25 C
Medan
Wednesday, October 16, 2024
spot_img

Anak Medan yang Nakal

Pangkostrad Letjen Azmyn Yusri Nasution

Gaya khas militer. Tapi, begitu bicara soal kampung halaman, jenderal bintang tiga kelahiran Medan 1954 itu begitu rileks dan antusias. Kenangan masa remaja masih begitu melekat di benak Letjen Azmyn Yusri Nasution, yang kini menjadi Pangkostrad.

Alumni SMA 2 Medan itu masih ingat betul, dulu suka main kebut-kebutan motor di kawasan bundaran dekat bandara Polonia, yang sekarang ada SPBU-nya.

“Dulu di situ penuh, kalau sore kebut-kebutan di situ,” ujar mantan Aster Panglima TNI itu, saat ditemui sejumlah wartawan, usai acara Kerja Bhakti Kostrad di Masjid Istiqlal dan Gereja Kathedral, Jakarta, Jumat (30/9).

Mantan Pangdam XVII/Cenderawasih itu tak memungkiri, di kala remaja dirinya nakal, seperti para remaja Medan pada umumnya. “Saya agak nakal. Nakal boleh asal tak jahat. Nakal itu biasa, laki-laki,” ujar alumni AKABRI 1977 itu.
Kampung halaman suami HS Hanum Siregar itu ada dua, yakni Medan dan Padangsidimpuan. Ini lantaran ayahnya, Kol Infantri HM Nurdin Nasution, dari Medan mendapat tugas menjadi bupati Padangsidempuan, dari 1960-1975.  Sekolah TK di Medan, lantas SD di Padangsidimpuan, mengikuti sang ayah.

Masa kanak-kanak di Padangsidempuan itu juga membentuk sifat karakter tentara yang tiga kali terjun di Operasi Seroja, Timtim, itu. Meski dari keluarga muslim, AY Nasution kecil begitu baur dengan umat Kristen.
“Di samping rumah dinas bapak saya ada gereja, teman bermain saya juga banyak yang beda agama. Saya sering bermain di gereja, menarik lonceng. Pagi jam enam datang ke gereja, menarik lonceng, sore datang lagi menarik tali lonceng lagi,” kata bapak dua anak itu.

“Masa kecil itu mempengaruhi saya,” imbuhnya. Kemarin, dengan mengerahkan 1.200 pasukan Kostrad, AY Nasution bersama Wali Kota Jakarta Pusat Dr H Saefullah, MPd, memimpin kerja bakti pembersihkan kawasan Masjid Istiqlal dan Gereja Kathedral. Bahkan, dia ikut naik perahu karet bersama sejumlah pasukannya untuk membersihkan kali di seputar Istiqlal.

Saat di Gereja Kathedral, didampingi Romo Broto,  pria yang mengeyam pendidikan di sejumlah negara itu juga tak sungkan masuk gereja, mengagumi arsitektur bangunan gereja.

“Jangan ada pejabat dan tokoh-tokoh masyarakat di Sumut yang membuat pengkotak-kotakan berdasarkan suku dan agama. Jangan dipilah-pilahkan, itu sangat tidak baik,” pesannya saat ditanya kondisi Sumut saat ini.

Budaya Batak, katanya, juga sangat membentuk karakternya. “Harus diingat, agama itu belakangan lahir, adat budaya duluan,” katanya. “Budaya, dalihan na tolu. Itu yang membuat Sumut bertahan, tak terganggu oleh pengaruh upaya perpecahan dari luar,” imbuh pria yang mengawali karir militer sebagai Danton 1/A Yon 521 DAM VIII/Brawijaya, itu.
Penugasan militer, yang selalu di operasi dan tak pernah di intelijen, membuatnya lebih bersifat terbuka dan selalu berpikiran positif.  “Berpikir positif, kreatif, dan optimis. Kalau di intelijen, harus curiga terus,” ucapnya berseloroh.
Eh, kapan Panglima biasanya balik Medan? Dia cerita, lantaran di Sumut tak ada kesatuan Kostrad, maka tak ada alasan dinas ke Medan. Jadi, ke Medan jika ada acara keluarga atau undangan resmi dari kolega. “Atau saat ziarah. Kuburan orangtua saya dan mertua saya, bertetangga, di Taman Makam Pahlawan di Medan,” pungkasnya.

