27.8 C
Medan
Saturday, May 4, 2024

Kembangkan Budidaya Talas Satoimo & Produk Turunannya

Foto: Istimewa
Petani sedang membudidayakan talas Satoimo, di Pematangsiantar.

Sukses mengubah pola pikir petani, peternak, dan anggota koperasi di Siantar-Simalungun agar keluar dari pola lama, Bona Pakpahan tak hendak berpuas diri. Ia tetap berinovasi. Selain karena bawaan diri, ia mengaku malu kepada Komunitas IdeaCreator jika tak muncul dengan ide-ide. Ide bisnis terbarunya adalah budidaya talas Satoimo, asal Jepang.

 

———————————————-

Dame Ambarita, Pematangsiantar

———————————————-

Awal perkenalan Bona Pakpahan dengan talas Satoimo (colocasia esculenta var antiquorum) atau yang dikenal sebagai Taro Potato, terjadi pada pertengahan 2016. Saat itu, ayahnya menderita sakit diabetes yang sudah kronis.

“Saya mulai mencari-cari informasi tentang penyebab sakit diabetes, dan apa makanan pengganti yang paling cocok,” kisahnya.

Lewat jelajah internet, ia menemukan literatur mengenai talas Satoimo. Talas ini konon makanan dewa di Jepang. Khasiatnya berjibun. Talas ini salahsatu rahasia sehat dan awet muda orang Jepang.  Penelitian menunjukkan, talas Satoimo sangat kaya akan Hyaluronic Acid (HA), substansi yang diproduksi secara alami oleh tubuh manusia, yang jumlahnya berlimpah ketika manusia masih muda.

Sayangnya hyaluronic acid ini berkurang seiring dengan bertambahnya usia, sehingga kulit menjadi keriput, bergaris, kering dll. Efek serupa pun ditunjukkan oleh organ-organ bagian dalam tubuh kita. “HA sangat diperlukan oleh tubuh, agar tubuh tetap dalam kondisi baik dan berfungsi dengan baik,”kata Bona.

Selain itu, HA sangat berperan dalam kesehatan sendi, penglihatan, jaringan penghubung, mempercepat proses penyembuhan luka, dan pembentukan kolagen. Kolagen adalah zat yang membantu meremajakan kulit & mencegah penuaan kulit. Membantu mengatasi masalah tulang dan dapat mempercepat proses penyembuhan. Juga memperkuat pembuluh darah & meningkatkan sirkulasi sehingga dapat membantu mengurangi resiko penyakit jantung.

Talas lokal Indonesia konon tidak mengandung HA. Meski kadar gulanya sama-sama rendah.  “Kadar kolagen talas Satoimo lebih tingggi dari rumput laut dan sarang burung walet,” kata Bona.

Ia pun mencoba mengontak alamat di Jepang yang tertera di sebuah situs, bertanya di mana ia bisa a mendapatkan talas Satoimo. Ia diarahkan ke Pak Andi di Malang.

Ia mengontak Pak Andi. Pak Andi bersedia mengirim talas dari Malang, berikut ilmu seputar budidaya dan produk turunan talas Satoimo.

Benar… sang ayah merasa lebih sehat usai mengonsumsi talas. Bahkan bisa kembali bergerak seperti sebelum sakit diabetes.

Tertarik dengan talas Satoimo, Bona termotivasi untuk membudidayakannya. Ia pun semakin intens berkomunikasi dengan Pak Andi. Pak Andi bahkan mengenalkannya ke Komunitas Satoimo Indonesia.

Ia pesan bibit. Dan praktek menanam talas di lahan sendiri seluas satu rante. Memanfaatkan pupuk cair organik hasil racikannya sendiri. Berhasil.

Saat itulah ia bertemu dengan Muara Sirait. Ia seorang guru STM di Siantar. Sebenarnya sudah pensiun di usia 60 tahun. Tapi yayasan minta ia tetap dikaryakan, melihat semangat dan dedikasinya yang tinggi.

Meski guru STM, Muara juga hobby pertanian. Segala macam sayur dan tanaman ditanamnya. “Ia sabar bertani. Saya tidak,” puji Bona Pakpahan sembari tertawa ke arah Pak Muara.

Pak Muara hanya senyum simpul. Ia mengaku tertarik dengan budidaya tanaman sejak masih muda.

