26.7 C
Medan
Tuesday, May 21, 2024

Picu Kanker, BPOM Tarik Obat Ranitidin

PICU KANKER: Ranitidin adalah obat untuk gejala penyakit tukak lambung dan tukak usus. Ranitidin ternyata memicu kanker.

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) memerintahkan industri farmasi di Indonesia untuk menghentikan produksi obat mengandung Ranitidin yang tercemar N-Nitrosodimethylamine (NDMA). Obat untuk gejala penyakit tukak lambung dan tukak usus itu juga diminta ditarik dari peredaran.

NDMA merupakan zat yang sebenarnya tidak berbahaya jika dikonsumsi sesuai ambang batas. Namun BPOM menemukan pencemaran di atas ambang batas yang menyebabkan NDMA bersifat karsinogenik atau memicu kanker.

BPOM mengacu pada studi global yang memutuskan ambang batas cemaran NDMA sejumlah 96 ng per hari. Hal ini didapat dari penemuan US Food and Drug Administration (FDA) serta European Medicine Agency (EMA) terhadap zat tersebut.

Pada tahun 2018, EMA melakukan penelitian dan menemukan NDMA serta senyawa lainnya yang disebut nitrosamin ditemukan dalam sejumlah obat tekanan darah bernama sartan. Berdasarkan keterangan di situs resmi EMA, tinjauan Uni Eropa terhadap obat tersebut pun membuat distribusi obat itu ditarik kembali.

“NDMA diklasifikasikan sebagai zat karsinogenik (menyebabkan kanker) pada manusia berdasarkan studi-studi pada hewan,” tulis EMA.

Selain itu, US FDA juga telah menyelidiki zat serupa sejak tahun lalu. Zat itu ditemukan dalam obat tekanan darah dan gagal jantung yakni Angiotensin II Receptor Blockers (ARBs).

“FDA telah mempelajari bahwa beberapa jenis ranitidin, termasuk produk yang dikenal dengan merek Zantac, mengandung NDMA dalam level rendah,” tulis FDA.

“NDMA bisa dikelompokkan sebagai zat karsinogenik pada manusia,” imbuh FDA.

Ranitidin adalah obat golongan Histamine-2 (H2) blockers yang bekerja dengan menghambat reseptor histamin di lambung dan mengurangi produksi asam lambung. Ranitidin digunakan untuk pengobatan dan pencegahan kondisi yang disebabkan oleh kelebihan asam lambung.

Ranitidin telah disetujui oleh BPOM sejak 1989 melalui kajian evaluasi keamanan, khasiat dan mutu. Ranitidin tersedia dalam bentuk tablet, sirup dan injeksi.

Berdasarkan jejaring kerja BPOM diketahui bahwa US FDA dan EMA menemukan adanya cemaran NDMA pada sampel produk yang mengandung bahan aktif Ranitidin dalam jumlah yang relatif kecil. NDMA merupakan turunan Nitrosamin yang dapat berbentuk secara alami.

Meskipun pada tahap ini risiko relatif sangat rendah dibanding manfaat penggunaan obat, namun BPOM menganggap perlu untuk menyampaikan risiko ini seawal mungkin kepada tenaga profesional kesehatan.

Pada saat ini, tidak ada rekomendasi untuk menghentikan terapi bagi pasien yang memerlukannya. Jika dengan alasan tertentu pasien akan menghentikan terapi, harus berkonsultasi dengan tenaga profesional kesehatan.

Tenaga profesional kesehatan dapat berpartisipasi dalam melaporkan efek samping obat secara offline atau online.

BPOM akan terus memantau dan menindaklanjuti permasalahan ini serta memperbaharui informasi sesuai dengan data yang terbaru.

Bentuk Sirup atau Injeksi

Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Balai Besar BPOM di Medan, Fajar, membenarkan adanya surat BPOM RI tersebut. Kata dia, penarikannya terutama untuk persediaan Ranitidin cair, baik yang sirup dan juga injeksi. Sedangkan yang untuk yang tablet, sejauh ini masih belum ada instruksinya.

“Penarikan ini dilakukan karena cemaran dari Ranitidin cair ini sangat mengkhawatirkan bagi kesehatan. Efeknya cepat dan cemarannya juga tinggi, bahkan bisa memicu terjadinya penyakit kanker,” ungkapnya, Senin (7/10).

Diutarakan Fajar, industri farmasi juga telah diinstruksikan untuk melakukan penarikan. Selain itu, tenaga kesehatan seperti dokter dan bidan juga telah disurati oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI), dinas kesehatan dan rumah sakit untuk tidak lagi menggunakan injeksi Ranitidin cair kepada pasien.

