25 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Driver Dipatok Rp2 Juta, Vendor Dituding Cari Untung

Foto: Triadi Wibowo/Sumut Pos
Petugas Dinas Perhubungan Sumut dibantu aparat kepolisian, memeriksa kendaraan plat hitam yang diduga mengangkut penumpang, saat razia Taxi Online di depan pintu masuk Sun Plaza Jalan KH Zainul Arifin Medan, Rabu (2/8/2018).

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Kebijakan pemerintah melegalkan taksi online, dinilai hanya menguntungkan pihak tertentu dan merugikan para driver. Pasalnya, jika ingin bergabung dengan perusahaan yang telah memiliki legalitas, mereka wajib membayar uang pendaftaran dan iuran yang dinilai memberatkan para driver.

Eko, seorang pengendara angkutan berbasis aplikasi, mengaku keberatan atas cara yang dibuat pemerintah itu. Menurutnya, selain hanya menguntungkan pihak tertentu selaku pemilik perusahaan, kendaraan pribadi mereka juga harus berganti nama kepemilikan di Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK).

“Kita keberatan karena lagi-lagi Organda juga yang diuntungkan. Selama ini, berapa banyak perusahaan atau koperasi angkutan yang tidak peduli dengan mitranya. Mereka mengutip iuran, tetapi hampir tak ada manfaatnya, sama seperti preman saja,” kata Eko.

Dia menilai, jika pemerintah mengharuskan ada legalitas, sebaiknya regulasi dijalankan langsung dinas terkait. Sehingga segala jenis kutipan, iuran maupun retribusi yang ada jelas arahnya dan lebih meyakinkan. Karena itu, Eko menganggap cara seperti ini hanya memindahkan kewenangan dan melepaskan tanggungjawab.

“Makanya saya dan teman-teman lainnya, sepakat untuk tidak dulu mendaftarkan ke perusahaan. Karena kalau begini, bukan solusi,” katanya.

Roy, seorang sopir Grab, juga merasa keberatan dengan kebijakan tersebut. Dia merasa aturan itu hanya menguntungkan satu pihak yakni koperasi. Dia juga mempertanyakan alasan Dishub Sumut menunjuk lima perusahaan koperasi itu, dan apa pertimbangan dalam menetapkan besaran tarif. “Jangan-jangan ini ujung dari aksi unjuk rasa becak, supaya mereka kebagian uang. Sepertinya tukang becak pun dimanfaatkan atau ditunggangi oknum tertentu,” kata pria yang mengaku sebagai mahasiswa di salah satun PTS di Kota Medan itu.

Roy merasa ada yang aneh dalam kebijakan ini. “Bisa saja ini permainan Dishub bersama pihak koperasi atau Organda. Ini hanya menguntungkan pihak tertentu, sopir taksi online yang kena getahnya. Permenhub 26/2017 tidak bicara tarif, ini juga sepertinya di salah artikan,” katanya penuh curiga.

Dia pun coba menghitung perputaran uang dari biaya pendaftaran dan iuran yang dikenakan kepada sopir taksi online. “Kalau jumlah taksi online di Medan ada 3.500 unit. Maka uang pendaftaran yang dikelola 5 koperasi mencapai Rp7 miliar, dengan hitungan biaya pendaftaran atau perizinan Rp2 juta,” katanya.

Sedangkan untuk uang iuran, lanjut Roy, sopir taksi online dikenakan Rp700 ribu per bulan. Kalau jumlah taksi online 3.500 unit, maka peredaran uangnya mencapai Rp2,4 miliar perbulan. “Bukan jumlah yang kecil itu, bukan tidak mungkin itu disalah gunakan. Bukan tidak mungkin itu permainan pihak koperasi dengan Dishub,” jelasnya.

Seperti diketahui, ada lima perusahaan yang telah mendapatkan izin untuk beroperasi menggunakan aplikasi. Menurut data yang diperoleh Sumut Pos melalui pengumuan di kantor Grab yang berada di komplek CBD Polonia, kelima perusahaan itu yakni PT Raja Tambun Jaya beralamat di Jalan Bunga Mawar No 92 (Koserna) Medan Selayang. Kemudian PT Rahayu Medan Ceria (RMC) di Jalan Setiabudi Komplek Setiabudi Center Blok B No 12.

PT Alga Sempurna Mandiri, alamat di Jalan Bunga Terompet/Balai No 10 Medan Selayang. PT Cipta Lestari Trans Sejahtera, alamat Jalan Setia Budi No 460. Dan Koperasi Reha Sakti Bersama, alamat Jalan DI Panjaitan No 134.

