27.8 C
Medan
Friday, May 24, 2024

Tempati Blok Amrozi, Istri Mencoba Ikhlas

Pemindahan narapidana dari Lapas Klas I Tanjunggusta Medan ke berbagai Lapas di Sumut dan Nusakambangan mengejutkan Wanti, istri salahsatu napi yang dipindahkan. Apalagi sang suami, Marwan alias Nanong alias Wak Geng, ditempatkan di blok tempat teroris yang telah dieksekusi mati, Amrozi.

Fakhrul Rozi, Medan

DIGIRING: Wak Geng saat digiring petugas keluar dari Lapas Tanjunggusta, Rabu (31/7) lalu.//AMINOER RASYID/SUMUT POS
DIGIRING: Wak Geng saat digiring petugas keluar dari Lapas Tanjunggusta, Rabu (31/7) lalu.//AMINOER RASYID/SUMUT POS

Siang itu, berjarak sekitar 20 kilometer dari Kota Medan, Sumut Pos menyambangi rumah yang dihuni keluarga Wak Genk.

Letaknya di Jalan Bilal Dusun VI Desa Pulo Agas Kecamatan Hamparan Perak Kabupaten Deliserdang. Setelah melewati gapura, di kampung itulah terselip sebuah rumah sederhana yang merupakan tempat tinggal Wanti bersama anaknya.

Saat ditemui, perempuan beranak dua ini terlihat ramah. Ia mengenakan jilbab untuk menutupi auratnya. Setelah ditinggal suaminya yang terjerat kasus dugaan terorisme dan perampokan Bank CIMB Niaga, Medan pada tiga tahun lalu, Wanti mencari nafkah sendiri untuk menghidupi anak mereka. “Kalau bukan saya sendiri yang mencari nafkah, siapa lagi yang menanggung kebutuhan setiap hari,” katanya.

Selama suaminya berada di penjara Tanjunggusta, Medan perempuan yang telah 15 tahun membina rumah tangga bersama Wak Genk itu juga sering mengunjungi ayah dari anak-anaknya di dalam Lapas. Dengan membawa makanan, ia pun masuk ke dalam linngkungan para pelaku kejahatan yang terdaftar sebagai warga binaan.

“Terkadang saya datang membawa makanan dan pakaian untuknya. Selain itu, saya juga melihat kondisi kesehatannya sambil berbincang tentang dirinya dan keluarga,” tutur perempuan yang bernama lengkap Suwanti Rahayu.

Soal pemindahan, suaminya bersama ketiga tahanan terduga teroris lainya sebenarnya telah dia ketahui. Da menerima kabar itu melalui salah seorang petugas Lapas. Rasa kaget dan tak percaya membuat dirinya bingung, wanita berkulit sawo matang ini merasa heran kenapa suaminya mendadak dipindahkan ke LP Nusakambangan yang jaraknya terlalu jauh dan berada di seberang pulau.

“Kenapa suami saya yang dipindahkan, padahal saat terjadi kerusuhan di Lapas dia tidak ikut melarikan diri. Saya sekarang cuma bisa pasrah, hanya saja dengan dipindahkanya suami saya ke Nusakambangan kami tidak akan sulit untuk mengunjunginya,” ujar dia.

Meski pasrah, namun Wanti berupaya untuk tetap tegar menerima cobaan yang tengah dihadapinya. Walaupun terlihat tetap untuk ikhlas, tapi dari raut wajahnya ia seperti tak mampu untuk menyembunyikan rasa sedih dan bingung.

Wak Genk, lelaki yang dinikahinya 15 tahun lalu itu menurut, Wanti merupakan sosok suami yang baik dan bertanggungjawab terhadap keluarga. Pada tahun 2010 lalu, Wak Genk ditangkap petugas Detasemen Khusus (Densusu) 88 Anti Teror dari kawasan Jembatan Sei Arung Alu Kota Rantang Kecamatan Hamparan Perak. Dalam penangkapan itu dia dituding sebagai salah satu tersangka terorisme yang menjadi incaran petugas.

“Ya, saya coba untuk tetap ikhlas menerima ini semua, sudah terpisah selama 3 tahun. Sekarang kami akan sulit untuk bisa melihatnya lagi,” lanjutnya.

Perjalanan, Wak Genk diketahui awalnya berlatarbelakang dunia hitam, masa lalu dia pernah berulang kali terlibat tindak kejahatan. Pada 2006, Wak Genk mulai mengikuti kegiatan pengajian. Bahkan dia terkadang sering mengikuti pengajian hingga keluar kota seperti ke Aceh.

