25.6 C
Medan
Tuesday, May 21, 2024

Biasa Keras Tak Peka Bisikan

Saat ini remaja gemar mengenakan headset di mana pun. Mulai jalan-jalan sampai membaca buku di kamar, headset nangkring di telinga. Padahal, kebiasaan itu berpotensi merusak pendengaran. Beberapa kebiasaan lainnya yang memengaruhi kesehatan indra pendengaran  adalah  menyalakan TV keras-keras tiap hari. Maklum, nonton film action tanpa diiringi suara keras tentu kurang menarik.

Kebisingan lain sering berasal dari suara blender dan vacuum cleaner, berlama lama di wahana permainan dan sebagainya.  Intensitas bunyi-bunyian tersebut rata-rata 88 desibel. Berarti, suara itu tak boleh didengarkan lebih dari empat jam. Berada di tengah kebisingan dalam waktu lama merusak rambut-rambut yang menghubungkan koklea (cochlea, rumah siput) dan saraf otak.  Bila koklea kelelahan, telinga tak lagi sensitif terhadap suara pelan. Lama-lama, telinga akan rusak.

Demikian juga dengan pemakaian  headset.  ‘’Terlalu sering menggunakan headset dapat menyebabkan kerusakan gangguan pendengaran atau penurunan fungsi pendengaran,”ujar dr Ramlan Sitompul Sp THT-KL.  Wakil Ketua Umum Ikatakn Dokter Indonesia (IDI) Medan ini menyebutkan, ketulian dapat menyerang orang semakin dini. “Telinga yang sering menggunakan earphone pada awalnya tidak terasa apa-apa, tapi ketika akan mencabut earphone, telinga terasa panas dan berdengung hebat,” ujarnya, Kamis (12/1).

Dikatakannya, disaat telinga terasa panas dan berdengung, hal tersebut terjadi akibat kelelahan koklea yang berperan penting dalam proses pendengaran. “Jika tidak segera ditangani, dapat menyebabkan gangguan pendengaran menetap,” jelasnya.

Menurutnya, gangguan pendengaran ini, hanya dapat diobati dengan terapi hiperbalik (memberi obat-obatan khusus) agar tingkat ketuliannya berkurang, tapi tak dapat menyembuhkan.
“Karena yang rusak adalah sel rambut pada organ telinga bagian dalam yang berfungsi menangkap rangsangan atau frekuensi suara. Bila bagian ini sudah terganggu dan rusak, tak akan bisa kembali normal,” ungkapnya.

Prevalensi tuli di Indonesia relative tinggi. Berdasarkan survei nasional terbaru Kemenkes, angka gangguan pendengaran mencapai 16,8 persen. Sedangkan penderita tuli tercatat 0,4 persen di antara total penduduk. Tiap tahun diperkirakan lahir 5.000 bayi tuli di Indonesia.

Padahal, ada lima jenis ketulian yang bisa dicegah. Yakni, congek, tuli sejak lahir, tuli karena bising, presbiakusis (tuli pada orang tua), dan serumen (kotoran telinga). ”Jika lima jenis ketulian tersebut dapat dicegah, angka kejadian tuli akan menurun. (mag – 11)

Saat ini remaja gemar mengenakan headset di mana pun. Mulai jalan-jalan sampai membaca buku di kamar, headset nangkring di telinga. Padahal, kebiasaan itu berpotensi merusak pendengaran. Beberapa kebiasaan lainnya yang memengaruhi kesehatan indra pendengaran  adalah  menyalakan TV keras-keras tiap hari. Maklum, nonton film action tanpa diiringi suara keras tentu kurang menarik.

Kebisingan lain sering berasal dari suara blender dan vacuum cleaner, berlama lama di wahana permainan dan sebagainya.  Intensitas bunyi-bunyian tersebut rata-rata 88 desibel. Berarti, suara itu tak boleh didengarkan lebih dari empat jam. Berada di tengah kebisingan dalam waktu lama merusak rambut-rambut yang menghubungkan koklea (cochlea, rumah siput) dan saraf otak.  Bila koklea kelelahan, telinga tak lagi sensitif terhadap suara pelan. Lama-lama, telinga akan rusak.

Demikian juga dengan pemakaian  headset.  ‘’Terlalu sering menggunakan headset dapat menyebabkan kerusakan gangguan pendengaran atau penurunan fungsi pendengaran,”ujar dr Ramlan Sitompul Sp THT-KL.  Wakil Ketua Umum Ikatakn Dokter Indonesia (IDI) Medan ini menyebutkan, ketulian dapat menyerang orang semakin dini. “Telinga yang sering menggunakan earphone pada awalnya tidak terasa apa-apa, tapi ketika akan mencabut earphone, telinga terasa panas dan berdengung hebat,” ujarnya, Kamis (12/1).

Dikatakannya, disaat telinga terasa panas dan berdengung, hal tersebut terjadi akibat kelelahan koklea yang berperan penting dalam proses pendengaran. “Jika tidak segera ditangani, dapat menyebabkan gangguan pendengaran menetap,” jelasnya.

Menurutnya, gangguan pendengaran ini, hanya dapat diobati dengan terapi hiperbalik (memberi obat-obatan khusus) agar tingkat ketuliannya berkurang, tapi tak dapat menyembuhkan.
“Karena yang rusak adalah sel rambut pada organ telinga bagian dalam yang berfungsi menangkap rangsangan atau frekuensi suara. Bila bagian ini sudah terganggu dan rusak, tak akan bisa kembali normal,” ungkapnya.

Prevalensi tuli di Indonesia relative tinggi. Berdasarkan survei nasional terbaru Kemenkes, angka gangguan pendengaran mencapai 16,8 persen. Sedangkan penderita tuli tercatat 0,4 persen di antara total penduduk. Tiap tahun diperkirakan lahir 5.000 bayi tuli di Indonesia.

Padahal, ada lima jenis ketulian yang bisa dicegah. Yakni, congek, tuli sejak lahir, tuli karena bising, presbiakusis (tuli pada orang tua), dan serumen (kotoran telinga). ”Jika lima jenis ketulian tersebut dapat dicegah, angka kejadian tuli akan menurun. (mag – 11)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/