26.7 C
Medan
Sunday, May 19, 2024

Menangis, Merry Purba Merasa Dikorbankan

istimewa
DIPERIKSA: Hakim Adhoc PN Medan Merry Purba menjawab pertanyaan wartawan usai menjalani pemeriksaan di gedung KPK, Rabu (5/9).

JAKARTA,SUMUTPOS.CO – Hakim ad hoc Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri (PN) Medan, Merry Purba tak bisa menahan tangis saat kembali menjalani pemeriksaan di Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta, Rabu (5/9). Merry Purba menangis tersedu-sedu dan mengaku telah ‘dipingpong’ penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi Hakim Ad hoc PN Medan itu sebelumnya datang memenuhi panggilan pemeriksaan KPK sekitar pukul 10.00 WIB.

Namun, selang beberapa puluh menit kemudian, Merry keluar. Ia diantar kembali ke Rutan sekitar 11.31 WIB. Pemeriksaan berlangsung sebentar, karena diberitahukan bahwa sedang ada perubahan nomor surat penyidikan dan akan diperiksa ulang pada pukul 13.00 WIB.

“Kemudian, saya dikembalikan di Rutan. Sesampainya belum setengah jam, saya dikabarkan akan diperiksa di gedung sebelah. Dikabarkan sudah ada penyidik. Tadi kan informasinya jam 1 saya diperiksa,” ujarnya kepada awak media di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (5/9).

Merry tiba lagi di Gedung KPK sekitar pukul 13.06 WIB. Sebelum masuk gedung, ia curhat pada awak media bahwa telah dipingpong. “Jadi saya makan cuma 2-3 sendok nasi. Udah itu datang lagi perintah dari petugas, ini penyidik sudah nunggu. Ini kenapa kok bisa salah-salah begitu,” tambahnya.

Merry mengatakan, sesaat sebelum dibawa kembali ke Gedung KPK, ia diminta oleh seorang penyidik KPK berinisial Boy untuk merubah terlebih dahulu nomor Berita Acara Pernyataan sebelum diperiksa ulang. “Boleh Bu, dirombak dulu ada sedikit kesalahan dari nomor Berita Acara Pernyataan,” cerita Merry sambil menagis tersedu-sedu.

Lantas, dengan kejadian ini, Merry mengaku perlu pendampingan pengacara. “Saya mohon supaya saya didampingi kuasa hukum,” imbuh Merry sebelum masuk Gedung KPK.

Terkait kasus yang menjeratnya, Merry berdalih tak mengetahui perkara dugaan suap yang dituduhkan kepadanya. “Saya mau terbuka, ada apa di balik ini? Saya hampir stres beberapa hari di situ,” ujar Merry sembari menangis.

Merry yang menjadi anggota majelis hakim perkara Tamin merasa ada sesuatu di balik penetapan tersangka dirinya. Dia berkilah tak mengerti soal uang dari Tamin. “Saya enggak tahu ini semua. Tolong berkata jujur, jangan korbankan, mentang-mentang saya ini hakim ad hoc, tidak ada pembela di Mahkamah Agung,” katanya.

Merry juga mengatakan, pihak yang ditangkap tangan oleh KPK adalah panitera pengganti PN Medan Helpandi. Dia mengklaim dijebak sehingga seakan-akan ikut menerima uang suap dari Direktur PT Erni Putra Terari, Tamin Sukardi.

Ia mengaku tak pernah menerima uang sepeser pun terkait perkara Tamin yang ditanganinya itu. Bahkan, kata Merry, uang yang ditemukan di ruang kerjanya merupakan uang yang sengaja diletakan oleh seseorang. “Kalau pun ada keberadaan uang di meja saya, kata mereka ya, saya tidak tahu. Meja saya itu selalu terbuka, dan tidak pernah tertutup dan saya tidak pernah menerima apapun,” ujarnya.

“Makanya saya berkesimpulan, mohon supaya diambil sidik jari siapa yang menerima uang itu dan siapa yang menempatkan uang itu di meja saya,” kata Merry melanjutkan.

Merry pun meminta kepada Marsuddin Nainggolan dan Wahyu Prasetyo Wibowo untuk menjelaskan duduk perkara yang sebenarnya. Dia kembali menegaskan tak mengetahui perkara suap yang menjerat dirinya tersebut. “Saya bukan pemain, saya tidak tahu apa ini semua, coba berpikirlah,” tuturnya.