Awal komuniasi keduanya terjadi jelang akhir tahun 2017 lalu. Pak Muara yang duluan berinisiatif. Seorang teman bilang padanya: Pak Muara hobby bertani ya? Coba jumpai Bona Papahan. Pasti nyambung,” kata si teman.

Muara yang penasaran, datang sendiri menemui Bona ke rumahnya. “Dan benar. Klop. Seharian itu kami ngobrol segala hal. Mulai pertanian, peternakan, dan banyak inovasi  lainnya,” kenang Muara Sirait.

Talas Jepang Satoimo.

Dari pertemuan itu, mengerucut pembicaraan mengenai rencana bisnis mengembangkan tanaman talas Satoimo. Muara yang tertarik mengenai manfaat talas, setuju menanamnya. “Saya mulai di tanah saya sendiri seluas 4 rante,” katanya. Menggunakan pupuk cair racikan Bona Pakpahan.

Berhasil. Talas yang ditanamnya menghasilkan 4 kg per pokok. Bona membeli dengan harga Rp1.500 per kg. Bona sendiri mengolah talas itu menjadi berbagai produk turunan. Seperti tepung talas Satoimo, sabun kecantikan, jus, dan sebagainya.

Hasil panen talas di lahannya mengundang penasaran masyarakat sekitar. “Banyak yang datang bertanya-tanya seputar talas Satoimo. Setelah dijelaskan, mereka menyatakan berminat bergabung dalam kelompok tani talas Satoimo,” kata Muara.

Kerja sama saling menguntungkan sudah di depan mata. Pak Muara pun diberi tanggung jawab melakukan survey lapangan. Mencari lokasi yang cocok untuk penanaman talas Satoimo di Siantar-Simalungun. Syaratnya, lahan maksimal 800 meter dpl. Tersedia air untuk penyiraman di musim kemarau. Karena talas ini memerlukan banyak air.

Lokasi pertama, Pak Muara menemukan lahan di Beringin dan Karangsari di Pematangsiantar. Petani di sana diajari tentang talas Satoimo.

Bona Pakpahan dan Muara Sirait bergandeng tangan menyosialisaikan sistem penanaman talas di kalangan petani. “Kita mencari petani yang mau mengikut sistem. Bukan sekedar ikut-ikutan. Jadi harus ikut sistem penanaman yang ditetapkan. Pakai pupuk cair yang ditetapkan. Dan ikut sistem penyaluran panen yang ditetapkan. Harga dijamin stabil,” katanya.

Syarat penanaman, tidak dibenarkan sedikitpun menggunakan sentuhan bahan kimia.

Saat ini, sudah ada tiga petani yang menanam talas Satoimo di Siantar-Simalungun. Yakni Muara Sirait, satu petani di Beringin, dan satu petani di Pagar Jawa. “Yang lainnya menyatakan berminat ikut. Tapi masih ragu apakah tanaman talas ini bisa menjanjikan kehidupan masa depan atau tidak,” kata Muara.

Muara pun ditunjuk Bona menjadi Penanggungjawab Budidaya Talas Satoimo.

Tahap awal, Bona menyuplai bibit talas dan pupuk cair secara gratis kepada petani. Petani berkontribusi lahan, tenaga, dan perawatan. Dalam lima bulan, talas bisa dipanen. Bona siap membeli hasil panen talas dengan harga Rp1.500 sampai Rp2.000 per kg.

Saat ini, di satu rante lahan bisa ditanam 700 pokok. Dalam lima bulan, satu pokok menghasilkan 4 kg talas. Jika dijual dengan harga Rp1.500 per kg, petani mendapat Rp4,2 juta per rante.

Bona sendiri sedang menanam talas di atas lahan seluas 10 rante. “Panen awal diperkirakan Oktober ini,” katanya. Jika dikalikan harga Rp1.500, ia akan memperoleh hasil penjualan Rp42 juta. Hanya saja di sini, ia sendiri yang membeli.

Hasil panen rencananya akan disortir. Dipisah mana kategori bibit bibit, mana kategori yang akan diolah menjadi tepung dan sabun, dan mana kategori ekspor.

Targetnya, talas Satoimo memang untuk diekspor ke Jepang, jika sudah mencapai tonase dan ukuran sesuai permintaan Jepang. Yang diekspor adalah talas dingin, yang sudah melalui proses pencucian, pengapuran, pemasakan, pendinginan, dan vacuum packing.

