30 C
Medan
Saturday, May 4, 2024

Telat Ketok APBD 2017, 8 Provinsi Ditegur Kemendagri

Dirjen Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Reydonnyzard Moenek.
Dirjen Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Reydonnyzard Moenek.

JAKARTA, SUMUTPOS.CO  – Menghilangkan total keterlambatan pengesahan Peraturan Daerah (Perda) Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) sesuai jadwal, tampaknya, masih mimpi. Terbukti, saat tahun anggaran 2017 sudah masuk per 1 Januari, masih ada delapan provinsi yang belum mengetok APBD 2017-nya.

Merujuk pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah (UU Pemda), APBD semestinya diketok sebelum tahun anggaran dimulai. Itu artinya, APBD 2017 seharusnya sudah selesai disahkan selambat-lambatnya pada 31 Desember 2016. Bahkan, pada pasal 312 ayat 1 UU tersebut, kepala daerah dan DPRD sebenarnya diwajibkan untuk menyetujui bersama RAPBD paling lambat satu bulan sebelum dimulainya tahun anggaran setiap tahun.

Dirjen Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Reydonnyzar Moenek mengatakan, delapan daerah tersebut sudah mendapat teguran dari pemerintah pusat. ”Kami minta untuk melakukan langkah-langkah penyelesaian terkait RAPBD dimaksud,” ujarnya, kemarin (2/1). Delapan provinsi tersebut adalah Aceh, Sumatera Utara, Kepulauan Riau, Kalimantan Timur, Bengkulu, Maluku Utara, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Tenggara.

Di level pemerintah kabupaten/kota, keterlambatan pengesahan APBD juga terjadi. Hanya, pemerintah pusat belum selesai melakukan rekapitulasi. Keterlambatan itu mengulang kecenderungan yang sama pada tahun-tahun sebelumnya. Contohnya, tahun lalu jumlah keterlambatan di level kabupaten/kota cukup banyak. Yakni, 82 di antara total 514 kabupaten/kota.

Doni –sapaan akrab Reydonnyzar– menjelaskan, keterlambatan pengesahan APBD sering disebabkan belum selesainya penyesuaian implementasi Peraturan Pemerintah (PP) 18 Tahun 2016 tentang Organisasi Perangkat Daerah. Selain itu, terjadi tarik-menarik antara kepala daerah dan DPRD terkait dengan pos-pos belanja tertentu.

Namun, Doni memastikan, pihaknya memantau terus dinamika di delapan daerah tersebut. ”Contoh yang kita fasilitasi adalah Maluku Utara. Mereka menjadwalkan pengesahan di atas 15 Januari. Kami tidak toleransi, harus ada masukan setidaknya 7 Januari,” tuturnya.

Dalam UU Pemda, sebetulnya ada norma yang menyangkut pemberian sanksi bagi kepala daerah dan DPRD yang terlambat menyelesaikan pengesahan APBD sesuai ketentuan. Hanya, peraturan teknis mengenai sanksi tersebut masih digodok pemerintah pusat. Jika sudah disahkan, kepala daerah bisa kehilangan gaji dan tunjangannya selama enam bulan kalau terbukti lalai mengesahkan APBD.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng menjelaskan, keterlambatan pengesahan bisa membawa banyak kerugian. Baik bagi pemerintah daerah maupun masyarakat secara umum. Sebab, dengan terlambatnya pengesahan, otomatis waktu penggunaannya pun molor. Bagi masyarakat sendiri, itu berarti layanan publik berpotensi terganggu. ”Anggaran itu, durasi belanjanya akan terpotong,” ujarnya saat dihubungi.

Dampak lain adalah adanya upaya penghabisan anggaran pada akhir tahun secara jor-joran. Itu terpaksa dilakukan karena pada awal tahun belum bisa dibelanjakan. ’’Jadi, akan ada inefisiensi juga,” imbuhnya.

Untuk itu, ke depan Endi berharap pemerintah pusat bisa lebih mendisiplinkan daerah terkait dengan pengesahan APBD. Selain agar penggunaan bisa lebih efisien, hak masyarakat untuk mendapatkan pelayanan terbaik bisa terwujud. (far/c7/fat)

Dirjen Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Reydonnyzard Moenek.
Dirjen Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Reydonnyzard Moenek.