Karya Bhakti

Dalam rangka peringatan HUT TNI ke-66 tahun 2011, seribu orang prajurit Kostrad melaksanakan karya bhakti di areal Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral Jakarta Pusat, Jumat (30/9). Pemilihan lokasi, dilatarbelakangi cakupan wilayah Pembinaan Teritorial Makostrad dan terbatasnya tenaga yang dapat dipekerjakan oleh pengurus masjid, khususnya pada bagian sungai yang melintas areal Istiqlal.

Di areal masjid terbesar di Asia Tenggara yang diarsiteki oleh Ir Silaban, Panglima Kostrad menanam pohon Trembesi sebagai wujud partisipasi Letjen TNI AY Nasution terhadap program penghijauan nasional. Gereja Katedral juga merupakan sasaran karya bakti prajurit Kostrad yang berdekatan dengan Istiqlal. Pemilihan sasaran ini untuk menjaga keseimbangan dan kebersamaan antara penganut agama dalam mengimplementasikan Pancasila. Dengan peralatan yang sangat sederhana, prajurit Kostrad sudah mampu menyelesaikan sasaran karya bhakti dengan baik dalam tempo 3 jam. Turut hadir mendampingi Pangkostrad, Kaskostrad Mayjen TNI Hendra Rizal, para Asisten dan Kabalak Kostrad serta Wali Kota Jakarta Pusat. Wali Kota Jakarta Pusat turut menyambut pelaksanaan karya bakti prajurit Kostrad, karena selain membantu Pemkot Jakarta Pusat dalam penanganan kebersihan, juga sebagai wujud Kemanunggalan TNI dengan rakyat. Hal senada juga disampaikan oleh pihak manajemen Masjid Istiqlal maupun Gereja Katedral, bahkan mereka berharap ke depan kegiatan karya bakti Kostrad bukan yang terakhir.

Meriam Kostrad Produksi 1942

Setiap menjelang Hari Ulang Tahun (HUT) TNI, persoalan alat utama sistem persenjataan (alutsista) selalu menjadi topik pembicaraan dan keprihatinan. Persenjataan berat yang digunakan Komando Cadangan Staregis Angkatan Darat (Kostrad) misalnya, meriam yang ada merupakan tipe 76 produksi 1942 dan 1948.
Meriam dengan jarak tembak 14 kilometer itulah yang digunakan Yonarmed 10/2/1 Kostrad saat menggelar latihan menembak di Lapangan Tembak Armed, Pusdikpassus, Batujajar, Jabar, sejak 28 September dan berakhir Senin (3/10) hari ini.

Meski demikian, sebanyak 826 personel Kostrad yang ikut latihan tetap semangat, saat ditinjau langsung Pangkostrad  Letjen TNI Azmyn Yusri Nasution, akhir pekan lalu. Dalam arahannya di depan pasukan, AY Nasution mengatakan, meski senjata-senjata berat yang digunakan sudah berumur tua, namun lantaran bagus perawatannya, meriam itu masih layak digunakan di pertempuran.

“Karena kita rawat dengan baik, maka masih layak dan ampuh untuk pertempuran,” ujar alumni AKABRI 1977 itu. Dia juga mengingatkan para prajuritnya agar serius berlatih. Alasannya, latihan yang memakan biaya Rp4 miliar itu harus dipertanggungjawabkan kepada rakyat. Pria kelahiran Medan itu menyebutkan, satu peluru yang diluncurkan dari meriam itu harganya Rp12 juta.

“Ingat, sekali tembak Rp12 juta. Duuung…Rp12 juta. Duung…Rp12 juta. Semua uang rakyat. Jadi tak boleh main-main, harus serius. Lakukan yang terbaik dan tetap semangat,” pesannya.

Meski senjata berat yang digunakan sudah uzur, kepada wartawan AY Nasution mengatakan, yang terpenting bukan soal umur senjata. “Tapi harus dilihat sasarannya. Hancur nggak? Mati nggak? Kita nggak persoalkan tahun produksinya,” kata Mantan Pangdam XVII/Cenderawasih itu.

Kabar yang menggembirakan, dalam waktu dekat segera datang meriam tipe 105 dari Korea Selatan, yang jarak tembaknya bisa mencapai 14 kilometer. “Ke depan, TNI AD juga akan menyiapkan type 155, yang jarak tembaknya 50 kilometer,” ujarnya.

Saat latihan menembak di bawah terik matahari itu, AY Nasution juga ikut menembak dengan meriam. Dia juga ikut mendekati ke sasaran tembak yang jaraknya 7 kilometer dari pos penembakan, guna mengecek kena tidaknya sasaran. Yang memprihatinkan, teropong yang digunakan para prajurit Kostrad untuk melihat titik sasaran, juga sudah uzur, yakni teropong gunting produksi Yugoslavia tahun 1940. (sam)

Pangkostrad Letjen Azmyn Yusri Nasution

Gaya khas militer. Tapi, begitu bicara soal kampung halaman, jenderal bintang tiga kelahiran Medan 1954 itu begitu rileks dan antusias. Kenangan masa remaja masih begitu melekat di benak Letjen Azmyn Yusri Nasution, yang kini menjadi Pangkostrad.