Di Jepang, talas Satoimo disebut sebagai makanan dewa. Umumnya dikukus dengan bungkus timah. Tingkat pemasakan diukur, supaya kadar kolagen dan HA-nya tetap utuh. Biasa dimakan hangat-hangat.

“Jika kapasitas produksi talas sudah besar, teman saya dari PT Agrilow Satoimo Indonesia bersedia menampung talas ukuran tertentu untuk diekspor,” jelas Bona.

Tepung talas Satoimo, diberi merek J-Imo oleh Bona Pakpahan.

Di Indonesia, petani yang membudidayakan talas Satoimo baru ada di beberapa daerah, yakni Sulawesi, Malang, Aceh, dan di Pematangsiantar.

Untuk mencapai target ekspor, Bona dan Muara berencana membentuk kelompok tani pembudidaya talas Satoimo. “Tanaman ini sudah diujicoba. Hasilnya bagus. Sekarang tahap budidaya. Kami harapkan, petani juga mau menanamnya,” kata Bona.

Sementara ini, Bona menampung talas untuk dijadikan tepung, sabun, dll. Nanti jika ekspor sudah dilakukan lewat koperasi, talas ukuran kecil akan dilempar ke pasar domestik. Sebagian diolah menjadi tepung, sabun kecantikan, dan produk turunan lainnya.

Bona menjamin pasar talas dari petani. Harga stabil. Ia komitmen tidak membuat petani kecewa. “Petani butuh jaminan harga. Tapi agar hasil panennya layak ekspor, petani harus ikut sistem penanaman dan pemupukan. Karena size talas harus sama. Meski demikian, yang kecil pun tetap dibeli,” katanya.

Target ekspor talas diproyeksikan bisa dicapai dalam 2-3 tahun ke depan.

Jika asosiasi petani talas Siantar-Simalungun sudah terbentuk dan mapan, bibit dan pupuk kemungkinan akan dijual. Atau tetap gratis. Tergantung situasi. Bona sendiri mentreatment bibit talas agar hasil maksimal. “Ada treatment untuk menghasilkan bibit unggul,” katanya.

Ke depan, Muara Sirait yang bertanggung jawab membentuk koptan petani talas. Jika semakin berkembang, bisa berlanjut menjadi koperasi.

Sembari membudidayakan talas Satoimo, Bona dan Muara juga mulai membudidayakan kedelai Edamame asal Jepang, yang kualitasnya lebih unggul dibanding kedelai lokal. “Ukurannya lebih besar dan kualitasnya lebih baik,” katanya. Juga menanam singkong Malang, yang produksinya mencapai 8 kg per pokok.

Tugas Muara Sirait pun bertambah. Menjadi Penanggungjawab Budidaya Talas Satoimo, Edamame, dan Singkong Malang.

“Tanggal 13 Oktober ini, rencananya akan ada tamu dari Australia dan guru besar dari Malang ke sini. Katanya, Australia mau membantu petani, asal ada asosiasi,” kata Bona.

Konsep pertanian yang dipercayainya adalah: pola tanam organik, hasil panen banyak dan bermutu. Diolah menjadi berbagai produk turunan. Dan bangun jaringan lewat Koperasi.

Tentang singkong Malang, Bona Pakpahan mengandalkan penggunaan pupuk cair racikannya. Produksi pasti lebih banyak. Hasil dijual ke ke pabrik tepung PT Bumisari di Siantar.

Saat ini mereka menanam singkong di atas lahan 2 hektare. Proyeksinya, bisa menghasilkan 20 kg per batang. Per hektare bisa ditanam 400 batang . Dengan harga Rp1.500 per kg, akan menghasilkan Rp12 juta per hektare. Masa panen 8 bulan.

Konsep budidaya kedelai Edamame juga mirip. Dengan masa panen 70 hari, Bona percaya hasil panen akan memuaskan dengan sistem tanam dan pupuk yang ditetapkannya.

Dengan seluruh inovasi ini, Bona tetap memilih bekerja sama dengan koperasi. Menurutnya, koperasi membentuk petani dan petermak menjadi lebih mandiri. Bona sendiri mendapat keuntungan dari keuntungan yang didapat bersama. “Jadi lebih fair dan lebih adil,” tegasnya.

