejak kemarin. Ribuan tentara Rusia berjaga di Crimea. Tidak cukup sampai di situ, di Sevastopol, bendera-bendera Rusia sudah dibagikan di jalan-jalan. Anak-anak yang ikut orang tuanya memilih di tempat pemungutan suara membawa bendera Rusia. Mobil-mobil yang berlalu-lalang juga menyematkan bendera Rusia dengan ukuran kecil.

Perdana Menteri Crimea Sergei Aksyonov membantah bahwa pria bersenjata yang bertebaran di mana-mana tersebut merupakan tentara Rusia. Menurut dia, mereka adalah kelompok pertahanan yang ditaruh untuk membuat kondisi tetap stabil selama referendum berjalan.

Jika hasil dari referendum tersebut nanti adalah bergabung dengan Rusia, itu bisa jadi pemicu krisis terburuk hubungan antara negara Timur dan Barat. Bahkan mungkin saja memicu perang. Beberapa analis beranggapan kondisi tegang antara Rusia dan Ukraina saat ini dapat memantik perang dunia ketiga. Di sisi lain, Rusia harus bersiap-siap menerima sanksi dari negara-negara Uni Eropa dan Amerika Serikat.

Di tempat terpisah, Presiden Sementara Ukraina Oleksandr Turchynov meminta penduduknya memboikot referendum tersebut. Sebab, menurut dia, referendum itu adalah upaya invasi Rusia. “Hasil referendum ditentukan sebelumnya oleh Kremlin sebagai pembenaran untuk mengirim tentaranya dan memulai perang yang akan menghancurkan perekonomian di Crimea,” ujarnya.

Namun, seruan tersebut tidak digubris sebagian besar warga Crimea. Euforia warga Crimea untuk segera beralih kewarganegaraan terasa di mana-mana. Orang-orang berduyun-duyun datang ke tempat pemungutan suara sejak pagi. Salah satu contohnya, tempat pemungutan suara yang diletakkan di salah satu sekolah menengah atas di Simferopol. Puluhan orang berbaris sejak pagi untuk memberi suara.

“Saya memilih Rusia. Ini yang kami tunggu sejak lama. Kami satu keluarga dan kami ingin hidup sebagai saudara,” ucap Svetlana Vasilyeva. Suster yang berusia 27 tahun dan beretnis Rusia itu tidak senang dengan bangsa Ukraina. Sebab, selama ini penduduk asli Ukraina kerap menganggap etnis Rusia lebih rendah. “Bagaimana kamu bisa tinggal di negara seperti ini?” tanyanya.

Etnis Rusia di Crimea berharap, ketika Crimea sudah diambil alih oleh Rusia, kehidupan mereka akan menjadi lebih baik. Termasuk di antaranya berpenghasilan yang lebih tinggi.

Meski begitu, tidak semua warga Crimea setuju dengan referendum tersebut. Sebagian kecil warga memilih untuk memboikot sesuai dengan instruksi Oleksandr Turchynov. Mereka bukan etnis Rusia. Salah satu contohnya adalah etnis Tatar. Mereka merupakan warga muslim sunni yang mendominasi 12 persen penduduk Crimea.

Pada Jumat (14/3), Presiden Amerika Serikat (AS) Barack Obama menyatakan bahwa dirinya masih berharap penyelesaian secara diplomatik untuk masalah Crimea. Tetapi, jika bersikeras mengambil alih, Rusia harus bersiap-siap menerima konsekuensi dari AS dan negara-negara Uni Eropa.

Sabtu lalu sebelum referendum, tim keamanan nasional Obama juga mengadakan rapat di Gedung Putih terkait dengan krisis di Ukraina. Rapat tersebut dihadiri Menteri Luar Negeri John Kerry dan Menteri Pertahanan Chuck Hagel. Negeri Paman Sam menegaskan, bila referendum tetap dilakukan, hari ini mereka bersiap memberlakukan larangan visa serta pembekuan aset bagi Rusia dan Ukraina. Negara-negara Eropa menyatakan siap mengikuti langkah AS. (AFP/BBC/Reuters/sha/c14/dos)

Peta Crimea dan Rusia.
Peta Crimea dan Rusia.

CRIMEA, SUMUTPOS.CO – Nasib Crimea ditentukan kemarin (16/3). Sekitar 1,5 juta penduduk yang memiliki hak pilih datang ke tempat-tempat pemungutan suara. Mereka memberikan hak pilihnya. Yakni, setuju untuk tetap bersama Ukraina ataukah menggandeng Rusia.