Alumni SMA 2 Medan itu masih ingat betul, dulu suka main kebut-kebutan motor di kawasan bundaran dekat bandara Polonia, yang sekarang ada SPBU-nya.

“Dulu di situ penuh, kalau sore kebut-kebutan di situ,” ujar mantan Aster Panglima TNI itu, saat ditemui sejumlah wartawan, usai acara Kerja Bhakti Kostrad di Masjid Istiqlal dan Gereja Kathedral, Jakarta, Jumat (30/9).

Mantan Pangdam XVII/Cenderawasih itu tak memungkiri, di kala remaja dirinya nakal, seperti para remaja Medan pada umumnya. “Saya agak nakal. Nakal boleh asal tak jahat. Nakal itu biasa, laki-laki,” ujar alumni AKABRI 1977 itu.
Kampung halaman suami HS Hanum Siregar itu ada dua, yakni Medan dan Padangsidimpuan. Ini lantaran ayahnya, Kol Infantri HM Nurdin Nasution, dari Medan mendapat tugas menjadi bupati Padangsidempuan, dari 1960-1975.  Sekolah TK di Medan, lantas SD di Padangsidimpuan, mengikuti sang ayah.

Masa kanak-kanak di Padangsidempuan itu juga membentuk sifat karakter tentara yang tiga kali terjun di Operasi Seroja, Timtim, itu. Meski dari keluarga muslim, AY Nasution kecil begitu baur dengan umat Kristen.
“Di samping rumah dinas bapak saya ada gereja, teman bermain saya juga banyak yang beda agama. Saya sering bermain di gereja, menarik lonceng. Pagi jam enam datang ke gereja, menarik lonceng, sore datang lagi menarik tali lonceng lagi,” kata bapak dua anak itu.

“Masa kecil itu mempengaruhi saya,” imbuhnya. Kemarin, dengan mengerahkan 1.200 pasukan Kostrad, AY Nasution bersama Wali Kota Jakarta Pusat Dr H Saefullah, MPd, memimpin kerja bakti pembersihkan kawasan Masjid Istiqlal dan Gereja Kathedral. Bahkan, dia ikut naik perahu karet bersama sejumlah pasukannya untuk membersihkan kali di seputar Istiqlal.

Saat di Gereja Kathedral, didampingi Romo Broto,  pria yang mengeyam pendidikan di sejumlah negara itu juga tak sungkan masuk gereja, mengagumi arsitektur bangunan gereja.

“Jangan ada pejabat dan tokoh-tokoh masyarakat di Sumut yang membuat pengkotak-kotakan berdasarkan suku dan agama. Jangan dipilah-pilahkan, itu sangat tidak baik,” pesannya saat ditanya kondisi Sumut saat ini.

Budaya Batak, katanya, juga sangat membentuk karakternya. “Harus diingat, agama itu belakangan lahir, adat budaya duluan,” katanya. “Budaya, dalihan na tolu. Itu yang membuat Sumut bertahan, tak terganggu oleh pengaruh upaya perpecahan dari luar,” imbuh pria yang mengawali karir militer sebagai Danton 1/A Yon 521 DAM VIII/Brawijaya, itu.
Penugasan militer, yang selalu di operasi dan tak pernah di intelijen, membuatnya lebih bersifat terbuka dan selalu berpikiran positif.  “Berpikir positif, kreatif, dan optimis. Kalau di intelijen, harus curiga terus,” ucapnya berseloroh.
Eh, kapan Panglima biasanya balik Medan? Dia cerita, lantaran di Sumut tak ada kesatuan Kostrad, maka tak ada alasan dinas ke Medan. Jadi, ke Medan jika ada acara keluarga atau undangan resmi dari kolega. “Atau saat ziarah. Kuburan orangtua saya dan mertua saya, bertetangga, di Taman Makam Pahlawan di Medan,” pungkasnya.

Karya Bhakti

Dalam rangka peringatan HUT TNI ke-66 tahun 2011, seribu orang prajurit Kostrad melaksanakan karya bhakti di areal Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral Jakarta Pusat, Jumat (30/9). Pemilihan lokasi, dilatarbelakangi cakupan wilayah Pembinaan Teritorial Makostrad dan terbatasnya tenaga yang dapat dipekerjakan oleh pengurus masjid, khususnya pada bagian sungai yang melintas areal Istiqlal.

