31.7 C
Medan
Thursday, May 2, 2024

Kami Seperti Anak Tiri…

TRIADI WIBOWO/SUMUT POS
Aktifitas nelayan di muara tempat pelelangan ikan (TPI) di Bagan Deli Medan Belawan, beberapa waktu lalu.

SUMUTPOS.CO – Terik matahari berada di atas ufuk kepala, tak menghiraukan para nelayan mengecek kesiapan sampan mereka untuk transportasi melaut, aktivitas yang dijalani sehari-hari.

==============================================================================

Fachril, Belawan.

==============================================================================

Kesibukan para nelayan kecil terlihat di Muara Sungai Deli. Mereka yang akan mengarungi laut lepas untuk mencari nafkah, mempersiapkan seluruh bekal dan peralatan melaut. Bagaimanakah nasib kehidupan nelayan Pesisir Pantai Belawan tersebut?

Di sela – sela hiruk pikuk aktivitas masyarakat, kru koran ini menyambangi pemukiman nelayan yang berada di sekitaran Jalan Young Panah Hijau, Kecamatan Medan Marelan, Minggu (7/1).

Para nelayan yang tak kenal lelah dan takut akan tantangan bentangan ombak yang mengancam, lebih memprioritaskan untuk melaut, agar anak dan keluarga mereka tetap bisa makan.

Begitulah yang diungkapkan salah satu nelayan, Suhardi. Di tengah kesibukannya, pria berusia 41 tahun ini hanya bisa menerima kenyataan hidup untuk mencari nafkah.

Bagi bapak anak 4 ini, untuk mensejahterakan keluarga harus membanting tulang melaut. Karena, kesejahteraan yang diprogramkan pemerintah dianggap hanya janji dan bukan jaminan.

“Kami ini nelayan dianggap pemerintah orang bodoh, karena bodoh makanya kami miskin. Jadi, selama ini masyarakat di pinggiran pesisir seperti anak tiri. Lihatlah pembangunan di pesisir seperti sekolah dan insfranstrukut masih tertinggal,” ungkap Suhardi.

Dalam sehari – harinya, kata Suhardi, mereka harus melaut, bila itu tidak dilakukan, maka anak dan keluarga mereka tidak akan makan. Mirisnya, penghasilan yang mereka terima tidak besar seperti pengusaha yang menggunakan kapal skala besar.

“Kami ini berangkat sore pulang besok. Sepulang melaut kami hanya bisa dapat Rp100 ribu hingga Rp200 ribu. Penghasilan yang kami dapat untuk makan, sekolah anak dan biaya listrik. Jadi, pemerintah mana peduli kalau kami tidak makan,” keluh pria berkulit sawo matang ini.

Disinggung adanya program pemerintah dalam penunjang bantuan kesejahteraan dan pendidik bagi nelayan, Suhardi bantuan itu tidak menjamin untuk mendukung nasib kehidupan para nelayan.

Alasannya, banyak bantuan nelayan yang sifatnya tidak tentu jarang mereka terima secara langsung. “Sudahlah, itukan katanya ada bantuan, tapi masih banyak yang tidak dapat bantuan, makanya kami yang bodoh ini tetap miskin,” ungkap Suhardi.

Harapan Suhardi, pemerintah yang dianggap belum serius memikirkan kesejahteraan nelayan, sebaiknya, pemerintah untuk turun langsung ke tengah masyarakat nelayan, melihat langsung kondisi mereka.

“Dari sisi bantuan kesehatan, pendidikan dan sosial sudah kami terima, tapi mata pencaharian kami terus dimonopoli, misalnya, kebutuhan solar yang sulit, banyaknya kapal besar merusak zona tangkap dan keperpihakan instansi dengan para pengusaha. Ini yang harus dipikirkan, agar kami tidak tersiksa mencari nafkah di laut,” harapan Suhardi.

TRIADI WIBOWO/SUMUT POS
Aktifitas nelayan di muara tempat pelelangan ikan (TPI) di Bagan Deli Medan Belawan, beberapa waktu lalu.

SUMUTPOS.CO – Terik matahari berada di atas ufuk kepala, tak menghiraukan para nelayan mengecek kesiapan sampan mereka untuk transportasi melaut, aktivitas yang dijalani sehari-hari.

==============================================================================

Fachril, Belawan.

==============================================================================

Kesibukan para nelayan kecil terlihat di Muara Sungai Deli. Mereka yang akan mengarungi laut lepas untuk mencari nafkah, mempersiapkan seluruh bekal dan peralatan melaut. Bagaimanakah nasib kehidupan nelayan Pesisir Pantai Belawan tersebut?

Di sela – sela hiruk pikuk aktivitas masyarakat, kru koran ini menyambangi pemukiman nelayan yang berada di sekitaran Jalan Young Panah Hijau, Kecamatan Medan Marelan, Minggu (7/1).

Para nelayan yang tak kenal lelah dan takut akan tantangan bentangan ombak yang mengancam, lebih memprioritaskan untuk melaut, agar anak dan keluarga mereka tetap bisa makan.

Begitulah yang diungkapkan salah satu nelayan, Suhardi. Di tengah kesibukannya, pria berusia 41 tahun ini hanya bisa menerima kenyataan hidup untuk mencari nafkah.

Bagi bapak anak 4 ini, untuk mensejahterakan keluarga harus membanting tulang melaut. Karena, kesejahteraan yang diprogramkan pemerintah dianggap hanya janji dan bukan jaminan.

“Kami ini nelayan dianggap pemerintah orang bodoh, karena bodoh makanya kami miskin. Jadi, selama ini masyarakat di pinggiran pesisir seperti anak tiri. Lihatlah pembangunan di pesisir seperti sekolah dan insfranstrukut masih tertinggal,” ungkap Suhardi.

Dalam sehari – harinya, kata Suhardi, mereka harus melaut, bila itu tidak dilakukan, maka anak dan keluarga mereka tidak akan makan. Mirisnya, penghasilan yang mereka terima tidak besar seperti pengusaha yang menggunakan kapal skala besar.

“Kami ini berangkat sore pulang besok. Sepulang melaut kami hanya bisa dapat Rp100 ribu hingga Rp200 ribu. Penghasilan yang kami dapat untuk makan, sekolah anak dan biaya listrik. Jadi, pemerintah mana peduli kalau kami tidak makan,” keluh pria berkulit sawo matang ini.

Disinggung adanya program pemerintah dalam penunjang bantuan kesejahteraan dan pendidik bagi nelayan, Suhardi bantuan itu tidak menjamin untuk mendukung nasib kehidupan para nelayan.

Alasannya, banyak bantuan nelayan yang sifatnya tidak tentu jarang mereka terima secara langsung. “Sudahlah, itukan katanya ada bantuan, tapi masih banyak yang tidak dapat bantuan, makanya kami yang bodoh ini tetap miskin,” ungkap Suhardi.

Harapan Suhardi, pemerintah yang dianggap belum serius memikirkan kesejahteraan nelayan, sebaiknya, pemerintah untuk turun langsung ke tengah masyarakat nelayan, melihat langsung kondisi mereka.

“Dari sisi bantuan kesehatan, pendidikan dan sosial sudah kami terima, tapi mata pencaharian kami terus dimonopoli, misalnya, kebutuhan solar yang sulit, banyaknya kapal besar merusak zona tangkap dan keperpihakan instansi dengan para pengusaha. Ini yang harus dipikirkan, agar kami tidak tersiksa mencari nafkah di laut,” harapan Suhardi.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/