Foto: Triadi Wibowo/Sumut Pos
Petugas Dinas Perhubungan Sumut dibantu aparat kepolisian, memeriksa kendaraan plat hitam yang diduga mengangkut penumpang, saat razia Taxi Online di depan pintu masuk Sun Plaza Jalan KH Zainul Arifin Medan, Rabu (2/8/2018).

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Kebijakan pemerintah melegalkan taksi online, dinilai hanya menguntungkan pihak tertentu dan merugikan para driver. Pasalnya, jika ingin bergabung dengan perusahaan yang telah memiliki legalitas, mereka wajib membayar uang pendaftaran dan iuran yang dinilai memberatkan para driver.

Eko, seorang pengendara angkutan berbasis aplikasi, mengaku keberatan atas cara yang dibuat pemerintah itu. Menurutnya, selain hanya menguntungkan pihak tertentu selaku pemilik perusahaan, kendaraan pribadi mereka juga harus berganti nama kepemilikan di Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK).

“Kita keberatan karena lagi-lagi Organda juga yang diuntungkan. Selama ini, berapa banyak perusahaan atau koperasi angkutan yang tidak peduli dengan mitranya. Mereka mengutip iuran, tetapi hampir tak ada manfaatnya, sama seperti preman saja,” kata Eko.

Dia menilai, jika pemerintah mengharuskan ada legalitas, sebaiknya regulasi dijalankan langsung dinas terkait. Sehingga segala jenis kutipan, iuran maupun retribusi yang ada jelas arahnya dan lebih meyakinkan. Karena itu, Eko menganggap cara seperti ini hanya memindahkan kewenangan dan melepaskan tanggungjawab.

“Makanya saya dan teman-teman lainnya, sepakat untuk tidak dulu mendaftarkan ke perusahaan. Karena kalau begini, bukan solusi,” katanya.

Roy, seorang sopir Grab, juga merasa keberatan dengan kebijakan tersebut. Dia merasa aturan itu hanya menguntungkan satu pihak yakni koperasi. Dia juga mempertanyakan alasan Dishub Sumut menunjuk lima perusahaan koperasi itu, dan apa pertimbangan dalam menetapkan besaran tarif. “Jangan-jangan ini ujung dari aksi unjuk rasa becak, supaya mereka kebagian uang. Sepertinya tukang becak pun dimanfaatkan atau ditunggangi oknum tertentu,” kata pria yang mengaku sebagai mahasiswa di salah satun PTS di Kota Medan itu.

Roy merasa ada yang aneh dalam kebijakan ini. “Bisa saja ini permainan Dishub bersama pihak koperasi atau Organda. Ini hanya menguntungkan pihak tertentu, sopir taksi online yang kena getahnya. Permenhub 26/2017 tidak bicara tarif, ini juga sepertinya di salah artikan,” katanya penuh curiga.

Dia pun coba menghitung perputaran uang dari biaya pendaftaran dan iuran yang dikenakan kepada sopir taksi online. “Kalau jumlah taksi online di Medan ada 3.500 unit. Maka uang pendaftaran yang dikelola 5 koperasi mencapai Rp7 miliar, dengan hitungan biaya pendaftaran atau perizinan Rp2 juta,” katanya.

Sedangkan untuk uang iuran, lanjut Roy, sopir taksi online dikenakan Rp700 ribu per bulan. Kalau jumlah taksi online 3.500 unit, maka peredaran uangnya mencapai Rp2,4 miliar perbulan. “Bukan jumlah yang kecil itu, bukan tidak mungkin itu disalah gunakan. Bukan tidak mungkin itu permainan pihak koperasi dengan Dishub,” jelasnya.

Seperti diketahui, ada lima perusahaan yang telah mendapatkan izin untuk beroperasi menggunakan aplikasi. Menurut data yang diperoleh Sumut Pos melalui pengumuan di kantor Grab yang berada di komplek CBD Polonia, kelima perusahaan itu yakni PT Raja Tambun Jaya beralamat di Jalan Bunga Mawar No 92 (Koserna) Medan Selayang. Kemudian PT Rahayu Medan Ceria (RMC) di Jalan Setiabudi Komplek Setiabudi Center Blok B No 12.

PT Alga Sempurna Mandiri, alamat di Jalan Bunga Terompet/Balai No 10 Medan Selayang. PT Cipta Lestari Trans Sejahtera, alamat Jalan Setia Budi No 460. Dan Koperasi Reha Sakti Bersama, alamat Jalan DI Panjaitan No 134.

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/