“Memang dengan kesadarannya, industri farmasi akan menarik sendiri persediaannya dari distributor. Jadi, nanti tinggal kita lihat di lapangan bagaimana,” cetusnya.

Untuk Ranitidin tablet, sambung Fajar, meski belum ada instruksi penarikan, pihaknya mengimbau kepada masyarakat dapat mengonsumsi seperlunya saja. Terutama, ketika terjadi peningkatan terhadap penyakit asam lambung. Untuk Ranitidin tablet ini memang belum ada instruksi penarikan, namun perlu kehati-hatian. Makanya, jangan berlebihan dan konsumsi seperlunya saja,” ucapnya.

Disinggung apabila pihaknya nanti menemukan di lapangan masih beredar Ranitidin berbentuk cair, Fajar menyatakan tentu langsung mengamankan untuk disita. Namun, mengenai sanksinya, Fajar belum bisa menyampaikan lebih jauh. “Soal itu (sanksi) kita masih menunggu petunjuk lanjut dari pusat (BPOM RI), karena sejauh ini baru sebatas perintah penarikan,” tukasnya.

Kasubbag Humas RSUP H Adam Malik, Rosario Dorothy Simanjuntak mengakui pihaknya sudah ada menerima surat edaran dari BPOM. Surat tersebut diterima sejak 24 September lalu. “Sudah ada edaran BPOM sampai ke kami. Tapi hanya untuk Ranitidin HCI cairan injeksi. Sedangkan yang tablet masih digunakan,” ujar Rosa.

Adapun Ranitidin yang diperintahkan ditarik karena terdeteksi NDMA:

  1. Ranitidine Cairan Injeksi 25 mg/mL pemegang izin edar PT Phapros Tbk

Penarikan Sukarela Produk Ranitidin yang terdeteksi NDMA:

  1. Zantac Cairan Injeksi 25 mg/mL, pemegang izin edar PT Glaxo Wellcome Indonesia
  2. Rinadin Sirup 75 mg/5mL, pemegang izin edar PT Global Multi Pharmalab
  3. Indoran Cairan Injeksi 25 mg/mL, pemegang izin edar PT Indofarma. (ris/dtc)
PICU KANKER: Ranitidin adalah obat untuk gejala penyakit tukak lambung dan tukak usus. Ranitidin ternyata memicu kanker.

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) memerintahkan industri farmasi di Indonesia untuk menghentikan produksi obat mengandung Ranitidin yang tercemar N-Nitrosodimethylamine (NDMA). Obat untuk gejala penyakit tukak lambung dan tukak usus itu juga diminta ditarik dari peredaran.

NDMA merupakan zat yang sebenarnya tidak berbahaya jika dikonsumsi sesuai ambang batas. Namun BPOM menemukan pencemaran di atas ambang batas yang menyebabkan NDMA bersifat karsinogenik atau memicu kanker.

BPOM mengacu pada studi global yang memutuskan ambang batas cemaran NDMA sejumlah 96 ng per hari. Hal ini didapat dari penemuan US Food and Drug Administration (FDA) serta European Medicine Agency (EMA) terhadap zat tersebut.

Pada tahun 2018, EMA melakukan penelitian dan menemukan NDMA serta senyawa lainnya yang disebut nitrosamin ditemukan dalam sejumlah obat tekanan darah bernama sartan. Berdasarkan keterangan di situs resmi EMA, tinjauan Uni Eropa terhadap obat tersebut pun membuat distribusi obat itu ditarik kembali.

“NDMA diklasifikasikan sebagai zat karsinogenik (menyebabkan kanker) pada manusia berdasarkan studi-studi pada hewan,” tulis EMA.

Selain itu, US FDA juga telah menyelidiki zat serupa sejak tahun lalu. Zat itu ditemukan dalam obat tekanan darah dan gagal jantung yakni Angiotensin II Receptor Blockers (ARBs).

“FDA telah mempelajari bahwa beberapa jenis ranitidin, termasuk produk yang dikenal dengan merek Zantac, mengandung NDMA dalam level rendah,” tulis FDA.

“NDMA bisa dikelompokkan sebagai zat karsinogenik pada manusia,” imbuh FDA.

Ranitidin adalah obat golongan Histamine-2 (H2) blockers yang bekerja dengan menghambat reseptor histamin di lambung dan mengurangi produksi asam lambung. Ranitidin digunakan untuk pengobatan dan pencegahan kondisi yang disebabkan oleh kelebihan asam lambung.