Di areal masjid terbesar di Asia Tenggara yang diarsiteki oleh Ir Silaban, Panglima Kostrad menanam pohon Trembesi sebagai wujud partisipasi Letjen TNI AY Nasution terhadap program penghijauan nasional. Gereja Katedral juga merupakan sasaran karya bakti prajurit Kostrad yang berdekatan dengan Istiqlal. Pemilihan sasaran ini untuk menjaga keseimbangan dan kebersamaan antara penganut agama dalam mengimplementasikan Pancasila. Dengan peralatan yang sangat sederhana, prajurit Kostrad sudah mampu menyelesaikan sasaran karya bhakti dengan baik dalam tempo 3 jam. Turut hadir mendampingi Pangkostrad, Kaskostrad Mayjen TNI Hendra Rizal, para Asisten dan Kabalak Kostrad serta Wali Kota Jakarta Pusat. Wali Kota Jakarta Pusat turut menyambut pelaksanaan karya bakti prajurit Kostrad, karena selain membantu Pemkot Jakarta Pusat dalam penanganan kebersihan, juga sebagai wujud Kemanunggalan TNI dengan rakyat. Hal senada juga disampaikan oleh pihak manajemen Masjid Istiqlal maupun Gereja Katedral, bahkan mereka berharap ke depan kegiatan karya bakti Kostrad bukan yang terakhir.

Meriam Kostrad Produksi 1942

Setiap menjelang Hari Ulang Tahun (HUT) TNI, persoalan alat utama sistem persenjataan (alutsista) selalu menjadi topik pembicaraan dan keprihatinan. Persenjataan berat yang digunakan Komando Cadangan Staregis Angkatan Darat (Kostrad) misalnya, meriam yang ada merupakan tipe 76 produksi 1942 dan 1948.
Meriam dengan jarak tembak 14 kilometer itulah yang digunakan Yonarmed 10/2/1 Kostrad saat menggelar latihan menembak di Lapangan Tembak Armed, Pusdikpassus, Batujajar, Jabar, sejak 28 September dan berakhir Senin (3/10) hari ini.

Meski demikian, sebanyak 826 personel Kostrad yang ikut latihan tetap semangat, saat ditinjau langsung Pangkostrad  Letjen TNI Azmyn Yusri Nasution, akhir pekan lalu. Dalam arahannya di depan pasukan, AY Nasution mengatakan, meski senjata-senjata berat yang digunakan sudah berumur tua, namun lantaran bagus perawatannya, meriam itu masih layak digunakan di pertempuran.

“Karena kita rawat dengan baik, maka masih layak dan ampuh untuk pertempuran,” ujar alumni AKABRI 1977 itu. Dia juga mengingatkan para prajuritnya agar serius berlatih. Alasannya, latihan yang memakan biaya Rp4 miliar itu harus dipertanggungjawabkan kepada rakyat. Pria kelahiran Medan itu menyebutkan, satu peluru yang diluncurkan dari meriam itu harganya Rp12 juta.

“Ingat, sekali tembak Rp12 juta. Duuung…Rp12 juta. Duung…Rp12 juta. Semua uang rakyat. Jadi tak boleh main-main, harus serius. Lakukan yang terbaik dan tetap semangat,” pesannya.

Meski senjata berat yang digunakan sudah uzur, kepada wartawan AY Nasution mengatakan, yang terpenting bukan soal umur senjata. “Tapi harus dilihat sasarannya. Hancur nggak? Mati nggak? Kita nggak persoalkan tahun produksinya,” kata Mantan Pangdam XVII/Cenderawasih itu.

Kabar yang menggembirakan, dalam waktu dekat segera datang meriam tipe 105 dari Korea Selatan, yang jarak tembaknya bisa mencapai 14 kilometer. “Ke depan, TNI AD juga akan menyiapkan type 155, yang jarak tembaknya 50 kilometer,” ujarnya.

Saat latihan menembak di bawah terik matahari itu, AY Nasution juga ikut menembak dengan meriam. Dia juga ikut mendekati ke sasaran tembak yang jaraknya 7 kilometer dari pos penembakan, guna mengecek kena tidaknya sasaran. Yang memprihatinkan, teropong yang digunakan para prajurit Kostrad untuk melihat titik sasaran, juga sudah uzur, yakni teropong gunting produksi Yugoslavia tahun 1940. (sam)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/