Lebih lanjut, Merry meminta maaf kepada MA, keluarga, kerabat serta seluruh masyarakat Indonesia atas kejadian yang menjeratnya. Menurutnya, keluarga hingga seluruh masyarakat sudah mengetahui bahwa dirinya ditangkap oleh KPK.

Diketahui, Merry merupakan satu dari empat tersangka kasus suap terhadap PN Medan yang tengah ditangani KPK. Empat tersangka itu yakni, Helpandi, Merry Purba, Tamin Sukardi selaku pihak swasta, dan Hadi Setiawan yang merupakan orang kepercayaan Tamin.

Merry diduga menerima uang sebesar 280 ribu dolar Singapura dari Tamin. Uang suap tersebut diberikan secara dua tahap melalui dua orang perantara. Pemberian tahap pertama dilakukan pada 24 Agustus 2018 di Hotel JW Marriot Medan sebesar 150 ribu dolar Singapura melalui perantara Helpandi dan Hadi Setiawan.

Kemudian, untuk pemberian kedua sebesar 130 ribu dolar Singapura yang diduga akan diberikan kepada Merry oleh Helpandi pada 28 Agustus 2018 di PN Medan. Namun, saat sedang transaksi, KPK keburu melakukan OTT.

KPK menduga uang tersebut diberikan oleh Tamin kepada Merry untuk mempengaruhi putusan perkara kasus korupsi penjualan tanah berstatus aset negara yang menjerat Tamin. Karena dalam putusan yang dibacakan pada 27 Agustus 2018, Merry berpendapat, dakwaan tidak terbukti sehingga majelis hakim berbeda pendapat (dissenting opinion).

Dan Tamin divonis 6 tahun penjara dan denda Rp500 juta subsider enam bulan kurungan dan uang pengganti Rp 132 miliar. Vonis tersebut lebih ringan dari tuntutan jaksa yakni 10 tahun pidana penjara dan denda Rp500 juta subsider enam bulan kurungan dan uang pengganti Rp132 miliar.

Hadi Jadi Pintu Masuk KPK
Sementara, penyerahan diri Hadi Setiawan, orang kepercayaan Tamin Sukardi kepada KPK dianggap bisa menjadi pintu masuk bagi KPK untuk mengungkap dan membongkar sejumlah kasus mafia peradilan yang kemungkinan dilakoni Tamin Sukardi.

“Ya bisa saja ini (menyerahnya Hadi) pintu masuk untuk membongkar kasus lain, tapi bisa juga tangan kanan Tamin Sukardi itu malah menutup akses KPK untuk membongkar kasus lainnya. Tinggal kemauan dan kejelian penyidik KPK untuk hal ini,” kata pengamat hukum Julheri Sinaga ketika diwawancarai Sumut Pos, Rabu (5/9).

Apalagi, baru-baru ini kuasa hukum salah satu warga pemilik lahan pembangunan jalan Tol Medan-Binjai Seksi I Tanjungmulia, mengadukan indikasi permainan perkara konsinyasi (ganti rugi) ke KPK.

Menanggapi itu, Julheri mengatakan, bila memang ada indikasi KKN di perkara konsinyasi itu, harapannya pelapor memberikan bukti-bukti otentik agar KPK bisa bekerja. “Karena pada dasarnya semuanya harus sesuai data dan fakta. Karena langit pun bisa kita klaim milik kita. Jangan sampai laporan itu malah menjadi fitnah,” katanya.

Menurutnya, penegakan hukum di Sumut masih jauh dari kata baik. Hal ini terbukti dari tingginya intensitas KPK ‘main’ di Sumut. “Kalau saya bilang masih jauh panggang dari api. Buktinya begitu seringnya KPK datang ke sini untuk menyelesaikan sejumlah permasalahan hukum yang mandeg. Buktinya jelas kan, berapa banyak anggota dewan yang terjaring KPK, kemudian berapa banyak kepala daerah yang diangkut KPK,” ungkapnya.

Sehingga dia berharap, dengan kasus OTTHakim PN Medan kemarin dapat mengubah wajah penegakan hukum di Sumut. “Setidaknya itu harapan kita, bukan tidak mungkin bakal terungkap perkara KKN dalam penegakam hukum lain yang mungkin terjadi,” pungkasnya. (dvs)

istimewa
DIPERIKSA: Hakim Adhoc PN Medan Merry Purba menjawab pertanyaan wartawan usai menjalani pemeriksaan di gedung KPK, Rabu (5/9).

