25.6 C
Medan
Tuesday, May 21, 2024

Apriyanto Beber ’Daftar Dosa’ Dir Narkoba

MEDAN-Mantan Wadir Narkoba Poldasu Apriyanto Basuki membeberkan sejumlah ’daftar dosa’ Direktur Narkoba Polda Sumut, Anjar Dewantoro. Ajang buka dosa itu dilakukannya dalam sidang lanjutan kasus penyalahgunaan psikotropika, yang digelar di Pengadilan Negeri (PN) Medan, Selasa (3/7).
Daftar dosa yang dibebernya antara lain menuduh mantan atasannya merekayasa kasusnya, penukaran barang bukti sabu-sabu dengan tawas, penjualan barang bukti melalui orang-orang tertentu, pemotongan anggaran, dan lainnya.

“Pokok dalam kasus ini adalah, Direktur Narkoba Polda Sumut Anjar Dewantoro berniat menyingkirkan saya dari jabatan Wadir. Caranya, dengan memanfaatkan persoalan Jhonson Jingga dan Sri Agustina, yang kebetulan kenal baik dengan saya,” tegasnya di depan hakim. Ia yakin, perkara yang menimpanya bukan pada keterlibatannya dalam penggunaan psikotropika jenis happy five yang dilakukan oleh Jhonson Jingga, Sri Agustina, Ade Hendrawa dan Wina Harahap (berkas terpisah), sebagaimana yang dituangkan JPU dalam materi tuntutan.

Dalam sidang, terdakwa membacakan nota pembelaannya sendiri atas perkara kepemilikan narkotika jenis happy five. Untuk kesekian kalinya, Apriyanto mengaku kasus yang dihadapinya adalah rekayasa mantan atasannya Direktur Narkoba Polda Sumut, yang ia tuduh bertujuan menghancurkan karirnya dengan cara memaksakan keterlibatannya.

Di hadapan majelis hakim yang diketuai Hasban Panjaitan, Apriyanto menuturkan, pada hari Kamis, 9 Februari 2012 (dua hari sebelum penggerebekan), dirinya mendapat surat tugas langsung dari BNN untuk mengikuti study banding tentang narkoba di Bangkok-Thailand.

Dalam surat tersebut, Apriyanto mengatakan langsung ditunjuk oleh BNN, sementara untuk Polda lainnya yang ditunjuk adalah Direktur Narkoba dan bukan Wadir.

Apriyanto juga mengaku, hubungan antara dirinya dengan Direktur Narkoba itu sudah tidak harmonis lagi. Hal itu dipicu penolakan Apriyanto atas beberapa penyimpangan yang dilaksanakan atasannya, seperti penukaran barang bukti sabu-sabu dengan tawas, penjualan kembali barang bukti melalui orang-orang tertentu yang sengaja dipelihara oleh Dir Narkoba.

“Terdapat beberapa kasus lain yang membuat hubungan saya dengan atasan tidak harmonis. Seperti penanganan kasus narkoba yang sengaja dikondisikan, sehingga yang tertangkap bukanlah orang yang benar-benar gembong narkoba, akan tetapi orang kecil yang sengaja dikorbankan,” ujarnya.
Lanjut Apriyanto, terjadi pula pemotongan dana-dana anggaran untuk berbagai kegiatan serta operasional pelaksanaan tugas, yang berakibat sulitnya para anggota melaksanakan tugas-tugas pemberantasan narkoba karena kekurangan biaya operasional.

Dalam sidang yang digelar sore hari itu, Apriyanto juga bercerita bahwa pada saat penangkapan di kafe D’core Jalan Merak Jingga, dirinya tidak berada di tempat. Yang berada di TKP, menurutnya, hanya Jhonson Jingga selaku pemilik dan Sri Agustina. “Terbentuknya skenario penangkapan saya ini didukung pula oleh bukti keberadaan saya yang pada saat itu berada di Bangkok, dalam rangka melaksanakan perintah tugas BNN,” ungkapnya.

Ia juga mengkritisi terhadap tuntutan JPU yang mempersalahkannya melanggar pasal 60 ayat 5 jo pasal 71 ayat 1 UU RI No 5 tahun 1997, yang menyebut bahwa dirinya telah menerima penyerahan psikotropika dan telah bersekongkol atau bersepakat untuk melakukan, melaksanakan, membantu, menyuruh turut melakukan, menganjurkan atau mengorganisasikan suatu tindak pidana. “Tuntutan ini sangat lemah karena tidak memiliki dua alat bukti. Sehingga tuntutan ini seharusnya ditolak oleh majelis hakim dan membebaskan saya dari semua tuntutan,” ungkapnya.

Usai membacakan pembelaannya, JPU pada persidangan yang dipimpin Nova mengatakan, membantah dan menolak data ataupun informasi dalam nota pembelaan Apriyanto kecuali hal-hal yang secara tegas dan tetap dalam tuntutan yang dibacakan. “Majelis hakim, kami selaku JPU sepenuhnya menolak dan membantah apa yang dibacakan terdakwa dalam nota pembelaan tadi kecuali beberapa hal. Kami juga tetap pada tuntutan awal kami,” ujar Nova.
Mendengar pernyataan tadi, Apriyanto dan pengacaranya pun tampak saling lihat. Majelis hakim memberikan durasi singkat untuk terdakwa bersama pengacaranya rembuk. Selang beberapa detik, tim penasehat hukum Apriyanto pun mengaku tetap pada pembelaan yang dibacakan kliennya. Selanjutnya, majelis hakim menunda sidang putusan sampai tanggal 10 Juli mendatang. (far)

MEDAN-Mantan Wadir Narkoba Poldasu Apriyanto Basuki membeberkan sejumlah ’daftar dosa’ Direktur Narkoba Polda Sumut, Anjar Dewantoro. Ajang buka dosa itu dilakukannya dalam sidang lanjutan kasus penyalahgunaan psikotropika, yang digelar di Pengadilan Negeri (PN) Medan, Selasa (3/7).
Daftar dosa yang dibebernya antara lain menuduh mantan atasannya merekayasa kasusnya, penukaran barang bukti sabu-sabu dengan tawas, penjualan barang bukti melalui orang-orang tertentu, pemotongan anggaran, dan lainnya.

