26.7 C
Medan
Sunday, April 28, 2024

Rupiah Diprediksi Tembus Rp14.200 per USD

Rupiah melemah terhadap Dolar Amerika.

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Pergerakan nilai tukar mata uang Rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat (USD) Senin (7/5) siang, semakin berdarah-darah hingga harus menyentuh level Rp14.000. Meskipun, kurs tengah Bank Indonesia (BI) masih berada di level Rp13.956, namun, kurs jual di perbankan sudah menembus level Rp14.000 per USD.

Ekonom Indef Bhima Yudhistira mengatakan, pelemahan nilai tukar Rupiah diprediksi akan terus berlanjut hingga akhir tahun ini menembus di atas level Rp14.000 per USD. “Terbuka peluang kurs terdepresiasi hingga Rp14.000-Rp14.200,” ujarnya kepada JawaPos.com (grup Sumut Pos), Senin (7/5).

Bhima menjelaskan, terdapat beberapa faktor yang membuat kurs rupiah melemah. Diantaranya, pelaku pasar khususnya investor yang melakukan spekulasi terkait prediksi kenaikan Fed rate pada rapat The Fed Juni mendatang setelah pengumuman data pengangguran AS sebesar 3,9 persen terendah bahkan sebelum krisis 2008.

“Spekulasi ini membuat capital outflow (arus modal keluar) di pasar modal mencapai Rp11,3 triliun dalam 1 bulan terakhir. Spekulasi pasar jelang rapat Fed membuat sentimen investasi di negara berkembang khususnya Indonesia menurun,” tuturnya.

Di samping itu, investor juga bereaksi negatif terhadap rilis data pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan I 2018 yang hanya mencapai 5,06 persen. Hal ini disebabkan konsumsi rumah tangga masih melemah terbukti dari penjualan mobil pribadi yang anjlok 2,8 persen di triwulan I 2018 dan data penjualan ritel yang turun. “Sentimen ini membuat pasar cenderung pesimis terhadap prospek pertumbuhan ekonomi tahun 2018 yang ditarget tumbuh 5,4 persen,” imbuhnya.

Kemudian, lanjutnya, harga minyak mentah terus meningkat hingga USD 74-75 per barel akibat perang di Suriah dan ketidakpastian Perang Dagang AS-China. Hal ini membuat inflasi jelang Ramadan semakin meningkat karena harga BBM non subsidi menyesuaikan mekanisme pasar. Inflasi dari pangan juga perlu diwaspadai karena harga bawang merah naik cukup tinggi dalam 1 bulan terakhir.

Belum lagi, permintaan Dolar Amerika Serikat yang diperkirakan naik pada triwulan II-2018 karena emiten secara musiman membagikan dividen. Investor di pasar saham sebagian besar adalah investor asing sehingga mengkonversi hasil dividen Rupiah ke dalam mata uang Dolar.

Sementara, importir lebih banyak memegang dolar untuk kebutuhan impor bahan baku dan barang konsumsi jelang Lebaran. Perusahaan juga meningkatkan pembelian dolar untuk pelunasan utang luar negeri jangka pendek. Lebih baik beli sekarang sebelum dolar semakin mahal. “Ada efek antisipasi penambahan cuti Lebaran terhadap prilaku pengusaha yang borong dolar di pasar. Meskipun dampaknya kemungkinan kecil ke fluktuasi kurs,” imbuhnya.

Terakhir, Bhima menambahkan, defisit transaksi berjalan tahun ini semakin melebar diperkirakan hingga 2,1 persen terhadap PDB. Selain karena keluarnya modal asing juga karena defisit neraca perdagangan yang diperkirakan akan kembali terjadi jelang Lebaran karena impor barang konsumsinya naik.

Rupiah melemah terhadap Dolar Amerika.

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Pergerakan nilai tukar mata uang Rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat (USD) Senin (7/5) siang, semakin berdarah-darah hingga harus menyentuh level Rp14.000. Meskipun, kurs tengah Bank Indonesia (BI) masih berada di level Rp13.956, namun, kurs jual di perbankan sudah menembus level Rp14.000 per USD.

Ekonom Indef Bhima Yudhistira mengatakan, pelemahan nilai tukar Rupiah diprediksi akan terus berlanjut hingga akhir tahun ini menembus di atas level Rp14.000 per USD. “Terbuka peluang kurs terdepresiasi hingga Rp14.000-Rp14.200,” ujarnya kepada JawaPos.com (grup Sumut Pos), Senin (7/5).

Bhima menjelaskan, terdapat beberapa faktor yang membuat kurs rupiah melemah. Diantaranya, pelaku pasar khususnya investor yang melakukan spekulasi terkait prediksi kenaikan Fed rate pada rapat The Fed Juni mendatang setelah pengumuman data pengangguran AS sebesar 3,9 persen terendah bahkan sebelum krisis 2008.

“Spekulasi ini membuat capital outflow (arus modal keluar) di pasar modal mencapai Rp11,3 triliun dalam 1 bulan terakhir. Spekulasi pasar jelang rapat Fed membuat sentimen investasi di negara berkembang khususnya Indonesia menurun,” tuturnya.

Di samping itu, investor juga bereaksi negatif terhadap rilis data pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan I 2018 yang hanya mencapai 5,06 persen. Hal ini disebabkan konsumsi rumah tangga masih melemah terbukti dari penjualan mobil pribadi yang anjlok 2,8 persen di triwulan I 2018 dan data penjualan ritel yang turun. “Sentimen ini membuat pasar cenderung pesimis terhadap prospek pertumbuhan ekonomi tahun 2018 yang ditarget tumbuh 5,4 persen,” imbuhnya.

Kemudian, lanjutnya, harga minyak mentah terus meningkat hingga USD 74-75 per barel akibat perang di Suriah dan ketidakpastian Perang Dagang AS-China. Hal ini membuat inflasi jelang Ramadan semakin meningkat karena harga BBM non subsidi menyesuaikan mekanisme pasar. Inflasi dari pangan juga perlu diwaspadai karena harga bawang merah naik cukup tinggi dalam 1 bulan terakhir.

Belum lagi, permintaan Dolar Amerika Serikat yang diperkirakan naik pada triwulan II-2018 karena emiten secara musiman membagikan dividen. Investor di pasar saham sebagian besar adalah investor asing sehingga mengkonversi hasil dividen Rupiah ke dalam mata uang Dolar.

Sementara, importir lebih banyak memegang dolar untuk kebutuhan impor bahan baku dan barang konsumsi jelang Lebaran. Perusahaan juga meningkatkan pembelian dolar untuk pelunasan utang luar negeri jangka pendek. Lebih baik beli sekarang sebelum dolar semakin mahal. “Ada efek antisipasi penambahan cuti Lebaran terhadap prilaku pengusaha yang borong dolar di pasar. Meskipun dampaknya kemungkinan kecil ke fluktuasi kurs,” imbuhnya.

Terakhir, Bhima menambahkan, defisit transaksi berjalan tahun ini semakin melebar diperkirakan hingga 2,1 persen terhadap PDB. Selain karena keluarnya modal asing juga karena defisit neraca perdagangan yang diperkirakan akan kembali terjadi jelang Lebaran karena impor barang konsumsinya naik.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/