Meski penghitungan suara belum selesai dilaksanakan, wilayah di semenanjung Laut Hitam itu sangat mungkin bakal menjadi milik Rusia. Sebab, mayoritas warga Crimea adalah etnis Rusia. Sudah lama mereka menginginkan untuk kembali ke pelukan Si Beruang Merah.

Tempat-tempat pemungutan suara dibuka pada pukul 08.00-20.00. Hasil hitung cepat dari pemungutan suara tersebut dikeluarkan kemarin malam. Namun, hasil total dari pemungutan suara itu baru keluar dalam satu dua hari nanti.

Meski hasil akhir belum dirilis, suasana pendudukan Rusia terasa sejak kemarin. Ribuan tentara Rusia berjaga di Crimea. Tidak cukup sampai di situ, di Sevastopol, bendera-bendera Rusia sudah dibagikan di jalan-jalan. Anak-anak yang ikut orang tuanya memilih di tempat pemungutan suara membawa bendera Rusia. Mobil-mobil yang berlalu-lalang juga menyematkan bendera Rusia dengan ukuran kecil.

Perdana Menteri Crimea Sergei Aksyonov membantah bahwa pria bersenjata yang bertebaran di mana-mana tersebut merupakan tentara Rusia. Menurut dia, mereka adalah kelompok pertahanan yang ditaruh untuk membuat kondisi tetap stabil selama referendum berjalan.

Jika hasil dari referendum tersebut nanti adalah bergabung dengan Rusia, itu bisa jadi pemicu krisis terburuk hubungan antara negara Timur dan Barat. Bahkan mungkin saja memicu perang. Beberapa analis beranggapan kondisi tegang antara Rusia dan Ukraina saat ini dapat memantik perang dunia ketiga. Di sisi lain, Rusia harus bersiap-siap menerima sanksi dari negara-negara Uni Eropa dan Amerika Serikat.

Di tempat terpisah, Presiden Sementara Ukraina Oleksandr Turchynov meminta penduduknya memboikot referendum tersebut. Sebab, menurut dia, referendum itu adalah upaya invasi Rusia. “Hasil referendum ditentukan sebelumnya oleh Kremlin sebagai pembenaran untuk mengirim tentaranya dan memulai perang yang akan menghancurkan perekonomian di Crimea,” ujarnya.

Namun, seruan tersebut tidak digubris sebagian besar warga Crimea. Euforia warga Crimea untuk segera beralih kewarganegaraan terasa di mana-mana. Orang-orang berduyun-duyun datang ke tempat pemungutan suara sejak pagi. Salah satu contohnya, tempat pemungutan suara yang diletakkan di salah satu sekolah menengah atas di Simferopol. Puluhan orang berbaris sejak pagi untuk memberi suara.

“Saya memilih Rusia. Ini yang kami tunggu sejak lama. Kami satu keluarga dan kami ingin hidup sebagai saudara,” ucap Svetlana Vasilyeva. Suster yang berusia 27 tahun dan beretnis Rusia itu tidak senang dengan bangsa Ukraina. Sebab, selama ini penduduk asli Ukraina kerap menganggap etnis Rusia lebih rendah. “Bagaimana kamu bisa tinggal di negara seperti ini?” tanyanya.

Etnis Rusia di Crimea berharap, ketika Crimea sudah diambil alih oleh Rusia, kehidupan mereka akan menjadi lebih baik. Termasuk di antaranya berpenghasilan yang lebih tinggi.

Meski begitu, tidak semua warga Crimea setuju dengan referendum tersebut. Sebagian kecil warga memilih untuk memboikot sesuai dengan instruksi Oleksandr Turchynov. Mereka bukan etnis Rusia. Salah satu contohnya adalah etnis Tatar. Mereka merupakan warga muslim sunni yang mendominasi 12 persen penduduk Crimea.

Pada Jumat (14/3), Presiden Amerika Serikat (AS) Barack Obama menyatakan bahwa dirinya masih berharap penyelesaian secara diplomatik untuk masalah Crimea. Tetapi, jika bersikeras mengambil alih, Rusia harus bersiap-siap menerima konsekuensi dari AS dan negara-negara Uni Eropa.

Sabtu lalu sebelum referendum, tim keamanan nasional Obama juga mengadakan rapat di Gedung Putih terkait dengan krisis di Ukraina. Rapat tersebut dihadiri Menteri Luar Negeri John Kerry dan Menteri Pertahanan Chuck Hagel. Negeri Paman Sam menegaskan, bila referendum tetap dilakukan, hari ini mereka bersiap memberlakukan larangan visa serta pembekuan aset bagi Rusia dan Ukraina. Negara-negara Eropa menyatakan siap mengikuti langkah AS. (AFP/BBC/Reuters/sha/c14/dos)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/