Ranitidin telah disetujui oleh BPOM sejak 1989 melalui kajian evaluasi keamanan, khasiat dan mutu. Ranitidin tersedia dalam bentuk tablet, sirup dan injeksi.

Berdasarkan jejaring kerja BPOM diketahui bahwa US FDA dan EMA menemukan adanya cemaran NDMA pada sampel produk yang mengandung bahan aktif Ranitidin dalam jumlah yang relatif kecil. NDMA merupakan turunan Nitrosamin yang dapat berbentuk secara alami.

Meskipun pada tahap ini risiko relatif sangat rendah dibanding manfaat penggunaan obat, namun BPOM menganggap perlu untuk menyampaikan risiko ini seawal mungkin kepada tenaga profesional kesehatan.

Pada saat ini, tidak ada rekomendasi untuk menghentikan terapi bagi pasien yang memerlukannya. Jika dengan alasan tertentu pasien akan menghentikan terapi, harus berkonsultasi dengan tenaga profesional kesehatan.

Tenaga profesional kesehatan dapat berpartisipasi dalam melaporkan efek samping obat secara offline atau online.

BPOM akan terus memantau dan menindaklanjuti permasalahan ini serta memperbaharui informasi sesuai dengan data yang terbaru.

Bentuk Sirup atau Injeksi

Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Balai Besar BPOM di Medan, Fajar, membenarkan adanya surat BPOM RI tersebut. Kata dia, penarikannya terutama untuk persediaan Ranitidin cair, baik yang sirup dan juga injeksi. Sedangkan yang untuk yang tablet, sejauh ini masih belum ada instruksinya.

“Penarikan ini dilakukan karena cemaran dari Ranitidin cair ini sangat mengkhawatirkan bagi kesehatan. Efeknya cepat dan cemarannya juga tinggi, bahkan bisa memicu terjadinya penyakit kanker,” ungkapnya, Senin (7/10).

Diutarakan Fajar, industri farmasi juga telah diinstruksikan untuk melakukan penarikan. Selain itu, tenaga kesehatan seperti dokter dan bidan juga telah disurati oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI), dinas kesehatan dan rumah sakit untuk tidak lagi menggunakan injeksi Ranitidin cair kepada pasien.

“Memang dengan kesadarannya, industri farmasi akan menarik sendiri persediaannya dari distributor. Jadi, nanti tinggal kita lihat di lapangan bagaimana,” cetusnya.

Untuk Ranitidin tablet, sambung Fajar, meski belum ada instruksi penarikan, pihaknya mengimbau kepada masyarakat dapat mengonsumsi seperlunya saja. Terutama, ketika terjadi peningkatan terhadap penyakit asam lambung. Untuk Ranitidin tablet ini memang belum ada instruksi penarikan, namun perlu kehati-hatian. Makanya, jangan berlebihan dan konsumsi seperlunya saja,” ucapnya.

Disinggung apabila pihaknya nanti menemukan di lapangan masih beredar Ranitidin berbentuk cair, Fajar menyatakan tentu langsung mengamankan untuk disita. Namun, mengenai sanksinya, Fajar belum bisa menyampaikan lebih jauh. “Soal itu (sanksi) kita masih menunggu petunjuk lanjut dari pusat (BPOM RI), karena sejauh ini baru sebatas perintah penarikan,” tukasnya.

Kasubbag Humas RSUP H Adam Malik, Rosario Dorothy Simanjuntak mengakui pihaknya sudah ada menerima surat edaran dari BPOM. Surat tersebut diterima sejak 24 September lalu. “Sudah ada edaran BPOM sampai ke kami. Tapi hanya untuk Ranitidin HCI cairan injeksi. Sedangkan yang tablet masih digunakan,” ujar Rosa.

Adapun Ranitidin yang diperintahkan ditarik karena terdeteksi NDMA:

  1. Ranitidine Cairan Injeksi 25 mg/mL pemegang izin edar PT Phapros Tbk

Penarikan Sukarela Produk Ranitidin yang terdeteksi NDMA:

  1. Zantac Cairan Injeksi 25 mg/mL, pemegang izin edar PT Glaxo Wellcome Indonesia
  2. Rinadin Sirup 75 mg/5mL, pemegang izin edar PT Global Multi Pharmalab
  3. Indoran Cairan Injeksi 25 mg/mL, pemegang izin edar PT Indofarma. (ris/dtc)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/