29 C
Medan
Tuesday, May 7, 2024

Putusan PN Medan ‘Banci’

SUTAN SIREGAR/SUMUT POS
TERMINAL AMPLAS_Aktifitas sejumlah angkutan umum yang menunggu penumpang di Terminal Amplas Medan, beberapa waktu lalu.

MEDAN, SUMUTPOS.CO -Kejati Sumut sebut putusan majelis hakim Pengadilan Tipikor Medan terhadap 3 tersangka kasus korupsi revitalisasi Terminal Terpadu Amplas ‘banci’. Sebab, dalam putusan tidak ada menyatakan dan menetapkan untuk dilakukan penahanan.

Putusan ‘banci’ itu, diterima 3 terdakwa yakni Plt Kabid Pengawasan dan Survey Dinas Perkim Medan, Khairudi Hazfin Siregar selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) yang merangkap Kuasa Pengguna Anggaran (KPA). Kemudian, tim leader konsultan pengawas kegiatan, Bukhari Abdullah dan Direktur PT Welly Karya Nusantara, Tiurma Pangaribuan.

“Kalimat banci (putusan majelis hakim), bisa ditahan atau tidak itu,” ungkap Kepala Seksi Penerangan Hukum dan Humas Kejati Sumut, Sumanggar Siagian SH saat dikonfirmasi Sumut Pos, Senin (6/11) siang.

Sumanggar menilai, harusnya ada ketegasan dalam putusan itu yang menyatakan penahanan terhadap ketiga terdakwa. Namun, dalam putusan tidak ada tertuang penetapan penahanan.

“Kalau didalam redaksi, bahasa putusan tidak ada penetapan penahanan. Meski sudah inkracht, belum tentu bisa ditahan. Karena, kita mengikuti putusan itu. Makanya, kita pelajari dulu petikan putusannya,” jelas Sumanggar.

Untuk melakukan eksekusi terhadap terdakwa, Sumanggar tidak melihat keaktifan dari Jaksa Penuntut Umum (JPU).

“Tinggal melihat mobile mereka (aktifan JPU). Pro aktif atau tidak. Kalau saya tanyai mereka (JPU), dikirai saya punya kepentingan dalam kasus ini,” kata Mantan Kepala Seksi Pidana Umum (Kasi Pidum) Kejari Binjai itu.

Dalam menyikapi putusan yang diberikan oleh majelis hakim, antara JPU dan tiga terdakwa sudah ada komunikasi lebih dulu. Sehingga, kedua belah pihak tersebut sama-sama menyatakan terima.

“Sudah pasti ada komunikasi, bila terdakwa terima, kita terima. Bila ada melakukan upaya hukum lain (banding). Kita melakukan upaya hukum yang sama,” kata Sumanggar.

Hukum ‘istimewa’ yang diberikan Kejati Sumut dan Pengadilan Tipikor Medan kepada 3 terdakwa, menjadi catatan buruk penanganan kasus korupsi di Sumatera Utara.

Sebab, vonis ini tidak menciptakan rasa keadilan dan tidak memberikan efek jera kepada para terdakwa. Hal itu, disampaikan oleh Pengamat Hukum Kota Medan, Muslim Muis, Senin (6/11) sore.

Dengan putusan hukuman tanpa ada penetapan penahanan itu, sudah jelas penegakan hukum ‘menghalalkan’ korupsi di tanah air dan memberi contoh kepada masyarakat untuk berbuat korupsi.

“Ya sudah, besok-besok kita korupsi, diproses hukum dan tidak ditahan, kan enak. Ini sama dengan tidak memberikan efek jera kepada terdakwa dan memberikan contoh buruk kepada masyarakat untuk melakukan korupsi,” sebut Muslim.

“Hukuman ini, harus memberikan efek jera. Bukan memberikan istimewa hukum kepada terdakwa dengan tidak melakukan penahanan,” sambung Muslim.

SUTAN SIREGAR/SUMUT POS
TERMINAL AMPLAS_Aktifitas sejumlah angkutan umum yang menunggu penumpang di Terminal Amplas Medan, beberapa waktu lalu.

MEDAN, SUMUTPOS.CO -Kejati Sumut sebut putusan majelis hakim Pengadilan Tipikor Medan terhadap 3 tersangka kasus korupsi revitalisasi Terminal Terpadu Amplas ‘banci’. Sebab, dalam putusan tidak ada menyatakan dan menetapkan untuk dilakukan penahanan.

Putusan ‘banci’ itu, diterima 3 terdakwa yakni Plt Kabid Pengawasan dan Survey Dinas Perkim Medan, Khairudi Hazfin Siregar selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) yang merangkap Kuasa Pengguna Anggaran (KPA). Kemudian, tim leader konsultan pengawas kegiatan, Bukhari Abdullah dan Direktur PT Welly Karya Nusantara, Tiurma Pangaribuan.

“Kalimat banci (putusan majelis hakim), bisa ditahan atau tidak itu,” ungkap Kepala Seksi Penerangan Hukum dan Humas Kejati Sumut, Sumanggar Siagian SH saat dikonfirmasi Sumut Pos, Senin (6/11) siang.

Sumanggar menilai, harusnya ada ketegasan dalam putusan itu yang menyatakan penahanan terhadap ketiga terdakwa. Namun, dalam putusan tidak ada tertuang penetapan penahanan.

“Kalau didalam redaksi, bahasa putusan tidak ada penetapan penahanan. Meski sudah inkracht, belum tentu bisa ditahan. Karena, kita mengikuti putusan itu. Makanya, kita pelajari dulu petikan putusannya,” jelas Sumanggar.

Untuk melakukan eksekusi terhadap terdakwa, Sumanggar tidak melihat keaktifan dari Jaksa Penuntut Umum (JPU).

“Tinggal melihat mobile mereka (aktifan JPU). Pro aktif atau tidak. Kalau saya tanyai mereka (JPU), dikirai saya punya kepentingan dalam kasus ini,” kata Mantan Kepala Seksi Pidana Umum (Kasi Pidum) Kejari Binjai itu.

Dalam menyikapi putusan yang diberikan oleh majelis hakim, antara JPU dan tiga terdakwa sudah ada komunikasi lebih dulu. Sehingga, kedua belah pihak tersebut sama-sama menyatakan terima.

“Sudah pasti ada komunikasi, bila terdakwa terima, kita terima. Bila ada melakukan upaya hukum lain (banding). Kita melakukan upaya hukum yang sama,” kata Sumanggar.

Hukum ‘istimewa’ yang diberikan Kejati Sumut dan Pengadilan Tipikor Medan kepada 3 terdakwa, menjadi catatan buruk penanganan kasus korupsi di Sumatera Utara.

Sebab, vonis ini tidak menciptakan rasa keadilan dan tidak memberikan efek jera kepada para terdakwa. Hal itu, disampaikan oleh Pengamat Hukum Kota Medan, Muslim Muis, Senin (6/11) sore.

Dengan putusan hukuman tanpa ada penetapan penahanan itu, sudah jelas penegakan hukum ‘menghalalkan’ korupsi di tanah air dan memberi contoh kepada masyarakat untuk berbuat korupsi.

“Ya sudah, besok-besok kita korupsi, diproses hukum dan tidak ditahan, kan enak. Ini sama dengan tidak memberikan efek jera kepada terdakwa dan memberikan contoh buruk kepada masyarakat untuk melakukan korupsi,” sebut Muslim.

“Hukuman ini, harus memberikan efek jera. Bukan memberikan istimewa hukum kepada terdakwa dengan tidak melakukan penahanan,” sambung Muslim.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/