JAKARTA, SUMUTPOS.CO  – Menghilangkan total keterlambatan pengesahan Peraturan Daerah (Perda) Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) sesuai jadwal, tampaknya, masih mimpi. Terbukti, saat tahun anggaran 2017 sudah masuk per 1 Januari, masih ada delapan provinsi yang belum mengetok APBD 2017-nya.

Merujuk pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah (UU Pemda), APBD semestinya diketok sebelum tahun anggaran dimulai. Itu artinya, APBD 2017 seharusnya sudah selesai disahkan selambat-lambatnya pada 31 Desember 2016. Bahkan, pada pasal 312 ayat 1 UU tersebut, kepala daerah dan DPRD sebenarnya diwajibkan untuk menyetujui bersama RAPBD paling lambat satu bulan sebelum dimulainya tahun anggaran setiap tahun.

Dirjen Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Reydonnyzar Moenek mengatakan, delapan daerah tersebut sudah mendapat teguran dari pemerintah pusat. ”Kami minta untuk melakukan langkah-langkah penyelesaian terkait RAPBD dimaksud,” ujarnya, kemarin (2/1). Delapan provinsi tersebut adalah Aceh, Sumatera Utara, Kepulauan Riau, Kalimantan Timur, Bengkulu, Maluku Utara, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Tenggara.

Di level pemerintah kabupaten/kota, keterlambatan pengesahan APBD juga terjadi. Hanya, pemerintah pusat belum selesai melakukan rekapitulasi. Keterlambatan itu mengulang kecenderungan yang sama pada tahun-tahun sebelumnya. Contohnya, tahun lalu jumlah keterlambatan di level kabupaten/kota cukup banyak. Yakni, 82 di antara total 514 kabupaten/kota.

Doni –sapaan akrab Reydonnyzar– menjelaskan, keterlambatan pengesahan APBD sering disebabkan belum selesainya penyesuaian implementasi Peraturan Pemerintah (PP) 18 Tahun 2016 tentang Organisasi Perangkat Daerah. Selain itu, terjadi tarik-menarik antara kepala daerah dan DPRD terkait dengan pos-pos belanja tertentu.

Namun, Doni memastikan, pihaknya memantau terus dinamika di delapan daerah tersebut. ”Contoh yang kita fasilitasi adalah Maluku Utara. Mereka menjadwalkan pengesahan di atas 15 Januari. Kami tidak toleransi, harus ada masukan setidaknya 7 Januari,” tuturnya.

Dalam UU Pemda, sebetulnya ada norma yang menyangkut pemberian sanksi bagi kepala daerah dan DPRD yang terlambat menyelesaikan pengesahan APBD sesuai ketentuan. Hanya, peraturan teknis mengenai sanksi tersebut masih digodok pemerintah pusat. Jika sudah disahkan, kepala daerah bisa kehilangan gaji dan tunjangannya selama enam bulan kalau terbukti lalai mengesahkan APBD.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng menjelaskan, keterlambatan pengesahan bisa membawa banyak kerugian. Baik bagi pemerintah daerah maupun masyarakat secara umum. Sebab, dengan terlambatnya pengesahan, otomatis waktu penggunaannya pun molor. Bagi masyarakat sendiri, itu berarti layanan publik berpotensi terganggu. ”Anggaran itu, durasi belanjanya akan terpotong,” ujarnya saat dihubungi.

Dampak lain adalah adanya upaya penghabisan anggaran pada akhir tahun secara jor-joran. Itu terpaksa dilakukan karena pada awal tahun belum bisa dibelanjakan. ’’Jadi, akan ada inefisiensi juga,” imbuhnya.

Untuk itu, ke depan Endi berharap pemerintah pusat bisa lebih mendisiplinkan daerah terkait dengan pengesahan APBD. Selain agar penggunaan bisa lebih efisien, hak masyarakat untuk mendapatkan pelayanan terbaik bisa terwujud. (far/c7/fat)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/