Karena itulah, ia memiliki visi membentuk koptan-koptan yang akan berkembang menjadi koperasi produktif, di Siantar-Simalungun, bahkan hingga ke kabuaten lain. (dame/bersambung)

Foto: Istimewa
Petani sedang membudidayakan talas Satoimo, di Pematangsiantar.

Sukses mengubah pola pikir petani, peternak, dan anggota koperasi di Siantar-Simalungun agar keluar dari pola lama, Bona Pakpahan tak hendak berpuas diri. Ia tetap berinovasi. Selain karena bawaan diri, ia mengaku malu kepada Komunitas IdeaCreator jika tak muncul dengan ide-ide. Ide bisnis terbarunya adalah budidaya talas Satoimo, asal Jepang.

 

———————————————-

Dame Ambarita, Pematangsiantar

———————————————-

Awal perkenalan Bona Pakpahan dengan talas Satoimo (colocasia esculenta var antiquorum) atau yang dikenal sebagai Taro Potato, terjadi pada pertengahan 2016. Saat itu, ayahnya menderita sakit diabetes yang sudah kronis.

“Saya mulai mencari-cari informasi tentang penyebab sakit diabetes, dan apa makanan pengganti yang paling cocok,” kisahnya.

Lewat jelajah internet, ia menemukan literatur mengenai talas Satoimo. Talas ini konon makanan dewa di Jepang. Khasiatnya berjibun. Talas ini salahsatu rahasia sehat dan awet muda orang Jepang.  Penelitian menunjukkan, talas Satoimo sangat kaya akan Hyaluronic Acid (HA), substansi yang diproduksi secara alami oleh tubuh manusia, yang jumlahnya berlimpah ketika manusia masih muda.

Sayangnya hyaluronic acid ini berkurang seiring dengan bertambahnya usia, sehingga kulit menjadi keriput, bergaris, kering dll. Efek serupa pun ditunjukkan oleh organ-organ bagian dalam tubuh kita. “HA sangat diperlukan oleh tubuh, agar tubuh tetap dalam kondisi baik dan berfungsi dengan baik,”kata Bona.

Selain itu, HA sangat berperan dalam kesehatan sendi, penglihatan, jaringan penghubung, mempercepat proses penyembuhan luka, dan pembentukan kolagen. Kolagen adalah zat yang membantu meremajakan kulit & mencegah penuaan kulit. Membantu mengatasi masalah tulang dan dapat mempercepat proses penyembuhan. Juga memperkuat pembuluh darah & meningkatkan sirkulasi sehingga dapat membantu mengurangi resiko penyakit jantung.

Talas lokal Indonesia konon tidak mengandung HA. Meski kadar gulanya sama-sama rendah.  “Kadar kolagen talas Satoimo lebih tingggi dari rumput laut dan sarang burung walet,” kata Bona.

Ia pun mencoba mengontak alamat di Jepang yang tertera di sebuah situs, bertanya di mana ia bisa a mendapatkan talas Satoimo. Ia diarahkan ke Pak Andi di Malang.

Ia mengontak Pak Andi. Pak Andi bersedia mengirim talas dari Malang, berikut ilmu seputar budidaya dan produk turunan talas Satoimo.

Benar… sang ayah merasa lebih sehat usai mengonsumsi talas. Bahkan bisa kembali bergerak seperti sebelum sakit diabetes.

Tertarik dengan talas Satoimo, Bona termotivasi untuk membudidayakannya. Ia pun semakin intens berkomunikasi dengan Pak Andi. Pak Andi bahkan mengenalkannya ke Komunitas Satoimo Indonesia.

Ia pesan bibit. Dan praktek menanam talas di lahan sendiri seluas satu rante. Memanfaatkan pupuk cair organik hasil racikannya sendiri. Berhasil.

Saat itulah ia bertemu dengan Muara Sirait. Ia seorang guru STM di Siantar. Sebenarnya sudah pensiun di usia 60 tahun. Tapi yayasan minta ia tetap dikaryakan, melihat semangat dan dedikasinya yang tinggi.

Meski guru STM, Muara juga hobby pertanian. Segala macam sayur dan tanaman ditanamnya. “Ia sabar bertani. Saya tidak,” puji Bona Pakpahan sembari tertawa ke arah Pak Muara.

Pak Muara hanya senyum simpul. Ia mengaku tertarik dengan budidaya tanaman sejak masih muda.

