Lulus SMA di Banda Aceh, Solena pulang kampung untuk menempuh pendidikan di Fakultas Ekonomi Universitas Bung Hatta, Padang, Sumatera Barat. Selama di Padang, dia tinggal bersama kakek dan neneknya, sedangkan orang tuanya tetap di Banda Aceh.
Jauh dari orang tua membuat sisi perempuan Solena semakin berontak. Bahkan, dia kemudian menjalin hubungan terlarang dengan seorang pemuda. Tapi, tidak lama, hubungan itu terendus orang tua Solena. Dia lalu diminta pulang ke Banda Aceh ketika masuk semester VI.
“Ayah dan ibuku saling menyalahkan sampai akhirnya mereka membuat keputusan tegas. Aku dipaksa menikah dengan perempuan,” ujarnya dengan raut wajah sedih sambil mengingat-ingat masa lalunya itu.
Tidak lama setelah kembali ke Banda Aceh, transgender yang tidak bersedia menyebut nama aslinya itu hijrah ke ibu kota. Sementara itu, orang tuanya hijrah ke Serang, Banten. Di Jakarta, Solena sempat bekerja kantoran sebelum akhirnya menikah pada 2003. Kala itu, usianya baru menginjak 25 tahun. Dari pernikahannya tersebut, Solena dikaruniai seorang anak perempuan yang kini berusia 11 tahun.
Tetapi, terikat dalam tali pernikahan yang tidak pernah diharapkan membuat Solena depresi. Dia kerap bolak-balik keluar masuk UGD karena mengalami panic attack dadakan.
Saat itu, Solena merasa tidak mampu lagi untuk berakting. Dia ingin menyudahi semuanya. Termasuk menyudahi pernikahannya. Dia tidak bisa membohongi sang istri lebih jauh. Istrinya layak mendapat pendamping yang mencintai. Bukan seperti Solena yang hanya berpura-pura.
Keputusan itu membuat ayah Solena kecewa. “Ayah menangis melihat kondisiku saat itu. Tapi, dia akhirnya mengizinkan aku bercerai,” ungkapnya.
Begitu proses perceraian selesai, dengan sedikit uang yang dimiliki, Solena memberanikan diri terbang ke Amerika Serikat untuk memulai hidup baru sebagai pribadi yang baru. Pribadi Solena yang sebenarnya. Bukan pribadi Solena yang selama ini berusaha dicitrakannya.
Meski berat harus meninggalkan anak yang masih balita, Solena tetap memaksakan diri berangkat ke Amerika. “Dia masih sangat kecil. Baru berumur beberapa bulan. Aku berat anak, memang. Aku juga tidak pernah menyesal punya anak,” tuturnya.
Untuk bisa membahagiakan anaknya, Solena harus merasa bahagia lebih dahulu. Dia tidak yakin akan memperoleh kebahagiaan tersebut jika tetap berada di Indonesia. Karena itu, dia akhirnya berangkat, meski tanpa seorang pun yang dikenal di Negeri Paman Sam. Dia betul-betul memulai hidup baru dari bawah.
Berbagai profesi pernah dilakoni Solena. Pilihan pertamanya adalah tukang cuci piring. Lantaran tidak ada yang mau menyewakan kamar, Solena terpaksa menggelandang di jalanan. Dia tidur beralas lapak di emperan toko.