“Dulu memang pernah mengikuti pengajian, tapi saya tidak tahu menahu soal pengajian itu. Belakang pada 3 tahun lalu saya terkejut begitu suami saya ditangkap dan dua orang temanya yang baru datang bertamu ditembak petugas di dalam rumah,” kenang dia.

Setelah dipindahkan ke ‘pulau penjara’ yang dikepung ombak sangar itu, Wak Geng bersama tiga napi teroris lain dari Tanjunggusta, akan ditempatkan di blok khusus bersama sejumlah napi kasus teroris lainnya yang sudah duluan dipenjara di sana.

“Mereka tidak dicampur dengan napi kasus lain. Meski dalam satu Lapas, tapi di blok khusus. Di blok yang dulunya ditempati Amrozi dan kawan-kawannya itu,” terang Jubir Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas), Akbar Hadi Prabowo, di Jakarta, kemarin (1/8).
Di Pulau Nusakambangan terdapat sembilan Lapas, yang nama-nama Lapas disesuaikan dengan nama daerah di sana. Masing-masing Lapas berkapasitas 500 orang. Salah satunya Lapas Batu. Napi-napi yang mendapat vonis mati, seumur hidup, dan kasus-kasus berat lainnya sebagian menempati Lapas Batu ini, termasuk napi kasus teroris.

Tiga terpidana mati kasus Bom Bali I yakni Amrozy, Mukhlas, dan Imam Samudra sejak akhir 2005 menempati salah satu blok khusus napi teroris di Lapas Batu, Nusakambangan. Belakangan, mereka sudah dieksekusi.

Sekarang masih berapa napi teroris di Nusakambangan? “Masih banyak. Saya tak hapal,” ujar Akbar.

Akbar tak memungkiri, disatukannya para napi teroris dalam satu blok itu, memberikan kesempatan bagi mereka untuk menjalin komunikasi. “Ya bisa saja, ketika waktu salat, bisa saja mereka berkomunikasi,” ujar Akbar.

Namun dia yakin, meski napi sudah berada di pulau yang mendapat julukan Alcatraz-nya Indonesia itu, namun pengawasan tetap dilakukan secara khusus. “Pastilah ada pengawasan khusus,” kata Akbar. (ditambahi Soetomo Syamsu)

Pemindahan narapidana dari Lapas Klas I Tanjunggusta Medan ke berbagai Lapas di Sumut dan Nusakambangan mengejutkan Wanti, istri salahsatu napi yang dipindahkan. Apalagi sang suami, Marwan alias Nanong alias Wak Geng, ditempatkan di blok tempat teroris yang telah dieksekusi mati, Amrozi.

Fakhrul Rozi, Medan

DIGIRING: Wak Geng saat digiring petugas keluar dari Lapas Tanjunggusta, Rabu (31/7) lalu.//AMINOER RASYID/SUMUT POS
DIGIRING: Wak Geng saat digiring petugas keluar dari Lapas Tanjunggusta, Rabu (31/7) lalu.//AMINOER RASYID/SUMUT POS

Siang itu, berjarak sekitar 20 kilometer dari Kota Medan, Sumut Pos menyambangi rumah yang dihuni keluarga Wak Genk.

Letaknya di Jalan Bilal Dusun VI Desa Pulo Agas Kecamatan Hamparan Perak Kabupaten Deliserdang. Setelah melewati gapura, di kampung itulah terselip sebuah rumah sederhana yang merupakan tempat tinggal Wanti bersama anaknya.

Saat ditemui, perempuan beranak dua ini terlihat ramah. Ia mengenakan jilbab untuk menutupi auratnya. Setelah ditinggal suaminya yang terjerat kasus dugaan terorisme dan perampokan Bank CIMB Niaga, Medan pada tiga tahun lalu, Wanti mencari nafkah sendiri untuk menghidupi anak mereka. “Kalau bukan saya sendiri yang mencari nafkah, siapa lagi yang menanggung kebutuhan setiap hari,” katanya.

Selama suaminya berada di penjara Tanjunggusta, Medan perempuan yang telah 15 tahun membina rumah tangga bersama Wak Genk itu juga sering mengunjungi ayah dari anak-anaknya di dalam Lapas. Dengan membawa makanan, ia pun masuk ke dalam linngkungan para pelaku kejahatan yang terdaftar sebagai warga binaan.