“Pokok dalam kasus ini adalah, Direktur Narkoba Polda Sumut Anjar Dewantoro berniat menyingkirkan saya dari jabatan Wadir. Caranya, dengan memanfaatkan persoalan Jhonson Jingga dan Sri Agustina, yang kebetulan kenal baik dengan saya,” tegasnya di depan hakim. Ia yakin, perkara yang menimpanya bukan pada keterlibatannya dalam penggunaan psikotropika jenis happy five yang dilakukan oleh Jhonson Jingga, Sri Agustina, Ade Hendrawa dan Wina Harahap (berkas terpisah), sebagaimana yang dituangkan JPU dalam materi tuntutan.

Dalam sidang, terdakwa membacakan nota pembelaannya sendiri atas perkara kepemilikan narkotika jenis happy five. Untuk kesekian kalinya, Apriyanto mengaku kasus yang dihadapinya adalah rekayasa mantan atasannya Direktur Narkoba Polda Sumut, yang ia tuduh bertujuan menghancurkan karirnya dengan cara memaksakan keterlibatannya.

Di hadapan majelis hakim yang diketuai Hasban Panjaitan, Apriyanto menuturkan, pada hari Kamis, 9 Februari 2012 (dua hari sebelum penggerebekan), dirinya mendapat surat tugas langsung dari BNN untuk mengikuti study banding tentang narkoba di Bangkok-Thailand.

Dalam surat tersebut, Apriyanto mengatakan langsung ditunjuk oleh BNN, sementara untuk Polda lainnya yang ditunjuk adalah Direktur Narkoba dan bukan Wadir.

Apriyanto juga mengaku, hubungan antara dirinya dengan Direktur Narkoba itu sudah tidak harmonis lagi. Hal itu dipicu penolakan Apriyanto atas beberapa penyimpangan yang dilaksanakan atasannya, seperti penukaran barang bukti sabu-sabu dengan tawas, penjualan kembali barang bukti melalui orang-orang tertentu yang sengaja dipelihara oleh Dir Narkoba.

“Terdapat beberapa kasus lain yang membuat hubungan saya dengan atasan tidak harmonis. Seperti penanganan kasus narkoba yang sengaja dikondisikan, sehingga yang tertangkap bukanlah orang yang benar-benar gembong narkoba, akan tetapi orang kecil yang sengaja dikorbankan,” ujarnya.
Lanjut Apriyanto, terjadi pula pemotongan dana-dana anggaran untuk berbagai kegiatan serta operasional pelaksanaan tugas, yang berakibat sulitnya para anggota melaksanakan tugas-tugas pemberantasan narkoba karena kekurangan biaya operasional.

Dalam sidang yang digelar sore hari itu, Apriyanto juga bercerita bahwa pada saat penangkapan di kafe D’core Jalan Merak Jingga, dirinya tidak berada di tempat. Yang berada di TKP, menurutnya, hanya Jhonson Jingga selaku pemilik dan Sri Agustina. “Terbentuknya skenario penangkapan saya ini didukung pula oleh bukti keberadaan saya yang pada saat itu berada di Bangkok, dalam rangka melaksanakan perintah tugas BNN,” ungkapnya.

Ia juga mengkritisi terhadap tuntutan JPU yang mempersalahkannya melanggar pasal 60 ayat 5 jo pasal 71 ayat 1 UU RI No 5 tahun 1997, yang menyebut bahwa dirinya telah menerima penyerahan psikotropika dan telah bersekongkol atau bersepakat untuk melakukan, melaksanakan, membantu, menyuruh turut melakukan, menganjurkan atau mengorganisasikan suatu tindak pidana. “Tuntutan ini sangat lemah karena tidak memiliki dua alat bukti. Sehingga tuntutan ini seharusnya ditolak oleh majelis hakim dan membebaskan saya dari semua tuntutan,” ungkapnya.

Usai membacakan pembelaannya, JPU pada persidangan yang dipimpin Nova mengatakan, membantah dan menolak data ataupun informasi dalam nota pembelaan Apriyanto kecuali hal-hal yang secara tegas dan tetap dalam tuntutan yang dibacakan. “Majelis hakim, kami selaku JPU sepenuhnya menolak dan membantah apa yang dibacakan terdakwa dalam nota pembelaan tadi kecuali beberapa hal. Kami juga tetap pada tuntutan awal kami,” ujar Nova.
Mendengar pernyataan tadi, Apriyanto dan pengacaranya pun tampak saling lihat. Majelis hakim memberikan durasi singkat untuk terdakwa bersama pengacaranya rembuk. Selang beberapa detik, tim penasehat hukum Apriyanto pun mengaku tetap pada pembelaan yang dibacakan kliennya. Selanjutnya, majelis hakim menunda sidang putusan sampai tanggal 10 Juli mendatang. (far)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/