Awal komuniasi keduanya terjadi jelang akhir tahun 2017 lalu. Pak Muara yang duluan berinisiatif. Seorang teman bilang padanya: Pak Muara hobby bertani ya? Coba jumpai Bona Papahan. Pasti nyambung,” kata si teman.

Muara yang penasaran, datang sendiri menemui Bona ke rumahnya. “Dan benar. Klop. Seharian itu kami ngobrol segala hal. Mulai pertanian, peternakan, dan banyak inovasi  lainnya,” kenang Muara Sirait.

Talas Jepang Satoimo.

Dari pertemuan itu, mengerucut pembicaraan mengenai rencana bisnis mengembangkan tanaman talas Satoimo. Muara yang tertarik mengenai manfaat talas, setuju menanamnya. “Saya mulai di tanah saya sendiri seluas 4 rante,” katanya. Menggunakan pupuk cair racikan Bona Pakpahan.

Berhasil. Talas yang ditanamnya menghasilkan 4 kg per pokok. Bona membeli dengan harga Rp1.500 per kg. Bona sendiri mengolah talas itu menjadi berbagai produk turunan. Seperti tepung talas Satoimo, sabun kecantikan, jus, dan sebagainya.

Hasil panen talas di lahannya mengundang penasaran masyarakat sekitar. “Banyak yang datang bertanya-tanya seputar talas Satoimo. Setelah dijelaskan, mereka menyatakan berminat bergabung dalam kelompok tani talas Satoimo,” kata Muara.

Kerja sama saling menguntungkan sudah di depan mata. Pak Muara pun diberi tanggung jawab melakukan survey lapangan. Mencari lokasi yang cocok untuk penanaman talas Satoimo di Siantar-Simalungun. Syaratnya, lahan maksimal 800 meter dpl. Tersedia air untuk penyiraman di musim kemarau. Karena talas ini memerlukan banyak air.

Lokasi pertama, Pak Muara menemukan lahan di Beringin dan Karangsari di Pematangsiantar. Petani di sana diajari tentang talas Satoimo.

Bona Pakpahan dan Muara Sirait bergandeng tangan menyosialisaikan sistem penanaman talas di kalangan petani. “Kita mencari petani yang mau mengikut sistem. Bukan sekedar ikut-ikutan. Jadi harus ikut sistem penanaman yang ditetapkan. Pakai pupuk cair yang ditetapkan. Dan ikut sistem penyaluran panen yang ditetapkan. Harga dijamin stabil,” katanya.

Syarat penanaman, tidak dibenarkan sedikitpun menggunakan sentuhan bahan kimia.

Saat ini, sudah ada tiga petani yang menanam talas Satoimo di Siantar-Simalungun. Yakni Muara Sirait, satu petani di Beringin, dan satu petani di Pagar Jawa. “Yang lainnya menyatakan berminat ikut. Tapi masih ragu apakah tanaman talas ini bisa menjanjikan kehidupan masa depan atau tidak,” kata Muara.

Muara pun ditunjuk Bona menjadi Penanggungjawab Budidaya Talas Satoimo.

Tahap awal, Bona menyuplai bibit talas dan pupuk cair secara gratis kepada petani. Petani berkontribusi lahan, tenaga, dan perawatan. Dalam lima bulan, talas bisa dipanen. Bona siap membeli hasil panen talas dengan harga Rp1.500 sampai Rp2.000 per kg.

Saat ini, di satu rante lahan bisa ditanam 700 pokok. Dalam lima bulan, satu pokok menghasilkan 4 kg talas. Jika dijual dengan harga Rp1.500 per kg, petani mendapat Rp4,2 juta per rante.

Bona sendiri sedang menanam talas di atas lahan seluas 10 rante. “Panen awal diperkirakan Oktober ini,” katanya. Jika dikalikan harga Rp1.500, ia akan memperoleh hasil penjualan Rp42 juta. Hanya saja di sini, ia sendiri yang membeli.

Hasil panen rencananya akan disortir. Dipisah mana kategori bibit bibit, mana kategori yang akan diolah menjadi tepung dan sabun, dan mana kategori ekspor.

Targetnya, talas Satoimo memang untuk diekspor ke Jepang, jika sudah mencapai tonase dan ukuran sesuai permintaan Jepang. Yang diekspor adalah talas dingin, yang sudah melalui proses pencucian, pengapuran, pemasakan, pendinginan, dan vacuum packing.

