Sayangnya, saat ini satgas perlindungan anak tingkat RT dan RW baru dibentuk di empat kota, yakni Tangerang Selatan, Bekasi, Kabupaten Banyuwangi dan Bengkulu Utara. Kota yang lainnya belum ada satgas atau seksi perlindungan anak. ”Ini membutuhkan kepedulian pemerintah pusat dan kota,” jelasnya.
Yang utama, dengan keberadaan satgas ini, maka orang tua bisa memiliki tambahan masukan dalam mendidik anak. Bahkan, bisa membuat anak menjadi agen yang anti kekerasan dan kejahatan seksual. ”Orang tua belum tentu memahami bagaimana cara membuat anak lebih peka terhadap adanya orang yang berniat jahat,” tuturnya.
Ada beberapa trik agar bisa mendidik anak menjadi agen anti kejahatan seksual, misalnya orang tua mengajarkan bahwa ada bagian tubuh yang dilarang dipegang oleh orang asing. Seperti, dada dan alat vital. ”perlu diberikan contoh, dalam situasi seperti apa baru diperbolehkan pegang. Misalnya, ke dokter dan mandi saja,” ujarnya.
Lalu, anak bisa diberikan cara mencegah agar anggota badannya tidak dipegang orang asing. Misalnya, dengan berteriak dan minta tolong. Atau, melapor kepada orang tua. ”Ini sederhana, namun penting untuk dalam kondisi tertentu mencegah pelecehan dan kejahatan seksual,” paparnya.
Kepekaan anak juga perlu untuk ditingkatkan dengan membiasakan tidak mandi di tempat yang terbuka. Biasanya, anak-anak ini dibiarkan saja mandi di teras atau hujan-hujanan. Sebenarnya, aktivitas semacam itu membuat anak menjadi terbiasa membuka baju dan membuat predator anak makin mudah memangsa. ”Biasakan anak mandi di tempat tertutup. Jangan diperbolehkan orang lain melihat bagian tubuh,” terangnya.
Yang juga penting, biasakan anak untuk tidur sendiri dan jangan biasakan tidur dengan seseorang, walaupun keluarga. Kas Seto menjelaskan bahwa sebenarnya sebagian besar kejahatan seksual terhadap anak itu timbul dan dilakukan oleh orang terdekat, seperti keluarga. Maka, kebiasaan yang bisa memunculkan kejahatan itu harus ditepis. ”Kalau anak sudah memahami itu, maka dia sudah menjadi agen anti kejahatan seksual,” tuturnya.
Selain mendesak segera disahkannya Perppu Nomor 1 tahun 2016 tentang perlindungan anak, Ketua KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) Asrorun Ni’am Soleh turut menghimbau masyarakat untuk mengenyahkan sifat permisif terhadap apa yang terjadi di lingkungannya. Salah satunya, tentu berkaitan dengan maraknya perkumpulan gay saat ini. Sebab bila tidak, tak menutup kemungkinan akan menyasar anak-anak kita.
”Modus kejahatan seksual semakin beragam, jenisnya, tempatnya, korbannya. Seperti kasus Bogor, ada variable gay. Kita harus bersama-sama komitmen untuk memerangi kejahatan seksual ini. Jangan cenderung permisif karena menganggap sudah biasa,” tuturnya.
Diakuinya, pembahasan soal orientasi seksual ini ada pro kontra yang terjadi. Ada elemen masyarakat yang selalu kontra saat ddiajakn ikhtiar untuk menyelesaikan masalah di hulu. Seperti, soal upaya adanya aturan pemberian pidana bagi pelaku perzinaan di luar pernikahan, termasuk di dalamnya hubungan sesama jenis, yang tengah uji materi di Mahkamah Konsitusi. Uji materi dilakukan untuk pasal 284, 285 dan 292 KUHP Undang-undang dasar.
”Mereka berdalih bagian ekspresi kebebasan, orientasi seksual suka sama suka, wilayah private. Tapi begitu disajikan kasus bogor, semua mengutuk pelaku. Empati. Seandainya, anak kita yang terseret bagaimana,”paparnya.