25 C
Medan
Saturday, May 4, 2024

Keluarga Diculik, Rumah Dibakar

Foto: Fachril/Sumut Pos
Warga Rohingya asal Myanmar di Rumah Deteksi Imigrasi (Rudenim) Belawan, Senin (4/9). Mereka masih trauma atas teror yang dilakukan Pemerintah Myanmar terhadap keluarga mereka.

SUMUTPOS.CO – Pembantaian sadis yang dialami etnis Rohingya di Negara Myanmar menjadi perbincangan serius di dunia internasional. Bahkan, para korban kekejaman pemerintah Myanmar yang kabur ke luar negeri, termasuk yang ada di Rumah Deteksi Imigrasi (Rudenim) Belawan, merasakan trauma yang mendalam.

Salah satu imigran Rohingya, Muhammad Jabar mengaku sudah berada di Indonesia selama 5 tahun. Pelariannya dari Myanmar, karena tidak tahan melihat kekejaman pemerintah dan militer yang melakukan kekerasan kepada mereka.

“Di depan mata saya, adik dan paman saya ditembak, ayah saya diculik dan rumah-rumah dibakar. Semua keluarga saya habis, makanya saya memilih kabur ke negara luar,” kata Jabar kepada Sumut Pos, di Rudenim Belawan, Senin (4/9).

Peristiwa sadis dialami keluarganya terjadi pada 5 tahun silam. Masa itu, pemerintahan Myanmar yang mayoritas dikuasai oleh Agama Budha menolak suku atau etnis Rohingya di negara itu. Akibatnya, seluruh warga Rohingya menjadi sasaran kekerasan dan kekejaman para militer Myanmar. “Banyak masjid, alquran dan rumah dibakar pada masa itu, mereka cukup kejam. Kami warga Rohingya mau dihabisi oleh pemerintah,” kata Jabar yang sudah fasih berbahasa Indonesia ini.

Dirinya bisa sampai ke Indonesia dengan cara menggunakan sampan mengarungi laut hingga menyasar ke daratan Indonesia. Kepergiannya ke Indonesia meninggalkan seorang anak dan istri.

Belakangan, istrinya telah meninggal setahun lalu ditembak oleh militer Myanmar dengan membakar rumah ibu kandungnya. “Saya dengar dari teman satu negara saya, setahun lalu istri saya sudah meninggal ditembak militer, mamak, adik dan anak saya tidak tahu sekarang bagaimana. Karena rumah kami sudah habis dibakar,” ungkap pria berusia 38 dengan nada sedih.

Pembantaian dan kekejaman yang terus-menerus terjadi, menjadi trauma bagi Jabar. Makanya, dia memilih hidup di dalam penjara dari pada hidup di Myanmar dengan kondisi tersiksa. “Kami tak mau pulang ke Myanmar, kami lebih baik hidup seperti ini,” ungkap Jabar.

Harapan Jabar yang mewakili sebanyak 27 imigran Rohingya Myanmar ini, mereka lebih baik menjadi warga negara lain yang bisa diakui oleh pemerintah. “Kami sangat berharap pemerintah Indonesia bisa memberikan kami kehidupan dan mengakui menjadi warga negara, agar kami bisa bekerja dan berkeluarga,” harap pria yang hidup sebatang kara ini.

Disinggung dengan adanya peristiwa yang belakangan ini terjadi, Jabar mengaku sangat sedih dengan penderitaan saudara-saudara mereka. Bahkan, dia yakin pemerintah Myanmar akan terus membantai etnis Rohingya di Myanmar.

Foto: Fachril/Sumut Pos
Warga Rohingya asal Myanmar di Rumah Deteksi Imigrasi (Rudenim) Belawan, Senin (4/9). Mereka masih trauma atas teror yang dilakukan Pemerintah Myanmar terhadap keluarga mereka.

SUMUTPOS.CO – Pembantaian sadis yang dialami etnis Rohingya di Negara Myanmar menjadi perbincangan serius di dunia internasional. Bahkan, para korban kekejaman pemerintah Myanmar yang kabur ke luar negeri, termasuk yang ada di Rumah Deteksi Imigrasi (Rudenim) Belawan, merasakan trauma yang mendalam.

Salah satu imigran Rohingya, Muhammad Jabar mengaku sudah berada di Indonesia selama 5 tahun. Pelariannya dari Myanmar, karena tidak tahan melihat kekejaman pemerintah dan militer yang melakukan kekerasan kepada mereka.

“Di depan mata saya, adik dan paman saya ditembak, ayah saya diculik dan rumah-rumah dibakar. Semua keluarga saya habis, makanya saya memilih kabur ke negara luar,” kata Jabar kepada Sumut Pos, di Rudenim Belawan, Senin (4/9).

Peristiwa sadis dialami keluarganya terjadi pada 5 tahun silam. Masa itu, pemerintahan Myanmar yang mayoritas dikuasai oleh Agama Budha menolak suku atau etnis Rohingya di negara itu. Akibatnya, seluruh warga Rohingya menjadi sasaran kekerasan dan kekejaman para militer Myanmar. “Banyak masjid, alquran dan rumah dibakar pada masa itu, mereka cukup kejam. Kami warga Rohingya mau dihabisi oleh pemerintah,” kata Jabar yang sudah fasih berbahasa Indonesia ini.

Dirinya bisa sampai ke Indonesia dengan cara menggunakan sampan mengarungi laut hingga menyasar ke daratan Indonesia. Kepergiannya ke Indonesia meninggalkan seorang anak dan istri.

Belakangan, istrinya telah meninggal setahun lalu ditembak oleh militer Myanmar dengan membakar rumah ibu kandungnya. “Saya dengar dari teman satu negara saya, setahun lalu istri saya sudah meninggal ditembak militer, mamak, adik dan anak saya tidak tahu sekarang bagaimana. Karena rumah kami sudah habis dibakar,” ungkap pria berusia 38 dengan nada sedih.

Pembantaian dan kekejaman yang terus-menerus terjadi, menjadi trauma bagi Jabar. Makanya, dia memilih hidup di dalam penjara dari pada hidup di Myanmar dengan kondisi tersiksa. “Kami tak mau pulang ke Myanmar, kami lebih baik hidup seperti ini,” ungkap Jabar.

Harapan Jabar yang mewakili sebanyak 27 imigran Rohingya Myanmar ini, mereka lebih baik menjadi warga negara lain yang bisa diakui oleh pemerintah. “Kami sangat berharap pemerintah Indonesia bisa memberikan kami kehidupan dan mengakui menjadi warga negara, agar kami bisa bekerja dan berkeluarga,” harap pria yang hidup sebatang kara ini.

Disinggung dengan adanya peristiwa yang belakangan ini terjadi, Jabar mengaku sangat sedih dengan penderitaan saudara-saudara mereka. Bahkan, dia yakin pemerintah Myanmar akan terus membantai etnis Rohingya di Myanmar.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/