JAKARTA,SUMUTPOS.CO – Hakim ad hoc Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri (PN) Medan, Merry Purba tak bisa menahan tangis saat kembali menjalani pemeriksaan di Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta, Rabu (5/9). Merry Purba menangis tersedu-sedu dan mengaku telah ‘dipingpong’ penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi Hakim Ad hoc PN Medan itu sebelumnya datang memenuhi panggilan pemeriksaan KPK sekitar pukul 10.00 WIB.

Namun, selang beberapa puluh menit kemudian, Merry keluar. Ia diantar kembali ke Rutan sekitar 11.31 WIB. Pemeriksaan berlangsung sebentar, karena diberitahukan bahwa sedang ada perubahan nomor surat penyidikan dan akan diperiksa ulang pada pukul 13.00 WIB.

“Kemudian, saya dikembalikan di Rutan. Sesampainya belum setengah jam, saya dikabarkan akan diperiksa di gedung sebelah. Dikabarkan sudah ada penyidik. Tadi kan informasinya jam 1 saya diperiksa,” ujarnya kepada awak media di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (5/9).

Merry tiba lagi di Gedung KPK sekitar pukul 13.06 WIB. Sebelum masuk gedung, ia curhat pada awak media bahwa telah dipingpong. “Jadi saya makan cuma 2-3 sendok nasi. Udah itu datang lagi perintah dari petugas, ini penyidik sudah nunggu. Ini kenapa kok bisa salah-salah begitu,” tambahnya.

Merry mengatakan, sesaat sebelum dibawa kembali ke Gedung KPK, ia diminta oleh seorang penyidik KPK berinisial Boy untuk merubah terlebih dahulu nomor Berita Acara Pernyataan sebelum diperiksa ulang. “Boleh Bu, dirombak dulu ada sedikit kesalahan dari nomor Berita Acara Pernyataan,” cerita Merry sambil menagis tersedu-sedu.

Lantas, dengan kejadian ini, Merry mengaku perlu pendampingan pengacara. “Saya mohon supaya saya didampingi kuasa hukum,” imbuh Merry sebelum masuk Gedung KPK.

Terkait kasus yang menjeratnya, Merry berdalih tak mengetahui perkara dugaan suap yang dituduhkan kepadanya. “Saya mau terbuka, ada apa di balik ini? Saya hampir stres beberapa hari di situ,” ujar Merry sembari menangis.

Merry yang menjadi anggota majelis hakim perkara Tamin merasa ada sesuatu di balik penetapan tersangka dirinya. Dia berkilah tak mengerti soal uang dari Tamin. “Saya enggak tahu ini semua. Tolong berkata jujur, jangan korbankan, mentang-mentang saya ini hakim ad hoc, tidak ada pembela di Mahkamah Agung,” katanya.

Merry juga mengatakan, pihak yang ditangkap tangan oleh KPK adalah panitera pengganti PN Medan Helpandi. Dia mengklaim dijebak sehingga seakan-akan ikut menerima uang suap dari Direktur PT Erni Putra Terari, Tamin Sukardi.

Ia mengaku tak pernah menerima uang sepeser pun terkait perkara Tamin yang ditanganinya itu. Bahkan, kata Merry, uang yang ditemukan di ruang kerjanya merupakan uang yang sengaja diletakan oleh seseorang. “Kalau pun ada keberadaan uang di meja saya, kata mereka ya, saya tidak tahu. Meja saya itu selalu terbuka, dan tidak pernah tertutup dan saya tidak pernah menerima apapun,” ujarnya.

“Makanya saya berkesimpulan, mohon supaya diambil sidik jari siapa yang menerima uang itu dan siapa yang menempatkan uang itu di meja saya,” kata Merry melanjutkan.

Merry pun meminta kepada Marsuddin Nainggolan dan Wahyu Prasetyo Wibowo untuk menjelaskan duduk perkara yang sebenarnya. Dia kembali menegaskan tak mengetahui perkara suap yang menjerat dirinya tersebut. “Saya bukan pemain, saya tidak tahu apa ini semua, coba berpikirlah,” tuturnya.