“Terkadang saya datang membawa makanan dan pakaian untuknya. Selain itu, saya juga melihat kondisi kesehatannya sambil berbincang tentang dirinya dan keluarga,” tutur perempuan yang bernama lengkap Suwanti Rahayu.

Soal pemindahan, suaminya bersama ketiga tahanan terduga teroris lainya sebenarnya telah dia ketahui. Da menerima kabar itu melalui salah seorang petugas Lapas. Rasa kaget dan tak percaya membuat dirinya bingung, wanita berkulit sawo matang ini merasa heran kenapa suaminya mendadak dipindahkan ke LP Nusakambangan yang jaraknya terlalu jauh dan berada di seberang pulau.

“Kenapa suami saya yang dipindahkan, padahal saat terjadi kerusuhan di Lapas dia tidak ikut melarikan diri. Saya sekarang cuma bisa pasrah, hanya saja dengan dipindahkanya suami saya ke Nusakambangan kami tidak akan sulit untuk mengunjunginya,” ujar dia.

Meski pasrah, namun Wanti berupaya untuk tetap tegar menerima cobaan yang tengah dihadapinya. Walaupun terlihat tetap untuk ikhlas, tapi dari raut wajahnya ia seperti tak mampu untuk menyembunyikan rasa sedih dan bingung.

Wak Genk, lelaki yang dinikahinya 15 tahun lalu itu menurut, Wanti merupakan sosok suami yang baik dan bertanggungjawab terhadap keluarga. Pada tahun 2010 lalu, Wak Genk ditangkap petugas Detasemen Khusus (Densusu) 88 Anti Teror dari kawasan Jembatan Sei Arung Alu Kota Rantang Kecamatan Hamparan Perak. Dalam penangkapan itu dia dituding sebagai salah satu tersangka terorisme yang menjadi incaran petugas.

“Ya, saya coba untuk tetap ikhlas menerima ini semua, sudah terpisah selama 3 tahun. Sekarang kami akan sulit untuk bisa melihatnya lagi,” lanjutnya.

Perjalanan, Wak Genk diketahui awalnya berlatarbelakang dunia hitam, masa lalu dia pernah berulang kali terlibat tindak kejahatan. Pada 2006, Wak Genk mulai mengikuti kegiatan pengajian. Bahkan dia terkadang sering mengikuti pengajian hingga keluar kota seperti ke Aceh.

“Dulu memang pernah mengikuti pengajian, tapi saya tidak tahu menahu soal pengajian itu. Belakang pada 3 tahun lalu saya terkejut begitu suami saya ditangkap dan dua orang temanya yang baru datang bertamu ditembak petugas di dalam rumah,” kenang dia.

Setelah dipindahkan ke ‘pulau penjara’ yang dikepung ombak sangar itu, Wak Geng bersama tiga napi teroris lain dari Tanjunggusta, akan ditempatkan di blok khusus bersama sejumlah napi kasus teroris lainnya yang sudah duluan dipenjara di sana.

“Mereka tidak dicampur dengan napi kasus lain. Meski dalam satu Lapas, tapi di blok khusus. Di blok yang dulunya ditempati Amrozi dan kawan-kawannya itu,” terang Jubir Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas), Akbar Hadi Prabowo, di Jakarta, kemarin (1/8).
Di Pulau Nusakambangan terdapat sembilan Lapas, yang nama-nama Lapas disesuaikan dengan nama daerah di sana. Masing-masing Lapas berkapasitas 500 orang. Salah satunya Lapas Batu. Napi-napi yang mendapat vonis mati, seumur hidup, dan kasus-kasus berat lainnya sebagian menempati Lapas Batu ini, termasuk napi kasus teroris.

Tiga terpidana mati kasus Bom Bali I yakni Amrozy, Mukhlas, dan Imam Samudra sejak akhir 2005 menempati salah satu blok khusus napi teroris di Lapas Batu, Nusakambangan. Belakangan, mereka sudah dieksekusi.

Sekarang masih berapa napi teroris di Nusakambangan? “Masih banyak. Saya tak hapal,” ujar Akbar.

Akbar tak memungkiri, disatukannya para napi teroris dalam satu blok itu, memberikan kesempatan bagi mereka untuk menjalin komunikasi. “Ya bisa saja, ketika waktu salat, bisa saja mereka berkomunikasi,” ujar Akbar.

Namun dia yakin, meski napi sudah berada di pulau yang mendapat julukan Alcatraz-nya Indonesia itu, namun pengawasan tetap dilakukan secara khusus. “Pastilah ada pengawasan khusus,” kata Akbar. (ditambahi Soetomo Syamsu)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/