29.2 C
Medan
Saturday, May 11, 2024

Rupiah Diprediksi Tembus Rp14.200 per USD

Dampak Terburuk

Bhima Yudhistira mengatakan, sebagian besar yang mempengaruhi pelemahan Rupiah adalah fundamental ekonomi AS. Karena itu, pemerintah disarankan untuk memperkuat kinerja ekonomi domestik.

“Pulihkan kepercayaan investor, jaga stabilitas harga baik BBM, listrik maupun harga pangan jelang Ramadan sehingga konsumsi rumah tangga yang berperan 56 persen terhadap PDB bisa pulih,” ujarnya.

Sedangkan, pengusaha terutama yang memiliki utang luar negeri diharapkan untuk melakukan hedging atau lindung nilai. Fluktuasi kurs dapat membuat risiko gagal bayar utang valas meningkat. Kemudian, bagi perusahaan yang bersiap membagikan dividen perlu mempersiapkan pasokan dolar untuk memitigasi ke depannya kurs Dolar semakin mahal.

Sementara, cadangan devisa (cadev) pastinya akan terus tergerus untuk stabilitas nilai tukar. Bank Indonesia tidak bisa andalkan cadev sebagai satu-satunya instrumen untuk stabilitas nilai tukar. Jika kondisi mendesak, BI bisa naikkan bunga acuan. Sebab, kalau terus-menerus cadev berkurang bisa membahayakan perekonomian.

“Di Asia Tenggara misalnya, rasio cadev terhadap PDB Indonesia salah satu yang terendah yakni 14 persen. Filipina saja sudah 28 persen, dan Thailand 58 persen. Cadev menentukan kekuatan moneter suatu negara,” jelas Bhima.

Jika memungkinkan, kata Bhima, BI dapat menakikan bunga acuan sebesar 25-50 bps. Kenaikan bunga acuan diperlukan untuk kembalikan kepercayaan pasar dan menaikkan return investasi domestik.

Jika pemerintah tidak melakukan intervensi untuk membatasi pelemahan Rupiah, lanjutnya, depresiasi Rupiah akan langsung terasa ke biaya impor yang meningkat cukup tinggi.

“Untuk impor baik bahan baku, barang modal, dan barang konsumsi sebagian besar menggunakan kapal asing yang membutuhkan dolar. Jadi biaya logistik pasti makin membebani industri domestik. Sementara, daya beli sedang lesu, jadi penjual tidak akan sembarangan menaikkan harga barang. Kondisi ini menggerus pendapatan pelaku usaha,” ucapnya.

Di samping itu, lanjutnya, harga jual barang kebutuhan pokok otomatis juga akan naik. “Saya ambil contoh bawang putih yang 85 persen lebih pasokannya impor. Mendekati Lebaran permintaan secara musiman tinggi. Ini yang harus diperhatikan pemerintah karena inflasi langsung pukul daya beli masyarakat miskin,” imbuhnya.

Dampak lain sebagai negara net importir minyak. Pelemahan rupiah akan menaikkan biaya impor minyak. Pada 2017, neraca migas kita defisit USD 8,5 miliar karena impor minyak bengkak hingga USD 24,3 miliar.

“Ini nggak sehat dan pengaruhi harga BBM nonsubsidi yang dipakai angkutan barang kebutuhan pokok,” pungkasnya. (mys/ce1/JPC)

Dampak Terburuk

Bhima Yudhistira mengatakan, sebagian besar yang mempengaruhi pelemahan Rupiah adalah fundamental ekonomi AS. Karena itu, pemerintah disarankan untuk memperkuat kinerja ekonomi domestik.

“Pulihkan kepercayaan investor, jaga stabilitas harga baik BBM, listrik maupun harga pangan jelang Ramadan sehingga konsumsi rumah tangga yang berperan 56 persen terhadap PDB bisa pulih,” ujarnya.

Sedangkan, pengusaha terutama yang memiliki utang luar negeri diharapkan untuk melakukan hedging atau lindung nilai. Fluktuasi kurs dapat membuat risiko gagal bayar utang valas meningkat. Kemudian, bagi perusahaan yang bersiap membagikan dividen perlu mempersiapkan pasokan dolar untuk memitigasi ke depannya kurs Dolar semakin mahal.

Sementara, cadangan devisa (cadev) pastinya akan terus tergerus untuk stabilitas nilai tukar. Bank Indonesia tidak bisa andalkan cadev sebagai satu-satunya instrumen untuk stabilitas nilai tukar. Jika kondisi mendesak, BI bisa naikkan bunga acuan. Sebab, kalau terus-menerus cadev berkurang bisa membahayakan perekonomian.

“Di Asia Tenggara misalnya, rasio cadev terhadap PDB Indonesia salah satu yang terendah yakni 14 persen. Filipina saja sudah 28 persen, dan Thailand 58 persen. Cadev menentukan kekuatan moneter suatu negara,” jelas Bhima.

Jika memungkinkan, kata Bhima, BI dapat menakikan bunga acuan sebesar 25-50 bps. Kenaikan bunga acuan diperlukan untuk kembalikan kepercayaan pasar dan menaikkan return investasi domestik.

Jika pemerintah tidak melakukan intervensi untuk membatasi pelemahan Rupiah, lanjutnya, depresiasi Rupiah akan langsung terasa ke biaya impor yang meningkat cukup tinggi.

“Untuk impor baik bahan baku, barang modal, dan barang konsumsi sebagian besar menggunakan kapal asing yang membutuhkan dolar. Jadi biaya logistik pasti makin membebani industri domestik. Sementara, daya beli sedang lesu, jadi penjual tidak akan sembarangan menaikkan harga barang. Kondisi ini menggerus pendapatan pelaku usaha,” ucapnya.

Di samping itu, lanjutnya, harga jual barang kebutuhan pokok otomatis juga akan naik. “Saya ambil contoh bawang putih yang 85 persen lebih pasokannya impor. Mendekati Lebaran permintaan secara musiman tinggi. Ini yang harus diperhatikan pemerintah karena inflasi langsung pukul daya beli masyarakat miskin,” imbuhnya.

Dampak lain sebagai negara net importir minyak. Pelemahan rupiah akan menaikkan biaya impor minyak. Pada 2017, neraca migas kita defisit USD 8,5 miliar karena impor minyak bengkak hingga USD 24,3 miliar.

“Ini nggak sehat dan pengaruhi harga BBM nonsubsidi yang dipakai angkutan barang kebutuhan pokok,” pungkasnya. (mys/ce1/JPC)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/