32.8 C
Medan
Thursday, May 9, 2024

Yuk Nikmati Gerhana Besok, Lupakan Mitos

Gerhana Matahari total baru dapat dilihat di Indonesia pada Maret 2016.
Gerhana Matahari total dapat dilihat di Indonesia pada Maret 2016.

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Gempita menyambut fenomena alam langka gerhana matahari total (GMT), Rabu (9/3) begitu tinggi. Bahkan, Lembaga Antariksa Amerika Serikat (NASA) pun mengirim empat peneliti untuk turut mengamati GMT di Indonesia.

Para peneliti itu yakni Madhulika Guhathakurta, Natchimuthukonar Gopalswamy, Nelson Leslie Reginald, dan Seiji Yashiro, berkolaborasi riset dengan tim dari Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan). Khusus di Lapan, tim yang akan melakukan penelitian berasal dari Pusat Sains Antariksa (Pussainsa).

Kepala Pussainsa Lapan Clara Yono Yatini menuturkan, GMT tahun ini bukan fenomena yang tak pernah terjadi di Indonesia. GMT terakhir yang mampir di republik ini terjadi pada 1983 dan melewati sepanjang Pulau Jawa.

”Tapi, saat itu tidak banyak yang menikmati. Karena ada miskomunikasi,” jelasnya dalam seminar GMT Lapan dan NASA di Jakarta.

Clara menuturkan, saat itu diinformasikan oleh rezim yang berkuasa bahwa GMT begitu berbahaya. Karena itu, masyarakat diimbau berada di dalam rumah. Bahkan, tidak itu saja, harus bersembunyi di bawah ranjang tempat tidur.

Namun, untuk GMT tahun ini, dia berharap masyarakat Indonesia bisa menikmati bersama-sama. Dia optimistis, gencarnya pemberitaan media massa menjelang GMT mengedukasi masyarakat agar tak lagi memercayai mitos-mitos gerhana matahari.

Terkait dengan GMT yang bisa merusak mata, menurut Clara, itu bukan mitos. Memang benar bahwa gerhana matahari bisa mencederai mata. Karena itu, masyarakat dianjurkan untuk melihat GMT dengan bantuan kacamata khusus. Tetapi, ketika fase gerhana sudah benar-benar penuh alias puncak, GMT aman untuk dilihat dengan mata telanjang.

Peneliti Pussainsa Lapan Emanuel Sungging Mumpuni mengatakan, kolaborasi Lapan dan NASA itu bukan ekspedisi perdana peneliti AS di Indonesia. Dia menjelaskan, peneliti AS sudah melakukan ekspedisi pengamatan dan penelitian GMT sejak awal abad ke-20. Tepatnya pada 1901, 1926, dan 1929 di kawasan Sumatera Utara.

Ada pun GMT pada Rabu (7/3) atau hari ini menjadi momen yang sulit dilewatkan masyarakat Indonesia. Pasalnya ada beberapa unsur GMT tahun ini yang begitu menarik, di antaranya lintasan GMT melalui 12 provinsi di Indonesia. Faktanya, sangat jarang GMT melalui daratan yang begitu luas. Bahkan, ada kalanya GMT hanya terjadi di lautan.

Karena itu, agar fenomena alam tersebut dapat disaksikan masyarakat Medan sekitarnya, Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) mengadakan pengamatan dan sekaligus salat gerhana matahari berjamaah. (ris)

Gerhana Matahari total baru dapat dilihat di Indonesia pada Maret 2016.
Gerhana Matahari total dapat dilihat di Indonesia pada Maret 2016.

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Gempita menyambut fenomena alam langka gerhana matahari total (GMT), Rabu (9/3) begitu tinggi. Bahkan, Lembaga Antariksa Amerika Serikat (NASA) pun mengirim empat peneliti untuk turut mengamati GMT di Indonesia.

Para peneliti itu yakni Madhulika Guhathakurta, Natchimuthukonar Gopalswamy, Nelson Leslie Reginald, dan Seiji Yashiro, berkolaborasi riset dengan tim dari Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan). Khusus di Lapan, tim yang akan melakukan penelitian berasal dari Pusat Sains Antariksa (Pussainsa).

Kepala Pussainsa Lapan Clara Yono Yatini menuturkan, GMT tahun ini bukan fenomena yang tak pernah terjadi di Indonesia. GMT terakhir yang mampir di republik ini terjadi pada 1983 dan melewati sepanjang Pulau Jawa.

”Tapi, saat itu tidak banyak yang menikmati. Karena ada miskomunikasi,” jelasnya dalam seminar GMT Lapan dan NASA di Jakarta.

Clara menuturkan, saat itu diinformasikan oleh rezim yang berkuasa bahwa GMT begitu berbahaya. Karena itu, masyarakat diimbau berada di dalam rumah. Bahkan, tidak itu saja, harus bersembunyi di bawah ranjang tempat tidur.

Namun, untuk GMT tahun ini, dia berharap masyarakat Indonesia bisa menikmati bersama-sama. Dia optimistis, gencarnya pemberitaan media massa menjelang GMT mengedukasi masyarakat agar tak lagi memercayai mitos-mitos gerhana matahari.

Terkait dengan GMT yang bisa merusak mata, menurut Clara, itu bukan mitos. Memang benar bahwa gerhana matahari bisa mencederai mata. Karena itu, masyarakat dianjurkan untuk melihat GMT dengan bantuan kacamata khusus. Tetapi, ketika fase gerhana sudah benar-benar penuh alias puncak, GMT aman untuk dilihat dengan mata telanjang.

Peneliti Pussainsa Lapan Emanuel Sungging Mumpuni mengatakan, kolaborasi Lapan dan NASA itu bukan ekspedisi perdana peneliti AS di Indonesia. Dia menjelaskan, peneliti AS sudah melakukan ekspedisi pengamatan dan penelitian GMT sejak awal abad ke-20. Tepatnya pada 1901, 1926, dan 1929 di kawasan Sumatera Utara.

Ada pun GMT pada Rabu (7/3) atau hari ini menjadi momen yang sulit dilewatkan masyarakat Indonesia. Pasalnya ada beberapa unsur GMT tahun ini yang begitu menarik, di antaranya lintasan GMT melalui 12 provinsi di Indonesia. Faktanya, sangat jarang GMT melalui daratan yang begitu luas. Bahkan, ada kalanya GMT hanya terjadi di lautan.

Karena itu, agar fenomena alam tersebut dapat disaksikan masyarakat Medan sekitarnya, Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) mengadakan pengamatan dan sekaligus salat gerhana matahari berjamaah. (ris)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/