Di Jepang, talas Satoimo disebut sebagai makanan dewa. Umumnya dikukus dengan bungkus timah. Tingkat pemasakan diukur, supaya kadar kolagen dan HA-nya tetap utuh. Biasa dimakan hangat-hangat.

“Jika kapasitas produksi talas sudah besar, teman saya dari PT Agrilow Satoimo Indonesia bersedia menampung talas ukuran tertentu untuk diekspor,” jelas Bona.

Tepung talas Satoimo, diberi merek J-Imo oleh Bona Pakpahan.

Di Indonesia, petani yang membudidayakan talas Satoimo baru ada di beberapa daerah, yakni Sulawesi, Malang, Aceh, dan di Pematangsiantar.

Untuk mencapai target ekspor, Bona dan Muara berencana membentuk kelompok tani pembudidaya talas Satoimo. “Tanaman ini sudah diujicoba. Hasilnya bagus. Sekarang tahap budidaya. Kami harapkan, petani juga mau menanamnya,” kata Bona.

Sementara ini, Bona menampung talas untuk dijadikan tepung, sabun, dll. Nanti jika ekspor sudah dilakukan lewat koperasi, talas ukuran kecil akan dilempar ke pasar domestik. Sebagian diolah menjadi tepung, sabun kecantikan, dan produk turunan lainnya.

Bona menjamin pasar talas dari petani. Harga stabil. Ia komitmen tidak membuat petani kecewa. “Petani butuh jaminan harga. Tapi agar hasil panennya layak ekspor, petani harus ikut sistem penanaman dan pemupukan. Karena size talas harus sama. Meski demikian, yang kecil pun tetap dibeli,” katanya.

Target ekspor talas diproyeksikan bisa dicapai dalam 2-3 tahun ke depan.

Jika asosiasi petani talas Siantar-Simalungun sudah terbentuk dan mapan, bibit dan pupuk kemungkinan akan dijual. Atau tetap gratis. Tergantung situasi. Bona sendiri mentreatment bibit talas agar hasil maksimal. “Ada treatment untuk menghasilkan bibit unggul,” katanya.

Ke depan, Muara Sirait yang bertanggung jawab membentuk koptan petani talas. Jika semakin berkembang, bisa berlanjut menjadi koperasi.

Sembari membudidayakan talas Satoimo, Bona dan Muara juga mulai membudidayakan kedelai Edamame asal Jepang, yang kualitasnya lebih unggul dibanding kedelai lokal. “Ukurannya lebih besar dan kualitasnya lebih baik,” katanya. Juga menanam singkong Malang, yang produksinya mencapai 8 kg per pokok.

Tugas Muara Sirait pun bertambah. Menjadi Penanggungjawab Budidaya Talas Satoimo, Edamame, dan Singkong Malang.

“Tanggal 13 Oktober ini, rencananya akan ada tamu dari Australia dan guru besar dari Malang ke sini. Katanya, Australia mau membantu petani, asal ada asosiasi,” kata Bona.

Konsep pertanian yang dipercayainya adalah: pola tanam organik, hasil panen banyak dan bermutu. Diolah menjadi berbagai produk turunan. Dan bangun jaringan lewat Koperasi.

Tentang singkong Malang, Bona Pakpahan mengandalkan penggunaan pupuk cair racikannya. Produksi pasti lebih banyak. Hasil dijual ke ke pabrik tepung PT Bumisari di Siantar.

Saat ini mereka menanam singkong di atas lahan 2 hektare. Proyeksinya, bisa menghasilkan 20 kg per batang. Per hektare bisa ditanam 400 batang . Dengan harga Rp1.500 per kg, akan menghasilkan Rp12 juta per hektare. Masa panen 8 bulan.

Konsep budidaya kedelai Edamame juga mirip. Dengan masa panen 70 hari, Bona percaya hasil panen akan memuaskan dengan sistem tanam dan pupuk yang ditetapkannya.

Dengan seluruh inovasi ini, Bona tetap memilih bekerja sama dengan koperasi. Menurutnya, koperasi membentuk petani dan petermak menjadi lebih mandiri. Bona sendiri mendapat keuntungan dari keuntungan yang didapat bersama. “Jadi lebih fair dan lebih adil,” tegasnya.

Karena itulah, ia memiliki visi membentuk koptan-koptan yang akan berkembang menjadi koperasi produktif, di Siantar-Simalungun, bahkan hingga ke kabuaten lain. (dame/bersambung)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/