Lebih lanjut, Merry meminta maaf kepada MA, keluarga, kerabat serta seluruh masyarakat Indonesia atas kejadian yang menjeratnya. Menurutnya, keluarga hingga seluruh masyarakat sudah mengetahui bahwa dirinya ditangkap oleh KPK.

Diketahui, Merry merupakan satu dari empat tersangka kasus suap terhadap PN Medan yang tengah ditangani KPK. Empat tersangka itu yakni, Helpandi, Merry Purba, Tamin Sukardi selaku pihak swasta, dan Hadi Setiawan yang merupakan orang kepercayaan Tamin.

Merry diduga menerima uang sebesar 280 ribu dolar Singapura dari Tamin. Uang suap tersebut diberikan secara dua tahap melalui dua orang perantara. Pemberian tahap pertama dilakukan pada 24 Agustus 2018 di Hotel JW Marriot Medan sebesar 150 ribu dolar Singapura melalui perantara Helpandi dan Hadi Setiawan.

Kemudian, untuk pemberian kedua sebesar 130 ribu dolar Singapura yang diduga akan diberikan kepada Merry oleh Helpandi pada 28 Agustus 2018 di PN Medan. Namun, saat sedang transaksi, KPK keburu melakukan OTT.

KPK menduga uang tersebut diberikan oleh Tamin kepada Merry untuk mempengaruhi putusan perkara kasus korupsi penjualan tanah berstatus aset negara yang menjerat Tamin. Karena dalam putusan yang dibacakan pada 27 Agustus 2018, Merry berpendapat, dakwaan tidak terbukti sehingga majelis hakim berbeda pendapat (dissenting opinion).

Dan Tamin divonis 6 tahun penjara dan denda Rp500 juta subsider enam bulan kurungan dan uang pengganti Rp 132 miliar. Vonis tersebut lebih ringan dari tuntutan jaksa yakni 10 tahun pidana penjara dan denda Rp500 juta subsider enam bulan kurungan dan uang pengganti Rp132 miliar.

Hadi Jadi Pintu Masuk KPK
Sementara, penyerahan diri Hadi Setiawan, orang kepercayaan Tamin Sukardi kepada KPK dianggap bisa menjadi pintu masuk bagi KPK untuk mengungkap dan membongkar sejumlah kasus mafia peradilan yang kemungkinan dilakoni Tamin Sukardi.

“Ya bisa saja ini (menyerahnya Hadi) pintu masuk untuk membongkar kasus lain, tapi bisa juga tangan kanan Tamin Sukardi itu malah menutup akses KPK untuk membongkar kasus lainnya. Tinggal kemauan dan kejelian penyidik KPK untuk hal ini,” kata pengamat hukum Julheri Sinaga ketika diwawancarai Sumut Pos, Rabu (5/9).

Apalagi, baru-baru ini kuasa hukum salah satu warga pemilik lahan pembangunan jalan Tol Medan-Binjai Seksi I Tanjungmulia, mengadukan indikasi permainan perkara konsinyasi (ganti rugi) ke KPK.

Menanggapi itu, Julheri mengatakan, bila memang ada indikasi KKN di perkara konsinyasi itu, harapannya pelapor memberikan bukti-bukti otentik agar KPK bisa bekerja. “Karena pada dasarnya semuanya harus sesuai data dan fakta. Karena langit pun bisa kita klaim milik kita. Jangan sampai laporan itu malah menjadi fitnah,” katanya.

Menurutnya, penegakan hukum di Sumut masih jauh dari kata baik. Hal ini terbukti dari tingginya intensitas KPK ‘main’ di Sumut. “Kalau saya bilang masih jauh panggang dari api. Buktinya begitu seringnya KPK datang ke sini untuk menyelesaikan sejumlah permasalahan hukum yang mandeg. Buktinya jelas kan, berapa banyak anggota dewan yang terjaring KPK, kemudian berapa banyak kepala daerah yang diangkut KPK,” ungkapnya.

Sehingga dia berharap, dengan kasus OTTHakim PN Medan kemarin dapat mengubah wajah penegakan hukum di Sumut. “Setidaknya itu harapan kita, bukan tidak mungkin bakal terungkap perkara KKN dalam penegakam hukum lain yang mungkin terjadi,” pungkasnya. (dvs)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/